Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Dalam Hubungan Internasional, Kemampuan Berbahasa Inggris Saja Tidak Cukup

24 April 2013   20:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:39 2376 12

Bekerja dan bergaul dengan berbagai orang dari berbagai bangsa tentu mengharuskan kita menguasai bahasa asing, paling tidak bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Saya sudah mendapatkan kesempatan bekerja dan berhubungan dengan berbagai relasi dari beragam bangsa dengan latar belakang budaya berbeda-beda. Dan tentu saja terasa betul bahwa menguasai bahasa Inggris itu sangat penting. Tapi ternyata tidak cukup sampai di situ. Menguasai bahasa Inggris itu memang penting, tapi ketika kita bekerja cross culture maka adalah sangat penting untuk memahami budaya asal orang-orang yang menjadi relasi atau rekanan kita.

Dengan kata lain saya meyakini bahwa bicara bahasa Inggris tidak hanya sekedar berbahasa tapi juga mengerti tentang budaya lawan bicara kita. Ketika saya berbicara bahasa Inggris sebenarnya saya belum sepenuhnya bicara bahasa Inggris. Lantas apa yang terjadi ketika saya berbahasa Inggris? Iya, yang saya lakukan adalah berbicara bahasa Indonesia yang disampaikan lewat bahasa Inggris. Artinya begini, karena itu bukan bahasa asli saya, saya memikirkan apa yang hendak saya katakan dalam bahasa Indonesia, baik itu per kata, per kalimat, atau per alinea kemudian saya mentransfernya ke dalam bahasa Inggris. Jadi jelas di mana letak perbedaannya dengan penduduk setempat yang adalah pengguna asli bahasa tersebut. Pengungkapan arti dari yang dimaksudkan tentu akan berbeda.

Kalau saya bilang seperti ini do you understand what I was saying? Mungkin banyak yang bilang ‘Iya kami tau betul’. Tapi, do you really understand what I mean by saying that? Jawabannya adalah belum tentu. Latar budaya memengaruhi pemaknaan sebuah kalimat-kalimat yang terucap memakai bahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya).

Mari kita lihat contoh berikut ini. Bila Anda diperhadapkan pada situasi tertentu yang sangat menekan Anda. Misalnya Anda dituntut untuk segera menyelesaikan laporan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Pada situasi seperti itu, boss Anda datang dan berucap begini, I need your report less than 2 hours from now. Anda pun merasa hal itu tidak mungkin. Ada 300 halaman yang harus dipelajari untuk dibuatkan laporannya. Mana bisa diselesaikan dalam waktu 2 jam. Pada posisi seperti itu, di Amerika, Eropa, dan hampir semua kita pasti akan melontarkan kalimat seperti ini, “I will do my best” atau yang sejenis itu, “I will try my best”.

Penelitian membuktikan, bahwa setiap bangsa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas kalimat tersebut. Bila boss Anda orang Swedia atau Norwegia (Scandinavian Countries) mereka akan menganggap perkataanmu adalah semacam janji. Dan bagi mereka promise is a promise. Sebelum dua jam berlalu ia akan datang dan menagih janji Anda. Sebab apa? Kalau ada skala prosentase 1 – 100 maka sekitar 75-90% Scandinavian people memahami I will do my best sebagai sebuah pernyataan meyakinkan bahwa mereka akan benar-benar melakukan their best. Bahwa I will do my best tidak sekedar basa-basi, tapi sebuah janji.

Lantas bagaimana dengan pemahaman atau budaya sebagian negara Eropa lainnya termasuk Inggris dan German? I will do my best hanya dijamin 50%. Artinya mereka tidak sepenuhnya memaknai I will do/try my best sebagai sesuatu yang betul-betul harus ‘bersuar lelah’ untuk menyelesaikannya. Sederhananya begini, saya akan coba selesaikan, tapi ya begitulah….Not such a promise.

Untuk orang Polandia, Italia, dan Irlandia lebih rendah lagi, sekitar 25%. Dengan bahasa lain, will do my best itu sesungguhnya musti dimengerti dan dimaknai sebagai, I don’t think so, but just perhaps. Sekarang kita melihat bahwa bahasa yang sama tapi punya makna yang berbeda, tergantung latar budaya orang yang menyebutkan kalimat-kalimat tersebut. Dan seorang rekan bisnis dari Norwegia akan geleng-geleng kepala bila akhirnya menemukan rekan bisnis dari Polandia yang berjanji (menurut pemahaman mereka) untuk melakukan yang terbaik, tapi nyatanya they aren’t doing their best at all.

Culture Management Skills

Saya selalu mengulangi ketika bertutur dengan rekan-rekan dari negara lain, bahwasanya kita semua sesungguhnya butuh apa yang diistilahkan sebagai culture filters. Sebab dengan memiliki itu, hubungan kita dengan komunitas internasional di manapun kita ditempatkan dan atau bekerja akan semakin mudah. Kita akan mampu menempatkan diri, dan sanggup memahami lawan bicara kita base on their culture.

Kata lainnya yang ingin saya bahas adalah “maybe”. Kata sederhana ini ternyata dapat dimaknai berbeda-beda, tergantung latar budaya masing-masing orang yang mengucapkannya. Seperti contoh di atas tadi, orang Scandinavia bila mengatakan maybe (atau mendegarkan kata tersebut) maka di benak mereka, yang dimaksud maybe itu adalah a litter more than maybe. Dengan kata lain more promising (75-80%).

Bagaimana dengan Inggris dan German umpamanya? Ternyata maybe is just maybe. Bagi mereka maybe adalah maybe yes dan maybe not dengan kemungkinan yang sama besar (50%). Kalau orang Latin Amerika yang mengucapkannya? Lain lagi. Maybe itu lebih condong ke ‘mungkin tidak’ (maybe not) atau 1-50%. Ketika mereka mengucapkan ‘Quizas’ (kata dalam bahasa Spanish) lalu Anda mencarinya di kamus maka yang tertera di sana adalah ‘maybe’. Padahal arti asli dalam bahasa mereka (berdasarkan latar budaya orang-orang Amerika Latin) maka kata quizas itu bukan maybe, tapi maybe not. Atau boleh dikalimatkan serta dimaknai sebagai perhaps, but I don’t think so.

Bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara justru akan lebih ekstrim lagi. Mengatakan maybe adalah cara sopan sebuah penolakan. Cara sopan untuk mengatakan ‘tidak’. Maybe itu adalah ‘no’. Kalau orang Filipina diminta untuk datang ke suatu acara tapi karena satu dan lain hal mereka tidak bisa hadir, perhatikan apa yang akan mereka bilang, maybe. Bukankah itu juga yang dilakukan hampir semua kita di negeri ini? Maybe (mungkin) adalah bahasa halus untuk bilang ‘Not possible’. Dalam skala presentase seperti di atas, hasilnya adalah 0%. Maybe itu artinya ‘nggak’. Nah, di Jepang lebih unik lagi, bukan hanya 0% tapi minus (-) 20%. Kalau orang Jepang bilang ‘shhhh maybe’, itu artinya tidak sama sekali. Nggaknya luar biasa banget. Simply just forget it!

Jadi betapa pentingnya untuk menguasai bahasa Inggris dalam pergaulan internasioanl. Betapa berpengaruhnya pengetahuan berbahasa kita dalam hubungan kerja dan hubungan bisnis lintas batas dan lintas budaya atau cross culture tersebut. Tapi tidak cukup itu saja. Bahasa itu penting, tapi tak kalah penting juga untuk mengetahui budaya sang pengucap bahasa tersebut. Mendengar dan menerjemahkan what other people’s saying itu mungkin gampang. Tapi memahami what they mean by saying that saya pikir tidak segampang yang kita pikirkan. Untuk itulah perlu sekali belajar Culture Management Skill supaya kita dapat melihat serta memahami apa yang dilihat oleh lawan bicara kita dengan menggunakan ‘kaca mata’ yang ia pakai. Kiitos Palijon! ---Michael Sendow---

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun