Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Halo, Nyaman

14 April 2014   05:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42 43 0
Namanya Nyaman, entah kapan dia tiba-tiba menghilang. Aku tak pernah lagi bertemu dengannya, saat aku bertemu Elia. Elia gadis yang sangat menyenangkan. Waktuku tiba-tiba berlari begitu cepat, hingga akhirnya dentang jam menandakan bahwa sudah saatnya angkat kaki. Kami tidak berbicara banyak, tapi mata dan tubuh kami saling mengerti. Kami terlalu paham bahwa kicauan kata tak berarti apa-apa jika hanya dusta yang mengalir. Dan kami muak dengan itu semua.

Tapi aku merindukan Nyaman. Elia tidak akan tahu, karena menurutnya aku pasti sudah cukup bahagia untuk bisa ada disampingnya. Kami tidak bertemu setiap hari. Hanya setiap Jumat sore, disaat senja mulai menghilang malu-malu, dengan dua cangkir kopi mengepul dalam cangkir, sofa yang nyaman, mata beradu pandang, dan arah kaki yang mengatakan ketertarikan.

Setelah itu, hanya kami yang tahu.

Aku akui, Elia seperti 'liburan' untukku. Setelah dunia mempekerjakan aku agar kehidupan terus bergerak, aku muak dan ingin merangkak dari sana. Mungkin filsuf bernama Sartre itu benar, neraka adalah orang lain. Yang lain akan menjadikanmu objek, dari sudut manapun kau melihatnya. Itu memang benar.

Dan dengan Elia aku bebas. Kami tidak butuh keterikatan yang membelenggu. Kami tidak pernah tahu hidup masing-masing. Tapi kami tau kami muak dengan panggung dunia ini, dan kami ingin menyeruak dari atas panggung. Kami bebas saat kami bersama.

Tapi lagi-lagi, aku merindukan Nyaman.

Jumat sore. Aku tengah menunggu Elia. Aku tahu dia tidak akan datang dalam waktu dekat, karena aku memang datang lebih awal. Entahlah, aku ingin menyendiri dulu. Tempat ini belum ramai. Hanya ada sepasang muda-mudi dan suami istri yang membawa anaknya yang kira-kira berusia 4 tahun. Anak itu berjalan kemana-mana, tidak mau diam. Suasana sepi yang aku idamkan buyar sudah. Rasa jengkel memenuhi dadaku, tapi apa mau dikata. Aku tidak mungkin menceramahi anak kecil. Mendesah kesal, aku lirik kedua orangtuanya. Mereka masih muda. Dalam hati aku menggerutu, harusnya mereka bisa menjaga anaknya!

Dalam kekesalanku, tiba-tiba anak itu mendekatiku. Aku memandanginya heran. Aku bukan tipe orang yang mudah luluh dengan anak kecil, lalu bertingkah laku imut untuk membujuk mereka. Tapi harus aku akui, anak kecil ini memiliki mata besar yang meneduhkan. Mata itu melihatku lekat-lekat, seperti heran.

Berbeda dengan mata Elia.

Tapi rasanya seperti Nyaman.

Aku tidak berkata apa-apa. Dia masih memandangiku, lalu melihat gantungan kunci mobilku yang tergeletak diatas meja. Sebuah miniatur pedang kecil yang diberikan temanku sebagai oleh-oleh. Anak kecil itu memegangnya,

"Bagus,"

Aku masih memandanginya. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dengan ragu, aku melihat gantungan kunci itu dan beralih padanya, "Kamu mau?"

Matanya membulat, berbinar. "Iya!"

Dan aku memberikannya, begitu saja. Anak kecil itu terlihat sangat senang. Dia menerimanya dengan dua tangan kecilnya. Berseru terimakasih dengan nada berantakan lalu berlari menuju orangtuanya. Nyaman, kamu disitu?

Ibunya menjumpaiku. Ibunya memiliki mata yang sama dengan anak itu, dengan raut tidak enak, dia menggenggam gantungan kunci tadi, "Maafkan anak saya ya, Mas. Ini saya kembalikan. Saya jadi tidak enak.."

Anak itu merengek. Tidak mau mainan barunya diambil begitu saja.

Aku menggeleng cepat. "Tidak apa-apa. Ambil saja."

Ibu itu terus memaksa, tapi akhirnya dia kembali ke tempat duduknya sambil berkali-kali meminta maaf dan berterimakasih. Anak itu tersenyum senang dan memainkan gantungan kunci itu seakan pedang nyata. Menggoda ayahnya, dan mencoba bermain perang dengan pedang kecilnya.

Aku terdiam.

Nyaman....

Kamu disana.

Teleponku berdering. Ada nama Elia disana.

"Lo udah disana?"

"Iya, El,"

"Gue mungkin telat. Macet banget jalanannya,"

"Santai aja. Gue juga lagi ada yang nemenin kok,"

Aku kembali bertemu Nyaman. Mungkin kebebasan tidak akan memberikan bahagia. Tapi Nyaman bisa. Walaupun hanya dengan mata bulat si anak kecil dan pedang kecil barunya.

Dan hari ini,

dua sudut bibirku terayun mantap tanpa alasan sinis.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun