Program-program acara televisi seperti TV Show dan atau Reality Show sepertinya sangat erat dengan sosok wanita. Dalam arti bahwa wanita sering dijadikan “objek” demi rating atau popularitas. Sadar atau tidak memang daya tarik suatu acara dengan ada tidaknya sosok wanita ternyata besar pengaruhnya. Ada daya tarik tersendiri. Ada magnet tersendiri. Lihat saja acara-acara seperti Bukan Empat Mata. Acara yang menempati ranking nomor wahid paling popular itu. Setiap kali tayang, pasti ada bintang tamu wanita cantiknya. Bahkan Tukul selalu didampingi dua wanita di setiap penampilannya. Kemudian lihat juga Opera Van Java (OVJ), hampir pasti di setiap tayangan pasti ada bintang tamu wanita cantik, bahkan yang tidak bisa acting pun hadir di situ. Saya pernah nonton seorang bintang tamunya bahkan tidak bisa membalas percakapan dengan si Sule. Ia hanya cekikikan, sedikit senyum lalu tertawa geli. Ada juga yang sangat grogi dan malu-malu. Ada yang asal sudah tampil, semuanya beres. Then everything else-- it’s ok.
Tapi itulah realitanya. Di situlah daya tariknya. Tanpa wanita seakan semuanya terasa hambar. Bayangkan saja Kompasiana ini tanpa kehadiran wanita. Tanpa kehadiran wanita, belumlah lengkap. Ibarat kopi tanpa gula, atau nasi tanpa lauk.
Tapi kadang realita itu terlalu dieksploitasi sedemikian rupa demi rating dan money. Di Amerika terlihat jelas program-program TV yang terlalu mengkomersialisasikan wanita, tanpa memperhitungkan negative side dari tayangan-tayangan seperti itu.
Sebuah majalah reality show pernah menulis bahwa setidak-tidaknya ada 15 program tv show di Amerika yang sedang menghancurkan American Society. Telah mencapai titik kulminasinya. Menggerogoti secara perlahan-lahan sendi-sendi hidup dan “value of life” dari masyarakat pemirsa dan para pemeran serta kontestan di acara-acara tersebut.
Saya melihat ada empat tayangan reality show yang bertengger di papan atas sebagai acara TV Show yangtidak mendidik, malah terlihat melecehkan wanita. Pertama adalah The Jersey Shore. Acara ini sangat popular dengan mengambil latar di salah satu daerah pantai di New Jersey. Acara ini dengan gamblang mempertontonkan sebuah “cermin”. Ya, cerminan dari human condition yang sangat ambisius untuk mematahkan cinta, ketamakan, penghianatan, ras dan budaya. Dan menurut sebagian itu sangat bermanfaat. Suatu upaya pembenaran atas komersialisasi human being. Tapi tidak sedikit yang mengkritik acara tersebut. Wanita terlalu ditonjolkan sebagai objek yang vulgar.
The Jersey Shore Show mengijinkan para pemirsa untuk menyaksikan hal-hal paling mendasar dari kebiasaan terburuk mereka sekalipun. Di tempat mandi, di tempat tidur, berkelahi seperti orang-orang maniak, berbicara seperti orang idiot. Bahkan ada yang bilang, sebagai bahan perbandingan, nonton acara itu menjadikan pemirsa merasa lebih pintar, lebih berbudaya, lebih beradab, lebih dewasa dibandingkan mereka yang ditonton. Mereka berbikini sebagai salah satu daya pemikat juga. Kita senang menontonnya, karena di mata kita mereka orang lain. Saya percaya hal yang sama tidak akan kita rasakan kalau posisi “pemain” pada acara seperti itu adalah kerabat kita, saudara kita, atau orang-orang yang kita respek. Think about it. Wanita-wanita dalam show itu terpaksa atau dipaksa untuk berakting bodoh dan liar nggak karu-karuan.
Memang, obsesi masyarakat pemirsa terhadap budaya selebritas masih agak “norak”. Sehubungan mereka yang tampil di TV dianggap selebriti, orang top, melihat pemain yang cantik-cantik, kehebatan aktingnya, bagusnya suara mereka nyanyi, maka kita (penonton) pun menjadi persis anak kecil yang lapar banget mengelilingi sebongkah roti. Lalu roti itu kita ambil, kita cabik-cabik, kita tarik-tarik sampai hancur, kita kunyah dengan rakusnya. Kita puja-puji, dan kita juga yang hancurkan. Dan apa yang dilakukan para selebriti itu ketika kita sudah sangat “tergila-gila” mengkonsumsi acara mereka? Melanjutkannya to the next part? Tentu saja! Ketergila-gilaan kita telah menciptakan lanjutan demi lanjutan show dimana mereka dapat bertarung untuk memperoleh mahkota ketenaran terakhir. The Last. The Champion. Sang Juara.