Puluhan tahun berlalu, tentu tragedi ini masih membekas bagi Indonesia. Kita bisa  mengambil pelajaran dari tragedi yang berfokus terhadap perilaku dan konflik antar manusia tersebut. Salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang manusia adalah Psikologi. Dalam turunan ilmu Psikologi Sosial, perilaku manusia dan dinamika kehidupan sosial menjadi salah satu yang sangat disoroti. Sebagai negara multikultural, masyarakat Indonesia harus semakin memahami bagaimana cara hidup berdampingan dengan kawan yang memiliki latar belakang yang berbeda. Menjaga batasan teritorial tentu menjadi hal yang penting saat ini. Dalam ilmu Psikologi Sosial, teritorial didefinisikan sebagai bagaimana cara individu dapat menjaga area di sekitarnya. Teori ini dibagi menjadi 3 tipe: 1) primary territories, 2) secondary territories, dan 3) public territories.
Peristiwa yang terjadi antara suku Dayak dan suku Madura ini menggambarkan bagaimana suku Dayak sebagai penduduk asli kota Sampit harus berdampingan dengan suku Madura sebagai warga pendatang. Primary territories atau teritorial primer menggambarkan bagaimana pemilik asli area tersebut memiliki kontrol terhadap lahan yang menjadi miliknya. Pada kasus ini, suku Dayak merupakan pemilik asli kota Sampit. Namun, konflik mulai terjadi ketika dirasa suku Madura mulai mengambil alih area tersebut. Hal ini dapat terjadi ketika individu menganggap daerah yang bukan miliknya sebagai public territories atau teritorial publik. Public territories merupakan area tidak berpemilik, sehingga tidak ada individu yang diwajibkan mengontrolnya.
Melalui tragedi sampit ini, kita bisa belajar untuk hidup berdampingan dan saling menghormati perbedaan yang ada, dan justru menjadikannya sebagai sumber kekayaan negara.