Salah satu sahabat saya pun mengemukakan hal yang sama. Dia berkisah tentang dirinya dan orang-orang yang menjadi penumpang angkutan kota. Rata-rata para penumpang di dalam mobil angkutan umum tersebut sibuk dengan ponselnya masing-masing. Berbagai ekspresi di wajah mereka pun berbeda-beda. Ada yang senyum-senyum dikulum, muka cemberut, ekspresi datar, dan terkadang ada yang mulutnya komat-kamit sendiri. Satu hal yang sama dari kesemua penumpang yang dilihat oleh sahabat saya ini, yaitu menjadi pribadi yang hanya asyik sendiri. Sampai saat ada seorang ibu yang kerepotan membawa barang belanjaannya dan dua anak balitanya hendak naik ke dalam angkutan kota tersebut. Saat itu sahabat saya duduk di paling belakang, jauh dari pintu. Sementara ada tiga penumpang yang duduknya paling dekat dengan pintu hanya acuh saja. Mereka sibuk dengan 'si ponsel pintar' -nya masing-masing. Sahabat saya pun akhirnya memutuskan untuk membantu ibu dan anak-anaknya tersebut.
Mendengar cerita seperti itu pun saya ikut tertampar sendiri. Karena mungkin saja saya juga menjadi salah satu dari mereka yang acuh. Lalu pertanyaannya apakah teknologi canggih sudah seharusnya mereduksi nilai kepekaan terhadap sekitar? Seharusnya kan tidak. Budaya ramah di negeri ini pun mulai terjadi banyak pergeseran, tentu jika melihat hal ini, bukan ke arah yang baik. Menurut saya, teknologi canggih seperti 'si ponsel pintar' ini harus tetap bisa diseimbangkan dengan perilaku sosial yang nyata, di hadapan atau sekitar kita.
Get a life, people!