Beberapa waktu lalu bel rumahku berbunyi lagi, untuk pertama kalinya sejak kehidupan di kota ini mulai meredup. Aku bahkan sudah melupakan betapa aneh dan falsnya bel rumah yang kutinggali seorang diri ini. Aku benar-benar lupa, kalau bel ini harus segera kuganti.
Saat mendengar bel rumah berbunyi, aku meraih sebuah masker dan dengan takut-takut melangkah ke pintu depan. Entah sejak kapan, dunia luar terlihat begitu dingin dan mencekam. Bagiku saat ini, rumah adalah satu-satunya tempat yang hangat dan menawarkan keamanan.
Pintu tanpa cat yang hanya dilapisi pernis itu terlihat semakin dekat. Hingga saat mencapainya, aku memutar membuka kuncinya perlahan-lahan dan dengan gugup membuka pintu rumahku. Saat itu seorang lelaki dengan tas penuh amplop berwarna emas kecokelatan sedang berdiri dan tersenyum ke arahku.
"Apakah benar di sini merupakan kediaman Nona Rayana Alicia?" Tanyanya sambil memastikan sesuatu di note kecil yang berada di tangannya.
"Benar. Saya Rayana Alicia." Jawabku yang berdiri di ambang pintu.
"Oh, bagus sekali kalau begitu. Senang bertemu dengan Anda Nona. Saya ke sini datang untuk mengantarkan sebuah surat kepada Anda. Silahkan." Ucapnya sambil menyerahkan sebuah amplop yang berwarna seragam dengan semua amplop yang ada pada tasnya.
Aku menerima amplop itu dan memandanginya selama beberapa saat. Kuakui aku tidak bisa menahan senyumku saat melihat sebuah cap bergambar semanggi berdaun lima terbubuh manis di atasnya. Sudah sekian lama aku tidak melihatnya.
Setelah diminta untuk membubuhkan tanda tanganku sebagai bukti penerimaan, lelaki itu berpamitan. Ia membentangkan sayap berselimut cahaya itu dan pergi dari hadapanku. Sudah lama aku tidak menyaksikan keajaiban yang hanya bisa dilakukan oleh kurir dari dunia atas. Kuakui, aku hampir melupakannya.
Sesampainya di kamar, aku buru-buru melempar maskerku ke sembarang tempat dan mengambil posisi di sebuah kursi yang dengan elok menghadap sekotak jendela kecil ini. Di sini, aku bisa merasakan setiap hembusan yang kubiarkan menyelip masuk dan bermain-main dengan gorden. Bisa dibilang, ini adalah tempat favoritku untuk menghabiskan waktu.
Tempat ini selalu sempurna, tak perduli bagaimanapun. Bahkan dengan amplop yang sudah terbuka dan surat yang berada di tanganku pun, tempat ini tetap terasa sangat menakjubkan.
Waktu mengalir begitu dengan sangat lembut dan menenangkan. Aku membaca berlembar-lembar surat ini dengan seksama. Dia benar-benar menuliskan banyak hal dalam surat ini. Aku bisa merasakan emosi dan ikut membayangkan setiap detail dari apa yang Ia tuangkan.
Setelah selesai membacanya, entah kenapa ada bagian dari dalam diriku yang bergejolak. Aku merasa iri. Ada banyak hal yang ingin kulakukan, tapi aku justru terjebak dalam dunia yang sempit ini.
Duniaku yang luas telah digantikan oleh sepotong jendela yang terhalang oleh tembok tinggi di hadapanku. Aku ingin kembali ke masa-masa bisa melihat senyum setiap orang di jalanan, tanpa tertutup masker. Aku ingin kembali menghabiskan waktu di luar tanpa merasa cemas ataupun takut. Aku ingin bertemu dengan orang-orang yang sangat kuridukan.
Aku cepat-cepat mengusap air mataku yang entah sejak kapan sudah mengalir tanpa henti. Aku segera mengambil secarik kertas dan sebuah pena. Kini aku berpindah, duduk di sebuah meja dipenuhi tumpkan buku seperti biasa. Aku menggesernya dan memastikan bahwa aku punya cukup ruang untuk menulis.
Aku harus segera menulis balasan untuknya, tapi apa yang harus kutulis? Tidak banyak yang bisa kuceritakan selama aku terjebak dalam dunia yang sempit ini. Tidak ada hal-hal menarik yang bisa aku tuliskan. Tidak ada yang bisa aku banggakan. Aku hanyalah aku yang seperti ini.
Hei... Apakah Dunia Atas baik-baik saja? Dunia bawah saat ini sedang sakit parah. Bukan hanya duniaku, tapi aku juga.
Aku bergelut dan berpacu dengan banyak hal dalam pikiranku selama beberapa lama. Membiarkan kertas dan pena yang kusiapkan sedari tadi kesepian dan tampak menyedihkan. Tidak, bukankah justru aku yang tampak menyedihkan? Aku terlalu terpaku pada hal-hal yang bisa kubanggakan.
Memangnya kenapa kalau tidak banyak hal yang bisa kulakukan akhir-akhir ini? Memangnya kenapa kalau aku tidak sehebat orang lain? Aku terlalu memikirkan banyak hal. Bukankah masih ada yang bisa kuceritakan? Bukankah masih banyak yang bisa kutanyakan?
Benar. Aku masih punya banyak pilihan. Dan dari sekian banyak pilihan itu, memperumit segala hal bukanlah pilihan yang bijak. Aku terkekeh beberapa saat.
Benar yang harus kulakukan saat ini hanyalah menulis. Membalas surat ini dengan apa adanya tanpa berniat telihat keren atau apapun itu. Aku harus berhenti memikirkan hal-hal rumit seperti itu. Setelah memikirkan banyak hal dan melepaskannya, akhirnya tanganku bisa ringan meraih pena ini.
Kuakui, aku sangat merindukan satu-satunya sahabat terbaiku. Ah, tapi saat ini dia adalah seorang Putri. Apakah aku harus mulai memanggilnya dengan Tuan Putri? Dia bilang, dia baru saja dinobatkan. Aku rasa ini bisa menjadi bahan ledekkan yang bagus untuk suratku.