Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Gado-gado Lebaran Anak Yatim

3 September 2011   17:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:16 335 0

Haru. Sedih. Bahagia. Bercampur menjadi satu. Segala rasa sudah seperti masakan yang kemudian disatukan untuk menuju satu kata “enak” (baca: nikmat).Ternyata rasa tidak hanya ada pada masakan lebaran saja, tetapi juga apa yang dilihat menjadi salah satu bagian dari rasa itu sendiri.

Bagi hampir seluruh manusia yang ada di belahan bumi ini, khususnya Indonesia, lebih khusus lagi di Maros - Sulawesi Selatan, merayakan lebaran hampir tidak tak lebay, alias berlebihan. Dalam sehari, sejumlah wanita mampu memasak berbagai jenis masakan. Memasak mulai dari pagi sampai pagi lagi sudah menjadi kesibukan "wajib" dalam menyambut Lebaran, sejak dahulu hingga sekarang. Kesibukan ini sudah menjadi warisan nenek moyang yang entah berawal dari nenek moyang siapa dan bernama siapa. Jelasnya, masakan beraneka ragam harus tersedia di meja pada saat hari raya.

Namun, kebiasaan tersebut akhirnya tak kulihat lagi di kota cantik Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tempat kerja baruku. Justru, suasana lengang terjadi di kota ini. Para wanitanya hanya memasak satu jenis masakan. Kalaupun ada yang lebih dari satu masakan, itupun tidak akan lebih dari tiga masakan. Masakannya juga sederhana. Opor saja, Kari daging saja atau Bakso saja.

Kue-kue kering juga demikian. Baru kali ini aku merayakan lebaran dengan kue kering seadanya. Kalau di kampungku, kue kering dapat dijumpai dalam satu rumah hingga berpuluh-puluh jenisnya. Kenyataan yang berbalik 100 derajat dari apa yang kualami sebelumnya. Benar-benar minim. Namun, makna lebaran tidak berkurang dengan tidak hadirnya makanan yang melimpah tersebut. Justru semakin memberikan makna baru, bahwa yang dahulu ada kini bisa menjadi tiada.

Selain itu, gema takbir yang berkumandang juga tak seramai dengan kampung halamanku. Kalau di kampung halaman, pawai takbir sudah menjadi sumber kemacetan bahkan ajang bagi pencopet melakukan aksinya karena banyak yang berdesak-desakan di keramaian. Malam lebaran masih saja ada yang mempunyai niat buruk yang direalisasikan. Astaghfirullah....

Sebaliknya, di Palangkaraya, pawai takbiran tidak hanya terlihat satu hingga dua mobil saja yang lewat di depan jalan protokol. Itupun tidak begitu menyentuh. Seakan terburu-buru.

Malam lebaran di kota Palangka hanya ditemani oleh hujan petasan. Mulai dari yang bersuara kecil hingga yang sangat memekakkan telinga bahkan sangat riskan bagi penderita jantung lemah. Namun, fenomena ini selalu saja ada dan sudah tidak bisa dipisahkan. Petasan dimana-mana dengan model yang beraneka.

Tadinya aku sempat berpikir bahwa fenomena ini terjadi karena kesimpangsiuran berita penetapan 1 Syawal 1432 H. Jujur saja, aku sempat dibuat bingung oleh penetapan 1 Syawal tersebut. Aku yang belum lama menjadi warga baru di kota Palangkaraya butuh kepastian sebab lokasi dilaksanakannya sholat Ied lumayan jauh dari rumah, sehingga aku harus menghubungi pihak yang bersangkutan agar menemani dan sekaligus mengantar ke tempat sholat tersebut. Nah, karena bingung begini, orang yang kuharapkan mengantar tersebut akhirnya memilih lebaran pada tanggal 31 Agustus 2011.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun