Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Pasangan, Pengasuhan, Kesepakatan

22 Maret 2022   18:01 Diperbarui: 22 Maret 2022   18:05 151 4
Alloohuakbar walillaahilhamd.

Mengulang jalan kaki bersama Zidni, sekaligus sebagai kencan di akhir pekan.

Sadar diri dengan hari-hari yang tak bisa sepenuhnya menyerahkan waktu dan kebersamaan dengan anak-anak. Terlebih dengan jadwal virtual yang kadang atau seringkali tak mengenal waktu. Petang hari, malam, atau bahkan subuh. Zidni pun bukan tak pernah protes. Bahkan dirinya batal video call dari rumah Nenek Kakek, hanya karena melihat saya dalam kondisi tengah mengenakan headset dan duduk tegak di depan laptop. Dan dengan spontan ia protes; "gak ah, gak jadi video call-nyaaa. Uminya lagi zooooom."

Kondisi demikian ditanggapi cepat oleh bapaknya anak-anak, hingga akhirnya kami berdua membuat kesepakatan. Kesepakataan yang dimulai dari pertanyaan teknis.

"Malam ini, Umi ada zoom nggak? Kalau ada, gapapa biar Abi yg ganti jadwal." Atau bertanya tentang akhir pekan. "Sabtu/Minggu ini, Umi ada virtual jam berapa? Kalau barengan virtualnya, Zidni kita titip di Nenek."

Kesepakatan yang sangat sederhana. Tapi bagi saya itu "winwin solution". Setidaknya, dengan sistem pengaturan zigzag seperti itu, anak tetap ada yang menemani. Setidaknya, Zidni tetap bisa mendapat hak dibacakan buku atau sekadar ditemani main atau sekadar ditemani ngobrol. Setidaknya, kami sebagai orang tua, tidak dalam kondisi "bedegong" alias "mawa karep sorangan" alias hanya memikirkan diri sendiri.

Pun dengan "Magrib Mengaji"-nya si sulung dan si tengah. Saat saya dalam kondisi tanggung atau baru tiba dari mengisi taklim, bapaknya tetap bisa menggantikan. Perkara jadwal, cukuplah si sulung dan si tengah mengingat bagian apa dan halaman berapa. Senin malam bagian kitab sulamun taufik, Selasa bagian kisah sahabat, dan seterusnya. Tak terkecuali hanca tilawah. Halaman berapa dan ayat berapa, cukuplah bujang Shidqi dan gadis Fariza menandai Qur'annya masing-masing.

Ya, kurang lebih "saling mengisi", meski dengan konteks sesederhana itu.

Tapi saat tafakur jauh ke depan. Semua memang bermula dari rumah alias dari keluarga. Dan berbicara keluarga, tentu bermula dari cikal bakalnya. Lalu siapakah cikal bakalnya? Ya, siapa lagi kalau bukan suami dan istri.

Berbicara harapan, berbicara obsesi, berbicara kebermanfaatan, berbicara karier, berbicara amar ma'ruf nahy munkar, berbicara pekerjaan, berbicara pengasuhan, bermula dari kita dan pasangan.

Dan setiap keluarga memiliki budaya yang berbeda, memiliki kebiasaan yang tak seragam, memiliki cara mengekspresikan rasa yang unik. Semua itu dalam rangka menghadirkan bahagia. Meski cara dan konteksnya tak harus selalu sama.

Ada yang saling mengurai beban pekerjaan di dapur, ada yang istrinya rajin nyalon demi suami, ada yang suaminya berusaha menambah penghasilan di luar gaji rutin dari pekerjaan, ada yang istrinya memilih resign dari pekerjaan, bahkan pasangan yang LDR sekalipun tetap dalam tujuan mulia membahagiakan keluarga.

Artinya, beragam jalan dalam upaya menjaga marwah keluarga. Ada kesepakatan yang bisa dikomunimasikan, meski dengan cara tak harus formal. Ada perintilan yang bisa diobrolkan, meski diibrolkan dalam suasana sesederhana makan bala-bala.

Kenapa? Karena perjalanan itu panjang. Karena keputusan untuk menikah itu berarti siap menerima segala dinamika alias roller coaster-nya. Karena berpasangan itu hakikatnya menumbuhkan kemaslahatan. Kemaslahatan untuk siapa? Untuk banyak orang.

Senyum teduh untuk khusyuk yang terus hidup. Khusyuk mengawal anak-anak. Khusyuk memperbaiki diri dan pasangan. Khusyuk merangkai produktivitas. Khusyuk berkontribusi.

Selamat malam dan selamat beristirahat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun