Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Pelajaran Mengenai Komentar Pedas Dinda terhadap Ibu Hamil

17 April 2014   12:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34 3926 23
Saya tidak mau lagi mengulas mengenai isi komentar Dinda mengenai ibu hamil, informasinya sudah lengkap di sini. Hanya sedikit mengomentari mengenai itu berdasarkan beberapa pertimbangan. Sejatinya, Dinda, ibu hamil, yang membully & yang tidak membully Dinda adalah sama-sama manusia biasa. Hanya bedanya, ada yang terang-terangan & ada yang sekedar menyimpan itu dalam hati.

Tidak bermaksud membela Dinda. Tapi menurut saya, sangat langka orang seperti Dinda yang mau blak-blakan untuk mengomentari hal seperti itu & menurut saya itu sebuah kejujuran yang dapat membuka mata kita lebar-lebar akan pentingnya kedisiplinan & penghargaan terhadap usaha orang lain.

Saya mencoba untuk berada di posisi Dinda & melihat dengan cara pandang Dinda. Kurang lebih seperti ini:

"Jangan memakai sisi kelemahan kita untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dengan mengatasnamakan kemanusiaan & belas kasihan yang pada akhirnya merugikan orang lain. Aturan tetaplah aturan."

Sebenarnya itu inti dari uneg-uneg Dinda, karena dari komentar pedasnya saya lihat bahwa itu bukan hanya terjadi sekali tapi berulang kali. Di samping itu Dinda memiliki alasan kuat karena kakinya juga sedang sakit. Jadi kalau mau dicari siapa yang lebih membutuhkan sebenarnya kedua-duanya, karena sama-sama memiliki kelemahan fisik.

Dan saya berpikir, seandainya saya berada di posisi Dinda, mungkin saya akan memberikan tempat duduk sesekali, dan mengatakan kepada ibu ini secara langsung bahwa lain kali datangnya lebih pagi agar dapat tempat duduk, karena tidak semua orang yang ikhlas memberikan tempat duduknya, apalagi mereka yang sudah mati-matian datang pagi & juga memiliki masalah dengan kesehatannya. Lalu itu mengajak ibu ini ngobrol, mungkin kita bisa mendapatkan informasi mengapa beliau tidak bisa datang lebih pagi & mencari solusi bersama-sama. Itu jauh lebih baik, daripada mempostingnya di media sosial, sehingga orang-orang yang tidak tahu benar bagaimana kondisi sebenarnya tidak ikut-ikutan berbuat dosa karena komentar yang juga tidak kalah pedasnya.

Dan jika saya berada di posisi ibu ini, mau tidak mau saya harus berbesar hati untuk tidak meminta tempat duduk orang lain sebagai konsekuensi dari tanggungjawab & lebih berusaha untuk datang lebih pagi. Tetapi jika tidak bisa jika tidak duduk, tidak ada salahnya jika meminta sedikit tempat duduk tanpa membuat orang yang dimintai tidak duduk, alias berbagi tempat duduk meski tak begitu leluasa & senyaman biasanya. Ini masalah etika menghargai usaha & perjuangan orang lain, bukan masalah siapa yang hamil & yang tidak hamil.

Dan akhirnya, ketika kita berani mengatakan kepada Dinda bahwa belum pernah merasakan susahnya jadi orang bunting, seharusnya kita juga mempertanyakan bagaimana berada di posisi Dinda atau paling tidak bagaimana jika anak kita memiliki nasib sama seperti Dinda. Teori kemanusiaan itu memang sangat mudah disenandungkan, tetapi ketika berhadapan dengan fakta di lapangan, kadang itu menjadi begitu sulit apalagi jika kondisi fisik & kemampuan sangat terbatas.

Kasus ini tak jauh beda dengan budaya antri yang tak pandang tua & muda. Kadang, ketika saya berbelanja di toko swalayan, saya juga banyak menemukan orangtua yang langsung menerobos antrian & tidak mau antri, saya cuma bisa urut-urut dada, atau kasus yang lainnya. Dan saya punya seorang teman, yang suka menegur langsung orang-orang yang tidak mau antri. Melihat itu, ya saya cuma diam saja.

Manusia tak ada yang sempurna, tapi mari kita saling mengingatkan dengan tutur yang lebih sopan & manusiawi.

Salam Kompasiana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun