Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa Pilihan

Agama dalam Puisi Negeri Para Bedebah

15 Juli 2014   02:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:19 905 0

Dalam sastra, hermeneutika dianggap memiliki peranan yang sangat penting, oleh karenanya, dibanding dengan metode lainnya hermeneutika merupakan metode yang paling sering digunakan dalam penelitian karya sastra. Salah satu penyebabnya adalah karena hermeneutika dianggap sebagai metode ilmiah paling tua yang sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles. Sekalipun pada mulanya berfungsi untuk menafsirkan kitab suci, belakangan metode ini dianggap tepat untuk memami karya sastra. Pertimbangannya adalah bahwa di antara karya tulis, yang paling intens berinteraksi dengan agama adalah karya sastra.

Perbedaannya hanya terletak pada versi kebenarannya saja. Jika agama adalah kebenaran keyakinan, sastra merupakan kebenaran imajinasi. Ratna (2013:45) menjelaskan bahwa agama dan sastra adalah bahasa, baik lisan maupun tulisan. Jika agama berasal dari firman Tuhan, dalam hermenutika asal mulai sastra adalah kata-kata pengarang. Metode hermeneutik tidak mencari makna yang benar, melainkan mencari makna yang paling optimal atau maksimal.

Ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa sebenarnya pendekatan emotif identik dengan pendekatn ekspresif. Namun, penulis memiliki pandangan yang berbeda. Memang pada dasarnya emotif adalah salah satu bagian terpenting dalam ekspresif. Hal ini dibuktikan ketika seseorang meluapkan ekspresinya, secara otomatis emosi seseorang tersebut juga akan timbul. Tetapi jika seseorang meluapkan emosinya, ekspresi tidak serta merta timbul. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa ekspresi cakupannya lebih luas daripada emosi. Ekpresi otomatis diikuti emosi, sedangkan emosi tidak selalu diikuti ekpresi. Hal ini diddukung oleh definisi kedua kata tersebut dalam KBBI Offline 1.3. Ekspresi adalah pengungkapan atau proses menyatakan maksud, gagasan, dan perasaan tertentu. Sedangkan emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat.

Pendekatan emotif adalah pendekatan yang berupaya mengajak emosi atau perasaan pembaca, berkaitan dengan keindahan penyajian bentuk atau isi gagasan. Yang ingin diketahui pembaca adalah bagaimana penyair menampilkan keindahan tersebut. Pada pengkajian emotif puisi Negeri Para Bedebah kali ini, akan difokuskan pada bagaimana cara pengarang, Adhie Massardi, menampilkan keindahan yang dicitrakan dengan kata-kata dalam puisinya tersebut.

Adhie Massardi adalah seorang aktivis di dunia politik Indonesia. Beliau adalah salah satu penggagas Gerakan Indonesia Bersih. Sebuah gerakan sosial yang fokus mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkesan sangat berbau KKN. Sebelum menjadi kritikus politik seperti sekarang ini, terlebih dahulu beliau pernah mengenyam kursi eksekutif sebagai juru bicara Presiden ke-4 Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada rentang 1999—2001.

Besar di lingkungan kalem Yogyakarta, Adhie Massardi bertransformasi menjadi aktivis yang sangat vokal terhadap pemerintahan beserta kebijakan-kebijakannya. Bahkan beberapa kalangan menyebut Adhie Massardi sebagai orang yang “kurang ajar” karena dengan lancangnya menjadi orang pertama yang menyampaikan mosi tidak percaya kepada Presiden RI saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono. Tepatnya hal itu terjadi pada 12 April 2012, dalam acara Sarasehan Anak Negeri yang ditayangkan live oleh Metro TV. Ketika itu ia menyampaikan mosi tidak percaya, salah satunya dengan membacakan puisi karangannya sendiri berjudul Negeri Para Bedebah yang akan dikaji melalui perspektif stilistika-hermeneutika dalam pembahasan kali ini.

Kritik Sosial

Salah satu yang menjadi kekhasan puisi Negeri Para Bedebah adalah gaya bahasanya yang sangat lugas namun menyembunyikan makna yang sangat dalam. Pesan yang disampaikan sangat komunikatif, seolah-olah Adhie Massardi selaku pengarang sedang berbicara dengan pembaca. Seperti terlihat pada penggalan puisi berikut.

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?

Gaya bahasa seperti itu akan membuat pembaca masuk dalam kontemplasi pengarang dan secara tidak sadar akan dibawa pada persoalan yang sedang dibahas dalam puisi.

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah

Pembaca akan langsung dibawa pada pemahaman bahwa negeri para bedebah yang dimaksud adalah Indonesia. Menjadi masuk akal, ketika konteks puisi ini adalah bagian dari pembacaan mosi tidak percaya Adhie Massardi kepada Susilo Bambang Yudhoyono, presiden Republik Indonesia. Gaya bahasa yang komunikatif sekaligus persuasif juga tampak pada penggalan puisi berikut.

Maka bila dinegerimu dikuasai para bedebah

Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah

Ajakan yang disertai dengan sisi religuisisme adalah ajakan yang paling ampuh, dan Adhie Massardi menerapkannya dengan sangat baik melalui bait tersebut.

Puisi Negeri Para Bedebah ini sangat kental dengan emosi pemberontakan seorang Adhie Massardi. Kemarahan yang meletup-letup bertransformasi menjadi bait-bait yang indah namun menyesakkan. Adhie seolah paham betul bagaimana menggunakan kata-kata untuk menohok kebijakan pemerintah yang menurutnya kacau balau. Salah satunya Adhie menjadikan problem Tenaga Kerja Indonesia yang diperlakukan dengan tidak adil sebagai topik dalam puisinya kali ini. Hal ini tampak pada penggalan puisi berikut.

...Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah...

Beliau juga menyampaikan keprihatinannya dengan sangat emotif. Mengkritik habis-habisan sekaligus terang-terangan negeri yang sama sekali tidak adil ini. Rakyat miskin ditelantarkan, tetapi pemimpinnya hidup bergelimang kemewahan. Hal ini tampak pada penggalan puisi berikut ini.

Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah

Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah

Bahkan ada bait khusus yang dengan sangat komprehensif serta holistik menampilkan kritik sosial dari Adhie Massardi selaku pengarang. Bait tersebut adalah.

Di negeri para bedebah orang baik dan bersih dianggap salah

Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan

Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah

Karena hanya penguasa yang boleh marah

Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Bait tersebut adalah kondisi Indonesia ketika puisi diciptakan. Bagaimana orang-orang yang berusaha berbuat baik justru dilibas oleh sistem yang dijalankan oleh para bedebah hingga akhirnya orang baik tersebut dipenjara. Juga tentang pemilu yang hanya dijadikan sebagai ajang untuk menjual rakyat melalui slogan, seperti “partai rakyat”, “ekonomi rakyat”, “pemimpin pejuang rakyat”, dan lain-lain. Yang paling miris tentu bagaimana rakyat Indonesia hanya bisa pasrah melihat kebobrokan negeri ini, dan mereka hanya bisa melihat penguasa saling bentak, saling perang dengan lawan politik, saling mengamankan kepentingannya, dan melupakan rakyat Indonesia sama sekali.

Pesan Agama sebagai Sarana Puitika

Dari awal sampai akhir puisi Negeri Para Bedebah, Adhie Massardi sangat masif dalam memasukkan unsur-unsur agama (Islam). Baik itu yang disitir dari Quran maupun Hadis. Unsur agama pertama tampak pada baris puisi berikut.

Lautnya pernah dibelah tongkat Musa

Baris tersebut disadur dari Quran surat Asy-Syu’ra ayat ke 63 yang berbunyi: “Lalu Kami wahyukan kepada Musa, Pukullah lautan itu dengan tongkatmu. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan seperti gunung yang besar.” Penyitiran ayat tersebut ke dalam puisi ditafsirkan sebagai penggambaran bahwa Indonesia telah terbelah (dalam artian kacau balau) seperti sebuah gunung yang besar pada masing-masing sisinya. Hal ini sangat tepat untuk menggambarkan kekacauan politik, ekonomi, dan sosial pada saat puisi dibuat (tahun 2012).

Pada baris berikutnya, Adhie Massardi juga masih memasukkan unsur-unsur ayat Quran. Seperti tampak berikut.

Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah

Baris tersebut diambil dari cerita mahsyur dalam kitab suci (Quran dan Injil) tentang bagaimana Nabi Nuh a.s. (umat Kristiani menyebutnya Noah) menyelamatkan diri, atas firman Tuhan, dengan menaiki bahtera bersama kaumnya yang masih beriman, karena negerinya diterjang banjir yang sampai saat ini diyakini sebagai banjir terbesar yang pernah dialami umat manusia. Dalam Quran, disebutkan mengenai peristiwa tersebut.

·Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. 012. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. (Quran Surat Al Qamar ayat 11 & 12)

·“Maka Kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang bahteraitu dan Kami jadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua umat manusia.(Quran Surat Al Ankabut ayat 15)

·“Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” Dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim.”( Hud ayat 44)

Keempat ayat Quran tersebut agaknya dijadikan Adhie Massardi sebagai inspirasi untuk merawikan kisah Nabi Nuh a.s. ke dalam puisinya. Dalam konteks Indonesia, maka itu bisa diartikan sebagai orang-orang baik (Nabi Nuh a.s.) telah meninggalkan negeri ini, dan yang tersisa hanyalah orang-orang yang buruk akhlaknya yang segera akan ditimpakan musibah kepadanya.

Pada baris selanjutnya, Adhie Massardi tetap menggunakan kisah dalam Quran sebagai sumber inspirasi dalam puisinya. Baris tersebut adalah.

Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Peristiwa tersebut merujuk pada azab yang ditimpakan Raja Abraham yang bermaksud menghancurkan Ka’bah. Bahkan dalam Quran, ada satu surat khusu yang merawikan cerita tersebut, yaitu surat Al-Fiil (pasukan gajah).

Allah Ta’ala berfirman,

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun