Syair yang hilang. Berhenti melanglang bersama sungsum dalam tulang. Tersangkut di tenggorokan. Terlipat pada kerongkongan. Dicerna tak lepas. Tersendat di jeda nafas. Itulah syair-syair purba tentang segala harapan yang tak tuntas.
Syair yang terlepas. Tersangkut di udara yang malas. Menyinggahi pucuk cemara. Hanya untuk tergelincir pada menara di bawahnya. Berbaur bersama jaringan listrik. Menjadi syair-syair penuh kecemasan dan gelimang intrik.
Syair yang sedih. Mengalir bersama aliran senja yang terasa pedih. Barangkali itu senja terakhir. Sebelum semua hari menjadi fakir. Kehilangan orang-orang yang mencintai. Karena hati sering sengaja dilukai. Lahirlah syair-syair yang menyatakan penyairnya adalah Rahwana. Dituduh sebagai pelahap segala murka.
Apabila syair-syair dinyatakan hilang. Moksa dari peradaban. Dengan prihatin kita harus mengatakan, dunia yang tersisa adalah cangkang kerang. Tanpa isi, hampa dan hanya tersisa lubang.
Di mana kita menenggelamkan diri di dalamnya. Menjelma menjadi manusia yang merindukan rasa.
Jakarta, 15 Oktober 2018