Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Kompasianer, Belajar dari Winnetou dan Old Shatterhand

18 April 2011   02:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:42 602 5
[caption id="attachment_101399" align="alignleft" width="300" caption="PROFILE: Tatapan gagah seorang Winnetou.."][/caption] “Eeh, itu rambutku! Siapa yang memberikannya kepadamu?” teriak Winnetou keheranan sambil mundur selangkah ketika melihat seikat potongan rambut di kaleng sardine itu.

Old Shatterhand menjawab tenang, “Roh Agung yang Mahabaik mengutus seorang penolong yang tidak dikenal ketika kamu diikat di pohon oleh suku Kiowa. Penolong itu tidak mau diketahui jati dirinya demi keselamatannya. Tetapi kini penolong itu tidak perlu menyembunyikan diri lagi. Percayakah kamu sekarang bahwa sebetulnya sejak dulu aku bukan musuhmu, melainkan sahabatmu?”

Winnetou terbelalak heran bercampur haru, “Jadi….kamulah yang malam itu melepas tali pengikatku? Oh, sungguh kami berutang budi kepadamu. Berkat jasamu aku masih hidup!”

Demikian sebuah adegan dari buku Winnetou. Memang beberapa bulan sebelummya pada suatu malam Old Shatterhand merayap sejengkal demi sejengkal mendekati pohon tempat Winnetou akan dibantai. Saat itu Old Shatterhand mengerat sepotong rambut Winnetou yang panjang itu sebagai bukti bahwa ia adalah penolong Winnetou.

Sejak itu kedua pemuda ini menjadi sahabat. Winnetou adalah kepala suku Apache dan Old Shatterhand adalah pemuda Amerika keturunan Jerman yang bekerja sebagai pengukur tanah. Mereka bersahabat karib. Winnetou tidak pernah ragu-ragu mempertaruhkan nyawa demi melindungi Old Shatterhand, demikian pula diperbuat Old Shatterhand terhadap Winnetou.

Persahabatan kedua insan itu melalui suka dan duka telah menjadi kisah empat jilid buku dengan hampir dua ribu halaman karya Karl May (1842-1912) yang digemari jutaan pembaca mulai Albert Einstein sampai Mohammad Hatta. Saya termasuk di antara jutaan orang yang suka dengan buku itu. Cerita ini pertama kali terbit tahun 1875 di Jerman.

Siapa Karl May? Ia lahir dalam keluarga penenun miskin di Jerman. Karena kurang gizi ia langsung buta sejak lahir. Ia juga menderita sesak napas. Ia diperlakukan keras oleh ayahnya dengan tujuan menanamkan sifat ulet dan tangguh.

Dalam kebutaannya May mendapat penghiburan dari cerita-cerita neneknya. Tiap hari ia larut dan hanyut dalam cerita. Raut muka neneknya tidak bisa dilihatnya. Oleh sebab itu daya imajinasi May tumbuh dengan kuat.

Pada usia enam tahun May mulai bisa melihat. Ia bersekolah dengan baik dan kemudian menjadi guru. Namun ia mulai mengidap gangguan jiwa berupa keterpecahan pribadi. Perilaku akibat gangguan kejiwaan membuat May dijebloskan ke dalam penjara. Selama beberapa tahun di penjara ia dibimbing dan ditempa.

Selepas dari penjara, dengan bekal daya imajinasi dari neneknya, ketangguhan dari ayahnya dan kecakapan mengarang yang ia peroleh selama di penjara, May mulai menulis, dan terus menulis sampai usia 70 tahun. Sekitar 70 judul buku telah lahir dari tangannya.

Apa keistimewaan buku May? Pertama, ceritanya merupakan imajinasi namun berdata factual. Uniknya, data factual itu belum pernah dilihatnya. Cerita Winnetou berkisah tentang perang dan damai orang Indian di gunung dan lembah Amerika, padahal May belum pernah ke Amerika, apalagi melihat orang Indian. Namun data faktualnya sangat akurat dari segi antropologi dan geografi. Kedua, May mengarang mundur. Ia mulai dengan menulis bab penutup lalu mundur ke bab pembuka. Ketiga, ia menempatkan dirinya sendiri dalam cerita yang ia tulis. Old Shatterhand adalah personifikasi dirinya.

Keistimewaan yang lebih mendalam pada buku May adalah teologinya. Ia menggambarkan manusia sebagai Edelmensch, yaitu manusia yang berjiwa mulia. Buku May merupakan apologi (artinya, pembelaan teologis) terhadap filsafat Nietsche yang mengajarkan bahwa manusia adalah Ubermensh, yaitu manusia yang bernafsu menjadi unggul. Menurut May kehebatan manusia justru terletak dalam kemauan untuk berdamai dan bersahabat. Edelmensch ajaran May adalah insan sesuai pengakuan. Insan yang diakui dan yang mengakui. Jiwa mulia itu tampak dalam diri Winnetou dan Old Shatterhand yang selalu mencari damai dan memulihkan hubungan dengan semua suku Indian dan orang kulit putih.

Pada suatu hari Winnetou dan Old Shatterhand menyiapkan penyerbuan untuk membebaskan pemukiman desa kulit putih yang akan dibantai oleh suku Ogellallah. Old Shatterhand memimpin penyerbuan ini namun diambil alih oleh Winnetou demi keselamatan Old Shatterhand.

Winnetou berfirasat bahwa dalam pertempuran ini ia akan tewas. Sambil memeluk Old Shatterhand berbisiklah Winnetou, “Hari ini aku berangkat ke tempat di mana Putra Manitou Agung telah menyiapkan banyak tempat bagi kita. Di sana kita akan bertemu lagi. Di sana tidak ada perbedaan kulit putih dan kulit merah. Tidak ada lagi pembunuhan dan pembantaian. Yang ada hanyalah kebahagiaan tanpa akhir.”

Firasat Winnetou ternyata benar. Ia tertembak. Old Shatterhand mendekap Winnetou di pangkuannya. Darah terus mengalir. Winnetou berdesah, “Nyanyikan bagiku Kidung Ratu Surgawi.” Para pemukim dengan anak-anak yang baru dibebaskan mengelilinginya dan menyanyikan “Ave Maria” dengan kalimat akhir “Semoga aku berlalu dalam kesalehan, dan bangkit nanti dalam kebahagiaan.”

Bibir Winnetou yang kaku bergerak-gerak. Old Shatterhand merapatkan telinganya. Berbisiklah Winnetou dengan suara halus, “Aku yakin, namaku akan disebut-sebut di Kompasiana…karena secara tidak langsung aku adalah kompasianer tertua…dan aku harap rumah sehat itu akan tetap sehat. Damai. Kalaupun ada riak-riak, itu hanya sebagai bunga bakung dan bukan bunga kemboja si bunga kematian..…Semoga mereka mencontohi hubungan kita berdua Old Shatterhand, my friend!.....Selamat Tinggal!!”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun