Suku Mamulak dan Kisah Tentang Buaya
Oleh Fery Mau dan Milto Seran
Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai konsep abstrak yang dinyatakan dalam bentuk tanda (sign) dan lambang (symbol). Konsep abstrak itu tampak jelas dalam pola atau sikap masyarakat terhadap unsur kebudayaan tertentu yang dianggap memiliki kekuatan atau roh yang tidak bisa dilepaskan dari dinamika kehidupan manusia.
Dalam kebudayaan Suku Mamulak, salah satu unsur kebudayaan yang dipegang teguh dan menjadi tradisi suku adalah penghormatan terhadap Bei Nai (buaya). Penghormatan terhadap Bei Nai ini merupakan totem yang diyakini oleh seluruh anggota suku. Konsep kebudayan ini lahir dari tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun dari leluhur (Matabian).
Suku Mamulak Selayang Pandang
Suku Mamulak adalah salah satu suku dalam wilayah kerajaan Liurai-Malaka dengan pusatnya di sebuah kampung terpencil bernama Numbei(Desa Kateri, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Belu). Kerajaan Liurai Malaka secara geografis berada di wilayah Kabupaten Belu, bagian Selatan, dengan pusatnya di Builaran(Desa Fatuaruin, kecamatan Sasitamean).
Adapun tugas pokok yang diberikan oleh Raja Liurai Malaka kepada suku ini adalah memimpin doa dalam ritual-ritual kerajaan. Salah satu contoh yang dilakukan adalah “foti hamulak” (memimpin doa) saat raja meninggal dunia. Untuk itulah suku ini dibaptis oleh raja dengan nama Suku Mamulak Liurai.
“Mamulak” dalam bahasa Tetun berasal dari kata hamulak yang artinya berdoa. Dalam suku ini terdapat barang antik yang diberikan oleh raja yakni sebuah jubah dan buku doa. Setiap kali kepala suku Mamulak memimpin doa di Liurai, ia harus mengenakan jubah dan berdoa menggunakan buku doa tersebut.
Sejarah
Dalam bahasa Tetun, buaya dikenal dengan istilah lafaek.Akan tetapi anggota suku Mamulak menyebutnya dengan nama Bei Nai, sebuah sapaan penuh hormat untuk buaya.Secara harafiah, Bei Nai artinya nenek atau kakek raja. Kata lafaek tidak digunakan, sebab dalam percakapan sehari-hari kata ini mengandung makna yang kasar. Karena itu, anggota suku merasa tidak layak menggunakannya untuk menyebut binatang totem seperti buaya.
Berdasarkan sejarahnya, penghormatan terhadap Bei Nai (buaya) dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa di masa lampau. Menurut keyakinan umum suku Mamulak, pada zaman dulu dua orang Meo (panglima perang yang memiliki kekuatan sakti) dari suku Mamulak, mendapat kepercayaan untuk menjadi pengawal Kerajaan Liurai.Dua orang Meo itu adalah Ati Mamulak dan Bere Mamulak.
Waktu itu ada pesta di pusat kerajaan Liurai. Tanpa sengaja dua orang meo ini memakan buah pisang dan membenamkannya dalam butir-butir Muti (perakyang digunakan untuk membuat kalung dan ornamen Nain Liurai atau raja Liurai. Muti tidak hanya sekadar perak sebab ia mengandung unsur emas) lalu menelannya.
Karena tindakan ini, mereka dituduh sebagai pencuri Muti (uang perak). Karena takut dibunuh atau mendapat hukuman dari Raja, maka mereka berdua melarikan diri ke laut. Di dalam laut itulah tubuh mereka berdua berubah menjadi buaya. Tempat di mana mereka berubah menjadi buaya adalah muara Ati Bere, Pantai Taberek, Teluk Ati bere.Sebagai wujud nyata penghormatan terhadap kedua orang Meo ini, maka diadakan ritual khusus untuk menjalin komunikasi yang intens dengan mereka.
Hubungan anggota suku dengan Bei Naibegitu terjalin erat dan harmonis.Berdasarkan cerita yang diwariskan Kepala Suku, setiap kali upacara hamis (pemberkatan jagung muda yang siap dimakan oleh orang dewasa) maka akan muncul Bei Nai yang berjalan dari arah sungai Benenai menuju rumah adat. Mereka datang untuk turut hadir dalam upacara hamis.
Dalam upacara ini, bahasa adat yang digunakan untuk berkomunikasi dengan Bei Nai antara lain:
·Ohin loron haklibur hodi husu bensa, uma itak Mamulak uma madomik, nadomi duni ba feto no mane, ita feto no mane halian fatik (Pada hari ini kita berkumpul untuk memohonkan rahmat, Sang rumah Mamulak, rumah penyayang, yang mengasihi siapapun, baik pria dan wanita, kita ini satu).
·Ami ata fafudi tehin ta’tis, tehin ta’tis hodi tane la’lok (Kami ini hamba yang berada di pinggiran, di tempat ini kami juga memberikan sirih pinang).
·Tane la’lok hodi, lok Liurai, Liurai sei hau moris hokedan (Membawa sirih pinang, sirih pinang bagi Liurai, Liurai yang termeteraikan sejak lahir)
Mereka (Bei Nai) biasanya mengambil posisi duduk di atas labis (Balai depan, tempat yang digunakan untuk pertemuan dalam Uma Lulik atau rumah adat). Anggota suku tidak merasa takut dengan kehadiran mereka. Keyakinan umum orang Mamulak menyebutkan bahwa Bei Nai tidak mengganggu atau memangsa manusia secara sembarangan. Ia akan mencelakakan anggota suku apabila anggota suku melakukan tindakan jahat seperti mencuri atau mengganggu kehidupan Bei Nai itu sendiri. Jika ada anggota suku yang melakukan tindakan jahat demikian, maka ia tidak akan selamat pada saat menyeberang sungai Benenai, atau berada di dalam air laut.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap kehadiran Bei Nai, maka diadakan lok mama (pemberian sirih pinang). Pada saat sirih pinang diberi kepada Bei Nai, bahasa adat seperti yang tertera di atas dapat diungkapkan.
Hingga sekarang, orang-orang Mamulak tetap meyakini Bei Nai sebagai pelindung dan penjaga Uma Lulik, Uma Mamulak (penjaga rumah adat Mamulak) dan semua anggota suku dari ancaman bahaya maut.
Bentuk penghormatan terhadap Bei Nai dalam suku Mamulak adalah salah satu bentuk totem yang begitu kuat dihidupi oleh anggota suku. Hal ini terjadi karena latar belakang historis dari suku ini yakni kedua orang Meo yang menjelma menjadi buaya. Anggota suku ini tidak akan pernah membunuh atau mengusik kehidupan para Bei Nai, baik yang berada di laut maupun sungai Benenai. Malapetaka seperti sakit atau meninggal dunia akan menimpa mereka yang coba mengusik kehidupan Bei Nai.
Catatan:
Materi ini merupakan rangkuman hasil wawancara Kornelis Frederikus Mau dengan Bpk. Lucianus Tei, Kepala Suku Mamulak Liurai, tinggal di Numbei, Belu Selatan. Wawancara dilakukan melaui handphone pada Minggu, 11 Maret 2012, pukul 19.00 WITA.