Aku menyandakan diriku pada dinding. Mencari sesuatu yang bisa menopangku saat ini ini juga, mencoba menanangkan diri. Aku menutup mataku, seperti memutar rekaman ulang dari mimpiku tadi.
**
Setelah sekian lama tersesat dalam gelap, aku kembali bermimpi. Aku bermimpi menjadi seekor burung yang tinggal di sebuah sarang yang hangat dan nyaman. Pohon tempat sarangku pun selalu menjatuhkan embun dan buah-buahan di saat aku membutuhkan. Kurasa itulah yang disebut-sebut sebagai kebahagiaan.
Aku menghabiskan hari-hariku di dalam sana, tanpa ada yang bisa mengusikku. Dari waktu ke waktu, hari demi hari, minggu-minggu berganti bulan, lalu beranjak dari tahun ke tahun yang panjang. Tak ada yang berubah; pohon tempatku bersarang masih kokoh dan makin melidngiku dengan daun-daun lebatnya, persediaan makanan dan minuman yang makin hari justru makin melimpah. Tidak ada yang benar-benar perlu kukhawatirkan saat itu. Hingga suatu hari kau datang.
Kau memanjat pohon tempatku bersarang entah dari mana. Aku amat gusar menyadari ada seseorang menginjakkan kaki ke satu-satunya tempat yang selama ini kutempati seorang diri. Apa yang sebenarnya kau cari saat itu? Buah-buah ranum yang tak terhitung banyaknya di pohon ini kah? Atau kayu dari pohon yang bertahan hidup lebih dari satu dekade ini?
Aku masih tak mengerti dan terus bertanya-tanya dalam hatiku. Insting menyalakan alarm tanda bahaya. Aku paham betul kalau aku harus melarikan diri, tapi bagaimana? Aku tidak pernah menggunakan sayapku untuk terbang seumur hidupku. Dan memanggil kawanan untuk membantuku? Aku bahkan lupa bagaimana cara mengeluarkan suaraku.
Aku ketakutan setengah mati. Kupikir keberadaanku saat itu akan langsung berakhir, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Semua kekhawatiranku menghilang saat mendengar kamu berkata, "Akhirnya, aku menemukanmu."
Kau mengatakannya dengan getaran yang tak bisa kujelaskan. Mendengar kata-kata itu seolah mengatakan bahwa aku begitu istimewa. Kalimat itu membuatku merasa ada seseorang yang menginginkanku untuk pertama kalinya dan aku merasa sangat bahagia dibuatnya.
Saat itu aku benar-benar tersihir. Kau mengangkatku dari sarang dan membawaku pergi ke tempat yang belum pernah kukunjungi. Sebuah padang luas dengan bunga-bunga bermekaran sepanjang waktu, lengkap dengan sepotong pondok yang kau gunakan untuk berteduh.
Mulai saat itulah aku menghabiskan hari-hari yang panjang bersamamu. Kau bilang seekor burung harus bisa menggunakan sayapnya untuk terbang. Karena itulah kau melatihku dengan melambungkanku ke udara lalu kembali menangkapku dalam pelukkanmu, bak seorang putri.
Tak begitu lama waktu yang dibutuhkan untuk membuatku bisa terbang dengan kedua sayap ini. Karena tak lama kemudian, kita berdua sudah melintasi padang luas itu berdua. Kau yang berkeringat saat berlarian mencoba menyamai kecepatan kepakkan sayapku, saat itulah kau paling terlihat bersinar.
Aku tidak akan melupakannya. Langit berwarna keemasan bercampur semburat-semburat ungu yang telihat begitu megah. Aroma senja bercampur aroma nectar dari bunga-bunga di padang luas itu, aku masih mengingatnya dengan baik.
Di momen yang terasa begitu agung itulah kau mengatakan padaku bahwa seekor burung, selain bisa menggunakan sayapnya untuk terbang, aku juga harus bisa beryanyi. Sejak saat itu, kau mulai bersiul-siul, menyenandungkan nada-nada lembut setiap kali berada di sampingku. Itu adalah suara terindah yang pernah kudengar seumur hidupku.
Aku menyukai lagu-lagu yang kau gumamkan padaku. Hingga suari, dari hari ke hari aku mulai bisa menyenandungkan setiap nada yang kau ajarkan padaku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menemukan suaraku.
Kau bilang, "Jika ada seekor burung yang kehilangan suaranya, itu berarti dia juga kehilangan kesempatan untuk mengungkapkan perasaan cintanya."
Aku tidak tahu apa itu cinta, tapi jika hal itu dikatakan olehmu, aku percaya itu adalah sesuatu yang indah dan menyenangkan. Layaknya kehadiranmu yang membuatku menemukan hari-hari penuh warna di padang ini.
Karena itulah, aku ingin menyanyikan lagu-lagu ini bersamamu. Lagu-lagu yang kadang kala kau ajarkan dengan binar penuh semangat, lalu di waktu lain kau nyanyikan dengan derai air mata. Aku menangis dan tertawa bersamamu saat bernyanyi. Kupikir begitu, tapi...
Hei... kenapa kamu hanya diam saja menatap matahari terbenam? Bukankah harusnya saat ini kamu menyenandungkan sesuatu yang terdengar menyakitkan dan indah di waktu bersamaan?
Hei... Apa yang terjadi? Kenapa kamu hanya menangis tanpa mengeluarkan suara apapun? Kenapa kamu hanya diam dan tidak berkutik seperti itu?
Hei... Apakah kamu tidak mendengarku? Apakah semua lagu ini tidak mencapaimu? Apakah lagu ini tidak pernah sampai padamu?
**
Aku kembali membuka mataku. Selalu berhenti pada titik itu. Setiap kali memimpikannya, aku akan terbangun tanpa bisa mendengar suaranya lagi. Aku yang selalu terbangun dengan peluh dan air mata. Aku masih bisa merasakan sakit yang tersisa di dadaku.
Tanpa sadar, mataku menangkap case gitar di samping lemari pakaianku. Ah... sudah berapa lama gitar itu di sana?
Aku bangun dari posisiku, mendekati gitar itu dengan ragu-ragu. Aku mengambil case gitar berdebu itu, meletakannya di atas ranjangku. Aku menarik napas panjang, lalu membukanya dengan sangat hati-hati seperti khawatir akan merusak setiap inci dari isi case itu.
Saat itu sebuah kilau muncul bersamaan dengan kenangan-kenangan di dalamnya. Sebuah gitar klasik dengan enam senar yang mulai berkarat.Â