Mendaki Gunung Klabat Sebagai Bentuk Wisata Alam yang Menantang
Mendaki gunung bukan merupakan panggilan jiwa saya. Tapi mendaki gunung adalah ‘hobi yang tertahan’ saya sejak lama. Sewaktu menjadi pemimpin redaksi majalah mahasiswa ‘Equilibrium’ waktu masih berkuliah tempo hari, kegiatan paling menggeliat yang mesti kami liput adalah apa yang dilakukan oleh rekan-rekan mahasiswa dari Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala). Meliput kegiatan pendakian gunung yang sering mereka lakukan, juga kegiatan masuk keluar hutan lainnya membuat kecintaan saya terhadap alam semakin menggelora. Alhasil, mendaki gunung pun mesti saya lakoni.
Akhir tahun ini sebenarnya terbesit di benak saya untuk mengisinya dengan melakukan wisata pendakian gunung lagi. Sebuah kegiatan yang sudah sekian lama tidak lagi saya lakukan. Kegiatan yang sebetulnya sangat menantang dan benar-benar ingin sekali kembali saya lakukan. Mungkin untuk tahun ini saya akan memilih untuk mendaki gunung. Kalaupun tidak, ya saya akan melakukan wisata akhir tahun lainnya seperti yang dapat dilihat di sini: http://www.indonesia.travel/
Mendaki gunung selalu saja saya katakan sebagai wisata alam paling mengesankan yang pernah ada di muka bumi ini, selain menyelam ke dasar laut paling dalam tentunya. Mendaki puncak gunung yang tinggi itu seakan membawa kita untuk semakin menyadari betapa besarnya Sang Pencipta itu dan betapa kecilnya kita dibanding DIA. Dari atas puncak gunung kita dapat melihat keagungan hasil karya ciptaanNya. Dan lagi, untuk mencapai puncak gunung kita mesti berjuang keras, melawan segala rintangan berduri yang senantiasa ada di sepanjang jalan.
Berjalan menembus onak dan duri. Melawan teriknya sinar mentari dan dinginnya udara malam. Berhadapan dengan liarnya alam dan rintangan serta halangan yang tak terduga dan tiada terkira, benar-benar merupakan wisata alam yang begitu luarbiasa memompa adrenalin dalam darah untuk terpacu lebih cepat lagi. Pengalaman mendaki gunung adalah pengalaman berwisata yang tiada taranya. Makanya jangan heran kalau bahkan ada yang saking jatuh cintanya pada kegiatan mendaki gunung, sampai-sampai ketika menikahpun ada yang dengan ekstremnya memilih puncak gunung sebagai pilihan tempatnya.
Kesempatan Mendaki Gunung Klabat
Pagi itu kami bersiap-siap menuju Gunung Klabat. Pilihan pendakian Gunung Klabat adalah diolehkarenakan gunung ini merupakan gunung tertinggi di Sulawesi Utara (SULUT). Puncak ketinggiannya mencapai sekitar 2100 meter. Nah, oleh sebagian masyarakat Tonsea di kawasan Minahasa Utara (MINUT) disebut juga sebagai Gunung Tamporok. Sasaran pertama kami adalah tentu saja menuju Airmadidi (Ibu Kota Kabupaten Minahasa Utara).
Selesai kegiatan administratif tanpa berlama-lama kami langsung tancap gas menuju kaki Gunung Klabat. Gunung yang ternyata belum pernah bangun lagi dari tidurnya selama beratus-ratus tahun. “Are you ready to go higher…?” kawan saya bertanya agak tak sabaran. Pertanyaan yang disambut anggukan oleh kawan-kawan lainnya. “Let’s go then…!”
Sedikit menoleh ke belakang untuk sekedar melihat catatan historis asal kata Klabat tersebut, kita akan menjumpai fakta-fakta historical yang melekat erat terhadap penamaan gunung itu. Kata Klabat itu sendiri diambil dari bahasa Minahasa "Kalawat", atau dalam dialek Tonsea disebutkan sebagai "Kalabat". Kata ini diucapkan oleh para pelaut Portugis dengan sebutan unik berbunyi "Calabets". Sebagai sebuah nama gunung di pulau sulawesi, dari kata ini jugalah akhirnya dinamakanlah pulau tempat dimana gunung itu berada, yang kemudian muncul menjadi Calabes dan berubah lagi menjadi Celebes yang dikemudian hari menjelma menjadi Sulawesi.
“Gunung Klabat sudah tidur lama sekali, beratus-ratus tahun lamanya. Dan sebelum dia bangun, kami ingin berada kembali di atas puncak gunung itu…”
Di Puncak Gunung Klabat saya menemukan berbagai macam tumbuhan dan rumput-rumput aneh. Ada juga sejenis bunga, tapi bukan bunga, entah apa itu. Mungkinkah ini sejenis bunga Eldeweis? Saya begitu kepincut untuk memetiknya sebagai kenang-kenangan yang akan dibawa pulang. Tapi sebelum tangan saya menggapai ujung tumbuhan tersebut, terngiang di telinga saya petuah seorang pendaki gunung bijak tempo hari. Ia bilang kalau sudah sampai di Puncak Gunung maka ingatlah, “Take nothing but breath, and leave nothing but footprint…” Saya pun tidak jadi memetik ‘bunga aneh’ itu.
Jangan ambil apa-apa selain hirup udara segar di atas sana, dan jangan tinggalkan apa-apa kecuali jejak kaki. Bukan sebaliknya, kita ambil kekayaan di atas gunung tersebut, dan sampah-sampah kita tinggalkan di atas sana. –Michael Sendow-