Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Angkot VS Tukang Kredit

22 Januari 2012   04:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:35 504 0
Angkot vs Tukang Kredit

Suatu pagi saya ada keperluan menuju ke daerah Jalan Asia Afrika Bandung. Saya naik angkutan kota menuju arah terminal Kebon Kalapa. Kalau saya perhatikan, sekarang ini  sudah sangat jarang ada angkot yang bisa penuh mengangkut penumpang alias banyak angkot yang kosong kecuali supir angkot tersebut bisa sedikit bersabar menunggu penumpang dengan cara “mengetem. Sementara jumlah angkot tidak bisa dibilang sedikit. Berbanding terbalik dengan era 90-an, ketika itu angkot sangat meraja di jalanan, bahkan untuk daerah atau jurusan tertentu sangat sulit menemukan angkot yang kosong, apalagi pada jam-jam tertentu, jangan harap !
Jadi Juragan Angkot pada era 90-an merupakan salah satu profesi yang membagakan. Contohnya ketika salah satu kerabat saya menikah dan calon mertuanya adalah seorang juragan angkot semua orang begitu mengelu-elukannya. “ Katanya angkotnya ada 12 buah, Waahh hebat yaa...”.
Ya, begitulah hidup. Ketika dunia berputar semua yang tak mungkin menjadi mungkin. Tidak ada seorang pun yang mampu memprediksi. Entahlah siapa yang salah?? Kebijakan Pemerintah atau Pengusaha yang tak punya hati nurani. Tiba-tiba serangan kredit begitu membabi buta apalagi ketika sudah difasilitasi oleh sejumlah perusahaan leasing dan asuransi. Berkredit bukan lagi perbuatan yang memalukan apalagi tabu namun menjadi sesuatu yang sifatnya prestise. Kebanyakan masyarakat mulai melirik tawaran yang terlihat menggiurkan ini dari mulai PNS sampai tukang becak semua dimanjakan dengan kredit. Barang elektronik, alat rumah tangga bukan lagi hal yang luar biasa karena kredit sepeda motor lah yang paling meraja.Walau akhirnya banyak pula yang menyerah karena tak mampu meneruskan cicilannya.
Saya ingat betul ketika usia saya masih kecil ibu saya pernah mengkreditkan barang seperti perhiasan, pakaian bahkan panci dan gelas. Waktu itu saya sempat malu karena ibu saya jadi tukang kredit bahkan sekaligus merangkap tukang tagih. Beruntungnya, ibu saya bukanlah orang yang suka mencak-mencak kalau tetangganya tidak bisa membayar jadi rasa malu saya bisa sedikit teredam. Namun sekarang menjadi tukang kredit dan tukang tagih atau debt colector bisa dijadikan lahan usaha bahkan profesi.
Betul !!, sepeda motor !!, kendaraan ini menjadi lawan tangguh bagi para sopir angkot di jalanan. Lihat saja jumlahnya semakin meningkat dari hari kehari. Suatu ketika saya pernah berdialog dengan seorang sopir angkot, dalam candaannya beliau berkata,
“Sekarang, musuh bebuyutan sopir angkot itu tukang kredit sepeda motor”, katanya.
Dan ketika angkot melewati sebuah showroom motor, sang sopir menunjuk,
“Tuh lihat punya uang Rp.600.000,00 saja sudah bisa beli motor,” ujarnya lagi.
Saya hanya tersenyum.
“Mau bilang apa memang sudah begitu kenyataanya, orang kecil cuma bisa berpasrah”, lanjutnya mengakhiri dialog.
Hidup tetaplah harus kreatif, dan salah satu cara mengatasi persaingan adalah mencari solusi, tambahan penghasilan bisa di dapat dengan cara mencari usaha lain, berdagang, membuka bengkel tambal ban, atau yang lainnya.
Rezeki memang sudah diatur oleh-Nya namun Allah pun tidak akan mengubah nasib suatu kaum, Bila kaum itu tak mau mengubah nasibnya sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun