ini seperti kita yang seringkali mati lampu. Melamunkan gelap. Lalu merindukan cahaya. Esok paginya, matahari hanya kita anggap pemandangan biasa.
seperti kita juga. Saat merasa begitu kehilangan rasa bahagia. Karena menganggap airmata adalah simbol ajaib yang mengesahkan kita sebagai yang teraniaya. Lalu semuanya tergerak untuk iba. Pada setiap iba yang ada, kita menduga itulah awal mula bahagia.
kepada hujan. Kita begitu merindukan. Sebab kita sedang dikepung kemarau. Namun setelah gerimis mulai mengajak bersenda gurau. Kita hanya menatapnya secara semenjana. Seolah gerimis itu tak lebih dari ketukan hak sepatu. Di lantai yang berdebu.
kepada tanah dan sungai. Kita mengakuinya sebagai hak gadai. Bukan titipan yang mesti dirawat habis-habisan. Kita menjadi dzalim. Tak ubahnya kekaisaran yang lalim.
Trik terbesar manusia adalah dengan membuat mural cantik di dinding kekacauan. Menutupinya dengan sempurna seperti etalase kaca yang menjual gelas retak di dalamnya.
Bogor, 18 Oktober 2018