Hari ini, aku menemukan wajahmu diantara ribuan garis hujan.
Suara gerimis terdengar miris menabuh bumi yang makin memburuk ini.
Ah, cinta kita, kelak akan makin sempit menikmati wajah dunia,
jarak kita akan semakin dingin dan menganga dalam kata-kata…
Dengarlah, lihatlah, usia alam telah memendam dendam pada manusia
Air sungai yang kotor meluap ke rumah-rumah, mengendap dalam tidur kita,
dan pohon-pohon tumbang menghadang jalan, ribuan tumbuhan rusak
Sampah-sampah pamplet iklan dan politik menutupi lubang-lubang selokan dan pikiran kita
Pabrik tak henti mengalirkan gelombang limbah pada hati kita
Bumi sudah sakit, langit sudah terasa pahit di lidah harapan kita
Kita begitu resah dalam putaran zaman
Cinta kita terhimpit, waktu telah merampok usianya yang panjang
Aku masih saja merindukanmu, di sini, diantara putaran malam dan siang yang terasa singkat
Mimpiku dicekik detik-detik, dicambuki hari-hari, doaku memekik di bawah terik matahari.
Aku gemetar menyulam cinta dalam gemuruh roda raksasa ekonomi yang keras menggilas nasib
Berjalan ringkih dalam nyanyian sedih kaum penganggur yang membeli harapan dengan
setumpuk amarah dan keputusasaan, terasing dalam jiwanya sendiri.
Jiwaku dijajah berjuta wajah dalam koran-koran dan majalah
Aku murung dalam sihir sinetron dan film-film
Masa depan yang rumit dan mahal, Sayangku, betapa
cinta kita dibuatnya resah dan mengalah.
Hujan masih saja turun deras dalam pikiranku.
Air sungai yang kotor meluap dalam puisiku.
Aku berselisih dengan kemungkinan dan misteri.
Tak henti melempar dadu di atas lingkar rindu yang terbakar.
Betapa kita hidup di dunia yang mendidik cinta terbiasa patuh pada sengketa dan harta.
Di sini, hujan masih saja turun deras, Sayang
Air sungai berlumpur masih meluap dalam puisiku.
Angin memangkas dedaun dan kata-kata.
Cinta kita tak henti menggigil dalam dingin usia…
Cimahi, Februari 2010