Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen| Single Fii Sabilillah

25 Desember 2018   09:06 Diperbarui: 25 Desember 2018   09:10 116 1
Awan senja pun menjatuhan rintik hujannya. Disertai petir yang sesekali menyambar belahan bumi dan membawa goresan, nampak dilangit yang sedang gelap kala itu.

Keadaan seperti inilah yang membuatku terjebak dengan penyakit mager syndrom. Disuatu kamar ukuran 3x4 itu aku menghabiskan me timeku. Sesekali aku mengecek ponselku .Namun, sudah lebih 127 kali aku mengeceknya tak ada satupun notifikasi kutemukan.

Disuatu hari dipagi yang cukup cerah, aku terbangun dan mulai bersiap untuk menuntut ilmu, ya kemana lagi kalau tidak ke sekolah? gadis seusiaku tentu masih berumur 15 atau 16 tahun yang menghabiskan waktu mudanya untuk mencari ilmu,ilmu dan ilmu.
 
Kebetulan hari ini hari senin, hari yang sangat mencekam bagi siswa sepertiku karena harus berdiri ber jam-jam menghadapi panasnya matahari pagi. Tapi hari senin kali ini tak biasa seperti senin sebelumnya. Aku melihat sesosok lelaki diujung pojok sana, memakai topi abu-abu dan dasi yang rapi dengan gigih hormat kepada sang saka merah putih.

Pada saat itu, ia pun melihatku yang ditangan kananku sedang menggenggam microfon sedangkan tangan kiriku memegang secarik kertas protokol upacara. Secara tak sengaja kami menangkap tatapan itu secara bersamaan.

Ketika upacara selesai, kami diberi waktu 15 menit untuk mengusap keringat sehabis berdiri berjam-jam.
Lonceng berbunyi, aku mulai memasuki kelas dengan teman-temanku. Kami  menyempatkan waktu untuk menghibur diri sebelum guru dengan bidang study matematika itu memasuki ruang kelas.

Tak lama, guru yang kami bayangkan pun memasuki ruang kelas tetapi ia tidak sendiri kali ini, ia bersama lelaki yang kulihat waktu upacara tadi. Ternyata ia murid pindahan dari Kota Samarinda ia bernama Fikri Alvares, kuakui dia memang tampan mempunyai gingsul dan juga lesung pipi yang amat manis ketika ia tersenyum. Pantas saja teman-temanku sampai berebutan untuk bisa berkenalan dengannya. Ya maklum saja remaja seusiaku adalah usia pubertas dan mulai tertarik ke lawan jenis.

Selama teman-temanku mulai memperdebatkan anak baru itu,aku pun mulai asik bermain game favoritku. Aku sama sekali tak terlihat ingin berkenalan dengannya. Hingga akhirnya temanku berkata "Hei! kamu yakin ga mau kenalan sama dia?". "oh, iya kamu duluan saja" kataku.

Lonceng pulang pun berbunyi, aku buru-buru untuk bisa sampai dirumah karena ingin bertemu dengan kasur kesayanganku. Sesampai di rumah langsung kulempar tas merahku ke atas kasur dan disusul oleh badanku yang sudah sangat letih karena beraktivitas penuh hari ini. Ketika aku mulai memejamkan mataku dan berharap bisa mengistirahatkannya sebentar, tetapi gagal karena ponselku tiba-tiba berdering.

Ternyata notifikasi grup kelas memenuhi ruang chatting di WhatsApp Messengerku. Aku hanya menscroll chat yg blm kubuka yang sudah sampai 500+, ternyata topik yang mereka bahas lagi dan lagi soal anak baru itu.
"Fikri bergabung."
"Halo Fikri." sapa Mita.
"Hi Fik." lanjut Tina
"Jangan lupa add back WA aku ya Fik" kata Ria.
Bla,bla,bla~

Tak lama notifikasi baru pun masuk, secara spontan aku kaget.
Fikri: "addback WA aku ya"
Kubaca sekilas lalu kuletakkan ponselku dimeja belajar.

Selasa, aku putuskan untuk tidak masuk sekolah karena tubuhku terasa kurang fit dan seharian kuhabiskan ditempat tidur. Tak lama ponselku berdering lagi,kali ini bukan dari Chat WhatsApp tetapi Call In WhatsApp dari Fikri, aku panik seketika dan kuterima dengan perasaan ragu-ragu.
: "Ha..haloo."
Fikri: "Get Well Soon ya!"
: "Thank's ya"
Fikri: "Nanti bubar sekolah, aku sama anak-anak mau ke rumah kamu !"
: "Hah mau ngapain?"
Fikri: "Ngasih makan kambing, ya ngejengukin lah."
: "Eh ga usah repot-repot, aku udah mendingan kok"
Fikri: "Yaudah deh cepet sembuh yaa"
Tut..tut...tut...
Telpon pun terputus.

Rabu pagi, aku mulai masuk sekolah seperti biasa,tapi ketika aku berpamitan.
Aku melihat ada seseorang yang sudah menungguku didepan rumah. Lelaki itu mengharap ke barat mengendarai sepeda motor merk Scoopy berwarna putih, dia duduk diatas motor dan kelihatan sudah lama menunggu.

"Ayo naik" katanya
"Makasih aku naik kendaraan umum aja"
"Aku bela-bela in nunggu sejam loh!"
" Emang tau rumah aku dari mana?"
"Dari anak-anak kelas. Udah buruan naik!"
Dengan perasaan kesal,aku mulai menaiki motor yang ia suruh.
Dijalan tak ada satu kata pun yang kuungkap. Ternyata dia membawaku ke suatu tempat yang belum pernah ku kunjungi sebelumnya,yang menurutku sangat indah.

Di tempat itu, menurutku sejenis taman dipusat kota. Ia mengungkapkan semua perasaannya terhadapku.
"Hei! kamu sudah gila ya! Kita baru kenal 3 hari yang lalu!!" kataku.
" Jadi kamu menolak? Ya sudah tak apa, aku harus tahu diri." katanya.

Dijalan, menuju ke sekolah tiba-tiba hujan deras mengguyur. Lalu motor Fikri pun menepi untuk berteduh sebentar. Kemudian ia pasangkan jaket bomber hitam ke pundakku. Aku merasa sangat tidak enak, dia sangat baik kepadaku. Hujan pun mulai mereda.

Ketika bel pulang sekolah,aku langsung buru-buru meninggalkan ruangan kelasku dan mencari kendaraan umum untuk bisa sampai kerumah. Dirumah aku memikirkan kembali yang telah terjadi pagi tadi. Aku merasa ada yang ganjal. Tapi ini adalah rasa dilema yang pertama kali kurasakan.

Aku pun membuka WhatsApp Messengger dan mulai menjelaskan alasanku menolak Fikri.

"Untuk saat ini, aku memang tak mau menjalin hubungan dengan siapapun, karena bagiku hal itu hanya membuang waktu saja,  kalau dia memang jodoh kita ya tak apa? kalau bukan? toh ibaratnya hanya meminjam jodoh orang saja. Aku sekarang hanya fokus untuk memperbaiki diri dan memperbaiki akhlakku. Agar nanti aku sudah bisa disebut pantas jika bertemu jodohku yang sebenarnya. Aku tak mau  terjerumus ke dalam pusaran zina. Terimakasih sudah baik kepadaku, aku minta maaf karena belum bisa menerima cintamu." Ketikku.

Fikri: "iya tak apa-apa aku baru mengerti jika ingin mendapatkan yang terbaik caranya pun tidak mudah. Aku pun akan belajar memantaskan diri dan bekerja keras untuk bisa lebih cepat melamarmu kemudian menghalalkanmu."

"Ingat sekali lagi, aku tak butuh janji dan komitmen darimu. Aku hanya butuh bukti nyata. Dan aku tak mau menunggu tanpa kepastian. Jika suatu saat kau sudah siap, datanglah kerumahku bersama orangtuamu. Terimakasih."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun