Aku membiarkan lilin itu terus menyala, menyaksikan tubuhnya meleleh sedikit demi sedikit, berharap Ia juga merasakan sakit yang sama. Meskipun berharap begitu, entah mengapa aku tidak bisa sedikitpun merasa lega.
Orang-orang bilang, aku terlahir sebagai sebuah pisau dengan pantulan yang menyilaukan. Karena itu, terkadang matahari terlihat enggan menyinariku. Bintang bintang dan bulan pun terlihat lebih suka menyinari malam yang terlihat sedikit banyak mulai membosankan.
Aku ingin tahu, bagaimana agar diriku bisa menangani pisau dalam diriku ini dengan benar? Sering kali aku terjebak; mengarahkan pisau itu membabi buta dan melukai orang-orang yang coba mendekatiku. Haruskah aku mengubah arah pisau itu ke jantungku sendiri, atau haruskah aku membuangnya, meskipun tahu itu berarti aku akan kehilangan separuh dari ruh yang ditiupkan pada sukmaku?
Mataku masih tertuju pada lilin yang mulai kehilangan bentuknya. Melihatnya yang mulai memenuhi permukaan sepotong kue itu, membuatku spontan merapatkan tanganku. Jari jemariku menyatu dalam doa yang tak pernah bisa kusebutkan pada siapa pun, bahkan pada bayangku sendiri.
Di luar, jam tua itu masih berdentang memenuhi langit malam yang juga terlihat enggan untuk terlelap. Saat itu, saat aku membuka mata di ujung doa-doa tergelapku, aku melihat sebuah bintang jatuh. Bintang dengan ekor mata yang membuatku berharap segala kebahagiaan akan selalu berdiri di sampingnya. Kataku berujung semoga, tumpah begitu saja.
Malam itu, bersamaan berhentinya detak jam, kehidupanku pun perlahan ikut terhenti. Tepat di perbatasan antara ratap dan juga harap.