Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

“Tuhan, Kembalikan Suamiku”

20 April 2015   17:17 Diperbarui: 23 Januari 2016   18:05 623 0
Namaku Adel. Aku adalah seorang wanita berusia 38 tahun, dan sudah sejak 10 tahun lalu menikah dengan sorang laki-laki blasteran Eropa. Semenjak menikah dengannya aku langsung diboyong ke Amerika Serikat, negara besar yang sesungguhnya hanya ada dalam semua mimpi-mimpiku. Tapi 10 tahun yang lalu itu, atas dorongan orang tuaku juga maka aku akhirnya mengiyakan keinginan suami tercinta yang mengajakku untuk hidup di negeri orang. Kebetulan suamiku menjadi supervisor sebuah perusahan bonafide di jantung kota New York. The city that never sleep. Big Apple. Surga belanja dunia.

Awal mula aku berkenalan dengan suamiku memang serba kebetulan. Waktu itu di kampungku ada lomba bintang vokalia, karena aku memang gemar bersenandung, suaraku tinggi melengking, sopran satu, maka kala itu tanpa ragu-ragu aku pun mendaftar menjadi salah seorang peserta lomba tersebut. Pada waktu itu, penyandang dana tunggal terlaksananya acara tersebut menurut kabar burung, datang dari seorang lelaki separoh baya yang telah sukses besar di Amerika. Dialah lelaki yang kelak di kemudian hari menjadi suamiku. Nah, singkat cerita dari keberhasilanku menjadi juara 1 lomba tersebut semakin mendekatkan aku dengan lelaki yang bernama Edwine tersebut. Hanya sempat pacaran 3 bulan, saya pun diajak nikah olehnya. Bulan-bulan pertama kami menikah, rasanya hidup ini terasa amat sangat sempurna bagiku. Aku begitu bersyukur memiliki suami yang begitu sayang padaku dan selalu menomorsatukan aku. Tidak pernah aku menjadi nomor dua. Menomorduakan diriku tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Tapi kebahagiaanku ternyata hanya seumur jagung. Tidak berlangsung lama.N

Awal dari malapetaka rumah tangga kami bermula dari ajakannya menetap di Amerika yang saya iyakan itu. Waktu itu saya juga mengajak ibuku menemani kami berangkat ke Amerika. Harapanku sederhana saja, bahwa kalau ibu ikut maka setidak-tidaknya dapat menemaniku di kala suamiku tak ada di rumah. Namun untung tak dapat diraih, malang tak kuasa ditolak. Baru saja satu minggu menikmati negara makmur ini, mimpi buruk demi mimpi buruk sudah mulai berdatangan melanda hidupku. Belang suamiku baru terlihat setelah kita jauh dari Indonesia. Setelah kita hidup di negeri rantau. Pelangi indah ternyata tiada bertahan lama dalam kehidupan cinta dan rumah tanggaku.P

Rupa-rupanya di negeri orang itu, suamiku memiliki banyak teman wanita, dan hampir tiap malam mereka begadang di teras rumah pemberian perusahaannya yang sekarang kita tinggali, tepat di depan hidungku sendiri. Hati istri mana yang tak akan hancur melihat suaminya sendiri bercumbu rayu dengan wanita-wanita asing di depan mata sendiri. Minum-minuman keras, sambil bersenda gurau sampai jauh tengah malam, bahkan tak jarang ketika subuh menjelang barulah mereka mau beranjak pulang dari rumah kami. Pemandangan yang menimbulkan luka dan mengoyak-ngoyak sisi kewanitaanku. Bahkan membakar meluluhlantakan perasaan dan pikiranku. “Aku begitu mencintainya, tapi kenapa balasan ini yang harus kuterima ya Allah.” Doa yang kupanjatkan setiap malam.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk mencoba mengerti, bahwa mungkin saja itu dilakukan suamiku karena capek di tempat kerja. Atau karena beban berat mendapat tekanan atasannya. Tapi masak sih harus dengan perempuan-perempuan lain.

Pernah suatu kali aku menawarinya secangkir kopi hasil seduhanku sendiri, tapi dengan kasarnya ia menepis cangkir kopi di tanganku sampai-sampai kopinya jatuh menghitamkan lantai, mungkin sehitam pikiranku saat itu. Dengan kasarnya ia lalu berkata, “Adel, kamu memang tidak becus ya jadi istri?”

“Lho apa salahku toh mas? Aku kan hanya membuatkanmu secangkir kopi, biasanyakan mas pulang kerja mesti minum kopi panas dulu baru mandi.”

“He! Dengar baik-baik yah, aku tidak butuh kopi darimu, lagian siapa juga yang nyuruh kamu bikin kopi buatku haaa?” Ketusnya dengan nada meninggi. Bukannya ucapan terima kasih yang kudapatkan tapi dampratan dan makian kasar yang selalu kuterima.

Tidak ada satu hari pun yang kulalui tanpa makian dan bentakan dari suami yang sungguh sangat aku cintai dan kasihi dengan sepenuh hati. Ia yang begitu kukasihi dengan sepenuh jiwa, dan dengan setulus-tulusnya. Seseorang yang kepadanya sudah ku pertaruhkan segala hidup dan cintaku. Seseorang yang kepadanya tidak mungkin lagi aku berpaling atau mendua hati. Tetapi laki-laki yang sama itu jugalah yang merobek-robek hatiku, menorehkan luka yang teramat dalam.

Ulah suamiku membuatku sampai pada suatu titik dimana aku mulai mempertanyakan keadilan Tuhan. Bahwa hidup ini memang tidak adil. Apakah Tuhan benar-benar masih mengasihiku? Hatiku berontak melawan, tapi aku tersadar bahwa tidak boleh dan tidak sepantasnya aku mempersalahkan Tuhan, seberapa beratpun beban hidup ini harus kutanggung. Aku masih yakin seyakin-yakinnya bahwa hanya Dialah tempat satu-satunya bagiku untuk membagi segala keluh-kesahku. Bahwa Ia tidak akan pernah membiarkan aku jatuh sampai tergeletak. Dan bahwa tidak sekali pun ia akan meninggalkanku sendiri menanggung segala perkara dan beban berat ini. Tak putus-putusnya kuberdoa, meminta dengan amat sangat, supaya Tuhan menilik bahtera rumah tangga kami yang di ambang kehancuran. Kebahagiaan perkawinan tidak lagi pernah bisa kukecapi selama di Amerika.

Untuk menghibur diri, terkadang aku memilih jalan-jalan sendirian ke Madison Square Garden, atau sekedar ‘cuci mata’ di Macy’s dan juga di 42nd street yang melegenda itu. Hati memang sedikit terhibur berada di pusat-pusat keramaian seperti itu. “Hey girl, wazzup yo...!?” Seorang pria bule menegurku karena hampir menabrak dirinya di pintu masuk Macy’s. Itulah diriku, meskipun terhibur berada di pusat keramaian namun pikiranku tak bisa diajak kompromi untuk berkonsentrasi penuh.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun