Selepas rapat tersebut, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyebut Presiden memastikan ibu kota Jakarta akan pindah ke luar Pulau Jawa. Kepastian itu diputuskan usai rapat pembahasan ibu kota baru di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (29/4).
Lebih lanjut ia mengatakan keputusan ini didasari oleh berbagai pertimbangan yang sudah dikaji oleh kementeriannya. Pertama, ibu kota baru harus memiliki lokasi strategis secara geografis, yaitu berada di tengah wilayah Indonesia. Kedua, luas lahan daerah yang akan menjadi calon ibu kota mencukupi, baik lahan tersebut milik pemerintah maupun milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ketiga, wilayah harus bebas bencana alam atau setidaknya paling minim risiko, serta tersedia sumber daya air yang cukup dan bebas dari pencemaran lingkungan.
Keempat, untuk meminimalisir kebutuhan pembangunan infrastruktur baru, pemerintah ingin ibu kota baru berada di kota yang sudah cukup berkembang. Kelima, dekat dengan pantai. Menurutnya, hal ini harus ada karena identitas Indonesia merupakan negara maritim, sehingga sebaiknya ibu kota lokasinya tidak jauh dari pantai tapi tidak harus di tepi pantai itu sendiri.
Keenam, ada akses dan layanan air minum, sanitasi, listrik, dan jaringan komunikasi yang memadai. Ketujuh, memiliki risiko konflik sosial yang minim dan masyarakatnya memiliki budaya terbuka terhadap pendatang. Dan terakhir, tidak dekat dengan perbatasan dengan negara tetangga. Sayangnya, Bambang belum ingin menyebut kota mana atau pulau apa yang akan dijadikan lokasi ibu kota baru.
Dengan berbagai pertimbangan yang dikemukanan oleh Bambang, sudah hampir dipastikan jika Ibukota baru yang akan dipilih oleh Presiden Jokowi ada di Pulau Kalimantan. Ditambah lagi, dengan menggunakan data jumlah penduduk Nasional, saat ini Pulau Jawa populasinya mencapai 57 persen dari total populasi di Indonesia. Sedangkan jumlah penduduk di Pulau Sumatera tembus 21 persen.
Sementara itu, jumlah penduduk di Pulau Kalimantan cuma sekitar 6 persen, Sulawesi 7 persen, dan Maluku serta Papua hanya tiga persen. "Di Kalimantan 6 persen, nah ini masih 6 persen, baru 6 persen. Pertanyaannya, apakah di Jawa mau ditambah? Sudah 57 persen. Ada yang 6 persen, 7 persen, dan 3 persen," ujar Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (29/4).
Seperti diketahui, beberapa hari sebelumnya 23 Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pebisnis Indonesia dan China telah diteken setelah pembukaan KTT Belt and Forum Kedua di Beijing, Jumat (26/4/2019). Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, dengan ditekennya MoU ini, berarti proyek kerja sama Indonesia dan China One Belt One Road (OBOR) atau yang dikenal dengan sebutan empat koridor siap dilaksanakan.
OBOR merupakan proyek pemerintah China untuk membangun kejayaannya melalui upaya penyambungan  urat nadi perdagangan dunia. Sebuah proyek membangun megainfrastruktur dalam rangka memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan hambatan dagang (trade barriers), guna mengurangi biaya perdagangan dan investasi.
Luhut menegaskan bahwa nilai tersebut bukanlah hutang yang harus ditanggung pemerintah. Karena itu, Luhut mengatakan pihaknya akan berusaha maksimal untuk mempermudah perizinan kepada pengusaha Cina yang berminat menanamkan modal di Indonesia. Dari 23 proyek yang diteken, nilai investasi dari 14 MoU bernilai total US$14,2 miliar. Sementara itu, total proyek yang ditawarkan berjumlah 28 dengan nilai mencapai US$91 miliar, atau lebih dari Rp 1.288 triliun.
Dari 28 proyek yang ditawarkan kepada investor China ini, lebih dari 50%-nya berada di Kalimantan. 13 proyek diantaranya ada di provinsi Kalimantan Utara. Kebetulan ini tampak terlalu klop dengan rencana Presiden yang tetiba memastikan Ibukota Indonesia akan dipindah. Jika Presiden mengumumkan Ibu Kota baru Indonesia akan menempati wilayah di provinsi ini, maka jelas sudah pemindahan Ibu Kota ini demi proyek Obor China. Sementara apabila wilayah di Kalimantan Utara tidak dipilih sebagai Ibu Kota baru (ada alasan relatif dekat dengan perbatasan negara), maka bisa jadi untuk mempersiapkan infrastruktur wilayah di sekitarnya.
Selain itu, proyek Pelabuhan Kuala Tanjung, yang masuk jalur maritim dalam rencana OBOR, juga telah resmi menjadi bagian dari proyek jalur sutra China. Dalam pertemuan Global Maritime Fulcrum Belt And Road Initiatives (GMF --BRI), China sudah menyiapkan rancangan Framework Agreement untuk bekerja sama di Kuala Tanjung, Sumatera Utara (Sumut) sebagai proyek tahap pertama. Selanjutnya, ada beberapa tahap proyek kerja sama lain yang telah disepakati seperti Kawasan Industri Sei Mangkei dan kerja sama strategis pada Bandara Internasional Kualanamu untuk tahap kedua.
Pemerintah seharusnya melihat risiko gagal bayar proyek-proyek yang diinisiasi OBOR ini. Lihatlah Sri Lanka, setelah tidak mampu membayar utang, akhirnya Pemerintah Sri Langka melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun. Jika Ibu Kota baru negeri tercinta ini dibangun dengan menggunakan dana dari OBOR, ketika gagal bayar maka Ibu Kota Indonesia akan menjadi milik China???
Sumber: 1, 2, 3