Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Jurusan yang Tak Memiliki Masa Depan

9 April 2014   12:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:52 845 0
Seorang ibu pernah curhat karena tetangganya mencibir jurusan pilihan anaknya, yang katanya tidak memiliki masa depan yang cerah. Saya hanya bilang: "sebenarnya tak ada jurusan yang buruk, yang ada hanya orang-orang yang tidak serius dengan pilihannya". Dan saya tambahkan lagi: "Setahu saya, jika dia menekuni jurusan itu, dia bisa jadi pengusaha yang kreatif. Zaman sudah berubah, sekarang jamannya menciptakan lapangan kerja untuk mempekerjakan orang lain bukan menjadi pekerja bagi orang lain." Si ibu berkata: "Amin. Tapi kalau kamu lihat, dia rajin belajar tidak?" Saya jawab: "Saya hanya melihatnya hobby di depan laptop, suka mengedit-edit. Saya tidak berani mengatakan itu bukan belajar. Saya juga biasa ke kamarnya cerita-cerita sambil melihat-lihat bukunya juga mengenai merancang desain. Menurut saya, kalau dia terus menekuni itu, iya berpeluang menjadi desainer atau pengusaha."

Saat ujian proposal beberapa bulan lalu, seorang junior menanyakan: "Kak, objek skripsinya apa?" Saya jawab: "Mengenai potret wanita Amerika di awal abad ke 20 dalam drama The Glass Menagerie", dia menanggapi: "Koq ambil drama, kak? Susah itu menelaah drama." Saya cuma jawab: "Karena suka dengan dramanya".

Memang dalam keilmuan kami, paling banyak yang memilih novel sebagai objeknya karena memang novel sudah memberikan informasi yang lebih detail dalam mengumpulkan data. Ibarat makanan sudah masak tinggal dimakan. Tidak sama dengan drama, masih memerlukan analisis untuk tahu makna, pesan, & informasi secara utuh, begitu pun dengan puisi.

Saya jadi ingat, saya nyaris juga mengambil puisi sebagai objek kajian saya, karena saya jatuh cinta pada dosen yang membawakan mata kuliah itu (dosennya bukan laki-laki ya). Hingga saya bercerita kepada kekasih saya mengenai rencana itu dan sudah memilih puisi-puisi yang akan saya analisis & menceritakan bagaimana alur penulisan & gagasannya nanti. Mendengar cerita saya yang panjang lebar, dia bilang: "Skripsimu sudah jadi kalau begitu, tapi sayang belum ditulis."

Saya selalu terkendala dalam menulis karena saat saya dihentikan oleh kosakata yang memerlukan untuk membuka kamus, kadang ide terbang entah kemana ketika berurusan dengan kamus, jadi kandas lagi di situ. Andai kata skripsinya dalam Bahasa Indonesia mungkin sudah selesai. Karena saat menulis saya memang langsung menuliskannya ke dalam Bahasa Inggris, tidak pakai Bahasa Indonesia dulu. Membuka kamus merupakan hal yang saya tidak suka ketika ide sedang berkilau, mengganggu & merepotkan. Maklum meski Sastra Inggris, bukan berarti Bahasa Inggris saya Ok. :D

Lalu ngapain saya di Sastra Inggris? Sebagai ilmu humaniora, yang menurut dosenku adalah ilmu memanusiakan manusia, di dalam Sastra Inggris terbagi 2 lagi, yaitu ilmu sastra & bahasa (Bahasa Inggris), yang saya pilih adalah Sastra. Kenapa saya memilih ini, karena saya orang yang suka belajar banyak hal mengenai kehidupan dari berbagai pengalaman orang lain, dalam hal ini penulis melalui tulisannya.

Jangan sangka bahwa cerita fiksi hanya sebuah rekaan & bukan kisah nyata, penulis-penulis ternama seperti William Shakespeare banyak menyimpan sejarah & kisah nyata dalam karyanya, kita bisa tahu itu dengan sebuah analisis, mulai dari sejarah saat tulisan itu dibuat, latar belakang kehidupan penulis, dan kondisi sosial dimana penulis ini pernah berada, dan dari berbagai aspek yang lain.

Dan uniknya lagi, analisis tokoh & konflik dalam karya itu, membutuhkan ilmu lain untuk mengetahuinya secara utuh, sama halnya dengan seorang sutradara, jika ia akan membuat film dengan seorang tokoh utama yang berlatarbelakang profesi dokter, maka mau tidak mau dia harus tahu mengenai dunia medis, paling tidak garis besarnya. Begitupun dalam analisis konflik, tak ada tokoh & konflik yang dapat kita kuasai secara utuh tanpa bantuan ilmu lain seperti psikologi, sejarah, hukum, ekonomi, politik, agama, dll. Jadi memang dituntut untuk banyak membaca, secara tidak langsung kita kaya pengetahuan.

Memilih sastra, bukan berarti saya tidak diharuskan mempelajari Bahasa Inggris, itu mutlak, tak bisa ditawar. Karena untuk menganalisis karya Berbahasa Inggris memerlukan pengetahuan Bahasa Inggris. Denga sedikit tahu Bahasa Inggris, juga sangat membantu kita untuk mendapatkan tambahan informasi yang dibutuhkan dari luar seperti bacaan Amerika dalam menganalisis. Selain itu, Sastra di bawah naungan Fakultas Ilmu Budaya, juga mengajarkan kita mengenai kebudayaan luar, dalam hal ini Amerika & Inggris, yang akan menjadi pembanding dengan kebudayaan kita.

Dan ini yang terpenting dalam menganalisis, kita tidak boleh menjudge seorang tokoh di dalamnya atau memihak pada salah satunya, keberadaan tokoh antagonis sebagai bagian dari keutuhan cerita, tidak bisa dilenyapkan. Yang perlu dilakukan adalah menganalisis bagaimana antara tokoh menjalankan perannya & saling berhubungan dengan tokoh lain, bagaimana itu saling bergesekan sehingga menimbulkan konflik yang pada akhirnya memberikan pesan bagi pembaca. Dimana pesan ini, seringkali tidak tertulis, tapi pembacalah yang bertugas memetik pesannya. Dan pesan yang baik adalah pesan dari hasil penilaian yang objektif. Jadi, kita dituntut untuk menganalisis secara objektif.

Dan tanpa sadar kebiasaan menganalisis ini terbawa-bawa dalam kehidupan saya sehari-hari. Dalam melihat suatu permasalahan pribadi atau orang lain membuat saya suka berpikir "mengapa & bagaimana itu terjadi? untuk apa? apa pesan & pelajaran yang bisa saya ambil tanpa menjudge pelakunya?" Ini juga salah satu cara yang saya pakai ketika membaca karya orang lain, sehingga saya dapat mengambil sebanyak-banyaknya manfaat. Karena rugi jika sudah menghabiskan waktu untuk membaca tapi yang ada hanya berpikir begatif tentang penulisnya.

Dan hasil analisis itulah yang sering muncul menjadi status-status koran saya di FB & artikel di Kompasiana, yaitu mengenai sesuatu pelajaran hidup. Dan tanpa saya sadari pula, apa yang saya tuliskan mengarahkan saya untuk berpikir, berperilaku & bertindak seperti itu, sehingga memilki kebiasaan seperti itu.
Dan pada akhirnya, apa yang menjadi pilihan saya telah membentuk kepribadian saya.

Tak ada pilihan baik yang mudah, jika pada akhirnya itu mudah, itu karena kita mencintainya & mau mengalami proses dalam menjiwainya.

Dulu dan bahkan sekarang pun saya selalu mendengar orang-orang berkata: "Mau jadi apa kuliah di sastra? Mau jadi penulis novel?". Tapi akhirnya, banyak teman-temanku yang kalang kabut mencari pekerjaan dan mengatakan "Rata-rata pekerjaan sekarang syaratnya Bahasa Inggris." Saya ingin sekali menambahkan bahwa bukan cuma itu tapi juga masalah EQ & SQ, tapi dasarnya saya memang tidak suka banyak bicara tapi banyak menulis.

Lain lagi dengan teman-teman yang mengatakan "Mey, buat buku, tulisannya bagus", jelas saya akan membuat buku yang bernama skripsi. Seorang bapak menganjurkan untuk menjadi dosen karena selalu berlangganan tulisan-tulisan saya di FB, ada beberapa orang pula yang paling tidak masuk dalam akal saya mengatakan "Mencalonkan diri jadi caleg, Mey" yang membuat saya nyaris pingsan. Dan yang sangat menyenangkan buat saya, saya memiliki banyak teman, mulai dari yang muda, ibu-ibu, bapak-bapak, oma opa dengan latar belakang kehidupan yang berbeda hanya karena pilihan yang memanggilnya untukku. Dan itu adalah sebuah kebahagiaan karena teman adalah harta sebagai aset kekayaan.

Dan akhirnya saya mengerti ini:

Apapun pilihan itu, apapun yang kita lakukan selama itu baik, cintailah & berproseslah untuk menjiwainya, maka orang lain akan percaya bahwa kita tak salah pilih.

Dan tak ada jalan potong untuk hasil yang sejati & maksimal. Jadikan hidup ini berarti & berwarna dengan ilmu & proses.

Sejatinya belajar demi bermanfaat bagi kehidupan, bukan mengejar sebuah kesuksesan semu. Ya, belajar untuk hidup. Belajar menghargai diri sendiri dengan jujur terhadap diri sendiri untuk kemudian jujur kepada orang lain. Karena tak ada pelari yang mulai berlari dari tengah perjalanan, selain mereka yang curang, melainkan mulai berlari dari garis start yang bernama 'diri sendiri. Dan tak ada pelari yang disebut pelari hanya sekedar berpijak di garis finish tanpa pernah berlari. Tapi pelari yang sesungguhnya adalah mereka yang memulai dari start, berlari melewati setiap tikungan hingga tiba di garis finish.

Dan akhirnya, tak ada jurusan yang buruk, yang ada hanya orang-orang yang menganggap pilihannya sekedar sesuatu yang dijalani saja, tanpa perlu dicintai & dijiwai. Hanya sekedar dibanggakan tapi tak hidup dalam pilihannya.

Terkadang, pilihan kita yang mengantarkan kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Dan Tuhan selalu memfasilitasi niat yang baik untuk hidup dalam pilihan terbaik. Pilihan adalah identitas, jika kita tak menemukan itu pada jiwa, hati, pikiran & diri kita, maka kemana kita selama ini?



Benarkah tak ada jurusan yang buruk?? Saya yakin "tak ada", jika ada itu sudah ditiadakan karena sudah tidak dibutuhkan lagi.


Jika kita memaksa bahwa ada jurusan yang tak memiliki masa depan, maka jurusan itu adalah jurusan yang tak memiliki tujuan, hanya sekedar tempat untuk berjalan & meraba, tepatnya jurusan yang tidak diseriusi. Masalahnya, maukah kita benar-benar menjadi pribadi yang dibutuhkan??

_________________

Tulisan ini juga sebagai referensi bagi yang mungkin tertarik dengan pilihan Sastra Inggris
Siapa tahu berminat.


Selamat pagi Kompasiana


^_^

__________________________________

Artikel terkait: Takdir??? Saya Percaya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun