"Ketika Cina miskin, kita takut terhadapnya. Saat mereka kaya, kita justru semakin takut"
(Mahathir Mohamad, PM Malaysia)
Pernahkah kita bandingkan Jokowi dan Mahathir Mohamad? Apa beda keduanya? Jokowi memimpin Indonesia, Mahathir memimpin Malaysia: dua negara muslim terbesar di Asia Tenggara.
Dalam soal usia, jelas ada perbedaan usia nan jauh antara keduanya. Jokowi 57 tahun, sedangkan Mahathir 93 tahun.
Lalu, apa perbedaan keduanya dalam hal kebijakan (policy)? Perbedaan mencolok keduanya: Mahathir galak pada China, sedangkan Jokowi lembut pada China. Begitu pun dalam soal utang: Mahathir takut berutang pada Cina, sedangkan Jokowi malah getol menumpuk utang dari negeri Tirai Bambu itu.
Dari saking galaknya, hanya sekitar 100 hari jadi PM Malaysia, pada Agustus 2018, Mahathir langsung membatalkan dua mega-proyek strategis yang sedianya akan dibiayai dari utang China sebesar US$ 20 miliar atau setara Rp 290 triliun. Dua proyek yang dimaksud adalah proyek East Coast Rail Link (ECRL) dan proyek pipa gas alam di Sabah.
Padahal berdasarkan laman Reuters, 21 Agustus 2018, jika proyek ECRL, yaitu Kereta Api Pantai Timur ini terealisasi, Malaysia akan memiliki rel kereta api spanjang 688 kilometer. Jalur ini akan menghubungkan kawasan Laut Cina Selatan di pantai timur Semenanjung Malaysia. Kawasan ini memiliki rute pelayaran strategis di wilayah barat.
Proyek ini merupakan bagian utama dari dorongan infrastruktur China agar kawasan Asia bisa terhubung dalam rencana China's Belt and Road Initiative (BRI). Bila jadi, China akan lebih mudah mengirim barang ke negara-negara Asia Tenggara. (Detik, 21 Agustus 2018).
Lalu bagaimana dengan Jokowi? Jika Mahathir begitu semangat menyetop proyek Cina, beda cerita dengan Jokowi. Jokowi sedari awal memang langsung jor-joran berutang pada Cina. Dalihnya, sebagai modal untuk bangun infrastruktur.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan realisasi investasi penanaman modal asing atau Foreign Direct Investment dari Cina ke Indonesia tercatat 1.734 proyek senilai 2.665 miliar dolar AS. Angka ini meningkat dari 1.052 pada 2015, masa setahun setelah Presiden Jokowi menjabat. Nilainya 628,34 juta dolar AS pada tahun itu.
Beberapa proyek kerja sama itu di antaranya, Kerjasama Ekonomi antara Menko Perekonomian RI dan Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi RRT; Kerjasama Pembangunan Industri dan Infrastruktur antara Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi RRT dengan Menteri BUMN; dan MoU antara Menteri BUMN dengan Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi RRT Untuk Proyek Pembangunan Kereta Cepat Jakarta--Bandung.
Dalam catatan kami, selama empat tahun terakhir, angka PMA di Indonesia dari Cina memang mengalir deras. Pada 2017, angka realisasinya menjadi 1.977 proyek senilai 3.361,70 juta dolar AS, dan bahkan sudah mencapai angka 1.202 proyek selama Januari-Juni 2018.
Pada Mei 2017, Jokowi bahkan tak sungkan-sungkan meminta langsung Presiden Cina Xi Jinping untuk menawarkan investasi ketika bertemu di Beijing.
"Saya ingin mengundang secara khusus pemerintah Presiden Xi untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia di tiga mega proyek," kata Jokowi di pertemuan itu sebagaimana dilansir Antara.
Tiga mega proyek yang ditawarkan oleh Jokowi ialah proyek koridor ekonomi terintegrasi, konektivitas, industri, dan pariwisata di Sumatera Utara. Lalu, investasi di Sulawesi Utara untuk meningkatkan kualitas infrastruktur di Bitung-Manado-Gorontalo dengan pembangunan akses jalan, jalur kereta api, dan pelabuhan serta bandara. Kemudian, kerja sama investasi proyek infrastruktur energi dan pengembangan pembangkit listrik di Provinsi Kalimantan Utara. (Tirto.id, 22 Oktober 2018).
Kondisi ini pun berbanding lurus dengan utang Indonesia dari Cina yang kian meroket hingga 74 persen pada 2015, atau setahun sejak Jokowi menjabat presiden. Pada 2014, total utang RI ke Cina adalah US$ 7,87 miliar. Angkanya melesat menjadi US$ 13,6 miliar pada 2015. Pada 2016, utang ke Cina menjadi US$ 15,1 miliar di 2016 dan US$ 16 miliar per Januari 2018. Hingga akhir Januari 2018, total utang luar negeri RI adalah US$ 357,5 miliar.
Berdasarkan data Bank Indonesia, utang Indonesia ke Cina Pada 2010, posisi utang luar negeri berada di angka US$ 202,4 miliar. Utang itu adalah pinjaman pemerintah, bank sentral dan pihak swasta. (Tempo, 21 Maret 2018).
Jebakan Utang Cina
Pertanyaannya, kenapa Mahathir begitu semangat menolak utang Cina? Karena ia tahu, utang dari Cina hanya akan mengganggu kedaulatan negerinya.
Maka, tak heran jika baru-baru ini Mahathir mengingatkan negara mana pun yang berutang pada Cina agar hati-hati. Sebab dengan utang, Cina akan dengan mudah menekan, mengontrol, dan mengendalikan negara pengutang.
Bagi Mahathir, utang dari Cina adalah jebakan. Jika tak bisa melunasinya maka negara pengutang akan berada di bawah kontrol Cina.
Negeri yang dipimpin Mahathir, Malaysia kini di bawah kontrol China karena pemerintahan sebelumnya yang dipimpin Najib Razak mengambil pinjaman ke Cina namun tak bisa dilunasi malah dikorupsi.
Mahathir tak mau terjebak dalam utang ini, karenanya ia sekarang harus pergi jauh-jauh ke Jepang untuk berhutang. Ya, Mahathir harus 'gali lubang tutup lubang' dengan cara berutang ke Jepang untuk melunasi utang Malaysia ke Cina.
"Jika meminjam uang dalam jumlah besar dari Cina, kemudian tak sanggup melunasi, pihak peminjam di bawah kontrol pemberi pinjaman," kata Mahathir kepada ABS-CBN News saat kunjungan dua hari di Filipina, mengutip The Straits Times, Jumat (8/3). Pernyataan Mahathir dilontarkan sebagai peringatan kepada Filipina, karena negara itu ia sebut sedang mendapat gelontoran dana dari Investor asal Cina.
Mahathir memperingatkan agar Filipina berhati-hati mengenai potensi jebakan yang bisa menimpa mereka jika tak bisa melunasi pinjaman layaknya Malaysia.
Mahathir menyarankan agar Filipina meregulasi dan membatasi pengaruh China di negara mereka. (Tribunnews, 19 Maret 2019).
Sejatinya, Institute For Development of Economics and Finance atau Indef juga pernah mengingatkan pemerintah agar mampu mengelola utang dengan baik. Sebab, empat negara gagal membayar utang ke Cina karena strategi pembangunan infrastrukturnya yang masif dengan menggunakan utang.
Empat negara yang gagal membayar utang itu adalah Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka, dan Pakistan.
Konsekuensinya beragam mulai dari mengganti mata uang menjadi Yuan hingga menukar pelabuhan dengan utang. Bahkan negara seperti Zimbabwe sudah pernah divonis bangkrut karena tak sanggup bayar utang.
Bagaimana dengan kita, Indonesia? Apakah Jokowi akan menempuh jalan seperti Mahathir yang berusaha menghindari utang Cina, takut pada Cina, baik saat Cina tengah miskin atau kaya; ataukah masih akan terus jor-joran berutang ke Negeri Komunis itu? Let's see. Wallahu a'lamu bi al-shawab.
Mohammad Ilyas
Pemerhati Sosial Politik, alumnus Pascasarjana Politik UI