Secara rutin pada setiap tahun hari peringatan proklamasi kemerdekaan disemarakkan dengan berbagai kegiatan. Selalu dikumandangkan bahwa negara ini adalah negara yang merdeka. Usia kemerdekaannya telah 67 tahun, angka usia yang sangat dewasa untuk ukuran manusia. Kendati demikian, rasa kemerdekaan itu belum mengalir di tubuh-tubuh kita. Yang terjadi hanyalah rutinitas peringatan tanpa pemaknaan. Rutinitas yang kehilangan kesadaran mendasar akan tujuan untuk apa diselenggarakan. Jika pun dalam sambutan atau pidato di acara tersebut disinggung mengenai makna dan semangat kebangkitan, yang ada hanyalah kata tapi tiada bobot ruh dari makna dan semangatnya.
Bung Karno dalam Pidatonya di Konferensi Asia Afrika pada 18 April 1955 menyampaikan,” We are often told,” colonialism is dead”. Let us not be deceived or even soothed by that. I say to you, colonialism is not yet dead. How can we say it is dead, so long as vast areas of Asia and Africa are un-free. And I beg of you do not think of colonialism only in the classic form which we of Indonesia, and our brothers in different parts of Asia and Africa knew, colonialism has also its modern dress, in the form of economics control, intellectual control, actual physical control a small, but alien-community within a nation. It is a skillfull and determined enemy, and it appears in many guises. It does not give up its loot easily, wherever, whenever and however-it-appears, colonialism is an evil thing, and one must be eradicated from the earth.”
Apa yang disampaikan beliau tersebut ketika itu sangat sering pula disampaikan hari ini. Namun, hari ini terjadi hal yang luar biasa. Kita tidak hanya dijajah oleh bangsa-bangsa lain dalam pengontrolan ekonomi, politik, intelektual, dan fisik. Kita pun dijajah oleh bangsa kita sendiri. Penjajahan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri dan orang-orang yang merasa lebih memiliki kuasa dan harta untuk menindas kaum papa.
Korupsi di negeri ini adalah hal lumrah. Telah terjadi sekian lama dan belum juga mereda. Sekarang, meskipun pembasmian koruptor semakin marak, tetapi tangan-tangan kotor tidak takut untuk terus mencari celah penghasilan tambahan dan menyuap penegak keadilan.
Beberapa kasus korupsi memperlihatkan kelemahan integritas bangsa kita. Ada oknum-oknum yang menjual aset bangsa untuk negara lain. Tahun 2008 masih kita ingat keterlibatan oknum dalam korupsi sektor kehutanan di Kabupaten Ketapang yang terlilit praktik pembalakan liar. Kayu-kayu di tanah kita diselundupkan ke luar negeri dan hasilnya hanya untuk segilintir orang yang haus harta miskin moral. Rakyat dan penghuni hutan di sana hanya menerima kerusakan ekosistem. Selain itu, ada pula kasus-kasus penjualan pulau, penjualan harta karun, dan tidak ditindak dengan tegas pada pengusaha asing yang mengeksplotasi ikan di perairan Indonesia, begitu pula sektor tambang.
Ada pula kasus korupsi yang sangat menyakiti hati rakyat. Misalnya kasus Gayus di Dirjen Pajak, korupsi untuk perumahan tentara, korupsi dana asuransi TKI, korupsi pengadaan al Qur’an. Masyarakat dihimbau membayar pajak, namun uang pajak tersebut hanya untuk pembangunan diri sendiri sang koruptor. Para tentara yang berpangkat rendah diminta membayar iuran untuk pembangunan rumah, namun tabungan tersebut diselewengkan untuk menambah kekayaan para tetinggi tentara. Kini ada kasus proyek simulator SIM. Selain itu, masih banyak contoh lainnya, dan secara pasti akan terus ada.
Korupsi hanya salah satu bentuk penjajahan dari pemerintah yang korup beserta koleganya. Bentuk selain itu misalnya ketidakberpihakan pemerintah pada rakyat dalam bentuk kebijakan yang dibuat, lambannya respon pemerintah terhadap kejadian yang menimpa rakyat (salah satunya kasus ledakan LPG), pemerintah dan pengusaha yang mengurangi hak para pekerja, dan lain sebagainya. Jika dahulu pengkhiatan dalam bentuk mata-mata dan pemberian informasi, sekarang mereka pun menjadi pengkhianat negeri. Mengkhianati tujuan keadilan dan kesejahteraan.
Pemerintah lupa bahwa pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga kini yang terjadi adalah pemerintahan di atas dan di luar rakyat untuk mengeksploitasi hak-hak rakyat. KH A Dahlan pernah menyinggung soal ini dalam perkataannya “kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah”.
Para koruptor, pemerintah yang tidak empati dan cepat tindak, pengusaha yang penindas telah kehilangan nilai nasionalisme dan kepancasilaannya. Tidak ada lagi semangat satu kesatuan, kebersamaan, gotong royong, kesamaan dan sepenanggungan. Dalam dirinya hanya ada egoisme dan semangat tirani, menimbun kekayaan dan memenuhi kepuasan diri dengan cara mengambil hak orang kecil. Jika dahulu para pemimpin negeri berusaha menjadi pemimpin untuk membangun negeri, maka sekarang para pemimpin berusaha berebut kuasa untuk membangun dirinya sendiri.
Nasionalisme bukan hanya ditumbuhkan dengan cara memperingati hari proklamasi dan memeriahkannya dengan lomba-lomba, rutinitas upacara bendera, penyampaian pengetahuan kewarganegaraan di bangku-bangku sekolah, menghukum siswa untuk hormat pada bendera. Peringatan dan kemeriahaan hanyalah bentuk penyemangatan kembali dan memberi peringatan pada semua bahwa kita telah merdeka. Pendidikan bukan hanya tentang menghapal pasal dan ayat, mengingat kalimat, tetapi juga memahami makna dan merealisasikan dalam tindakan nyata. Mendidik bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai. Selain itu pula, pendidikan tidak akan berhasil bilamana tidak ada pencontohan yang baik dari sang pendidik dan lingkungannya.
Bagaimanapun, sebuah peringatan tetap mesti dilaksanakan. Seremonial untuk menunjukkan bahwa kita telah “merdeka”, untuk tetap mencoba membangun kembali kesadaran pada kita semua tentang keharusan kembali pada nilai-nilai pancasila.
Saya terpikir hal menarik yang mungkin bisa dicoba dalam lomba-lomba peringatan HUT RI. Bagaimana jika pemerintah/LAPAS menyelenggarakan lomba gerak jalan bagi para narapidana koruptor dengan memakaikan pakaian yang memalukan dan bertuliskan koruptor agar mereka merasa malu ditonton masyarakat serta mereka berteriak “kami kapok jadi koruptor”. Lomba memakan nasi aking agar tumbuh empati terhadap rakyat kecil, lomba mencari uang di tumpukan sampah dengan menggunakan mulut agar merasa jijik terhadap tindakan korupsi. Para narapidana kasus korupsi tidak lagi diberi pengurangan masa hukuman di hari tersebut, tetapi diberi hadiah hormat pada bendera di lapangan selama beberapa jam untuk menumbuhkan nasionalisme pada diri mereka. Patut dicoba untuk para penjajah itu!