Bu Ratna kembali menggeleng, ketika hari ini kutanyakan tentang keberadaan Danu.
Sepulang dari sekolah, berbekal alamat yang kudapatkan dari ruang tata usaha sekolah, aku berdiri di depan rumah Danu. Rumah berukuran sedang dan bercat putih itu terlihat sangat sepi. Kupencet bel berulang kali, tapi tak ada seorang pun yang keluar dari dalam rumah.
Aku hampir beranjak pergi ketika tetangga sebelah rumah Danu menghampiri.
"Rumahnya kosong, Bu. Pergi semua orangnya," ucapnya sambil tersenyum.
"Pantesan saya pencet bel dari tadi nggak ada yang keluar."
"Ibu mau cari siapa?"
"Saya, gurunya Danu, Bu."
"Oh, putra bungsunya Pak Teguh, ya. Wah, sayang sekali, Bu Guru. Dari kemarin semuanya pergi. Saya lihat waktu mereka berangkat kemarin siang, tapi saya nggak tau mereka pergi ke mana."
"Baiklah, Bu. Terima kasih informasinya. Saya pamit, ya. Selamat siang."
"Siang, Bu Guru."
Aku mengangguk sambil tersenyum lalu melangkah menuju halte yang jaraknya tak jauh dari rumah Danu. Ah, ada masalah apa lagi ini? Begitu repotkah bagi orang tua Danu untuk sekadar memberi informasi kepada pihak sekolah?
Aku menarik napas panjang. Terkadang bagi beberapa orang tua, melunasi pembayaran SPP dirasa sudah cukup. Padahal kerjasama yang baik untuk keberhasilan seorang anak tak cukup hanya itu.
Untungnya, dua hari kemudian Danu kembali masuk sekolah. Menurut Bu Ratna, ayahnya Danu dirawat di rumah sakit. Hal yang membuat harapanku untuk bertemu dengan kedua orang tuanya kembali gagal.
Siang ini, aku sedang mengerjakan tugas rutin ketika Danu tiba-tiba muncul di hadapanku. Bel tanda pulang sekolah memang sudah berbunyi lima menit yang lalu. Wajahnya terlihat keruh, di tangannya terlihat selembar amplop.
"Maaf, Bu. Nggak ada yang bisa dateng ke sini. Papa saya dirawat, Bu. Mama nungguin Papa."
"Iya, Nu. Ibu ngerti."
"Ini ada titipan uang dari Mama, Bu. Buat ganti kaca."
"Terima kasih, Nu. Uangnya Ibu terima dan akan Ibu berikan ke bagian tata usaha, ya. Duduk dulu, Nu. Ibu pengen ngobrol sama kamu."
"Saya harus cepat pulang, Bu. Mau ke rumah sakit."
Aku menghela napas panjang lalu mengangguk. Rasanya Danu memang benar, ini bukan waktu yang tepat untuk bicara.
Danu mengucap salam lalu beranjak meninggalkan ruanganku. Entah mengapa, rasanya ada yang menggelitik di dalam hati. Anak ini terkenal nakalnya, tapi aku merasa dia tak senakal itu.
Namun, tak urung aku merasa jengkel juga ketika setengah jam kemudian melewati kantin, Danu masih terlihat berada di sana. Dia terlihat sedang menatap empat orang temannya yang sedang asyik bercanda. Dia tak tahu kalau aku melihat keberadaannya. Danu baru menyadari kehadiranku ketika aku berdiri di hadapannya. Suara tawanya yang tadi terdengar renyah langsung terhenti.
Keempat temannya langsung berdiri dan menyalami tanganku. Danu perlahan ikut menyalami tanganku lalu menunduk.
"Katanya mau ke rumah sakit, Nu," ucapku tegas.
"Iya, Bu. Ini mau ke rumah sakit."
"Tiga puluh menit yang lalu, kamu bilang begitu sama Ibu dan sampai sekarang ngapain kamu masih di sini?"
Danu terdiam, tapi ekspresi wajahnya begitu menyebalkan. Aku menarik napas panjang. Menghadapi Danu memang membutuhkan kesabaran yang lebih besar.
"Ibu temani kamu ke rumah sakit."
"Nggak usah, Bu!"
"Kenapa nggak usah? Ibu mau menjenguk Bapakmu."
"Sekarang belum waktunya menjenguk, Bu."
"Lalu kenapa tadi kamu bilang mau ke rumah sakit?"
"Saya nggak jenguk, Bu. Saya gantian jagain Papa. Beda sama Ibu. Kalau ngejenguk ada waktunya."
"Terus, kenapa sekarang belum jalan?"
"Tadi saya makan dulu. Saya jalan, Bu."
Aku mengangguk. Kelima anak itu lalu pamit berbarengan dan meninggalkan kantin dengan tergesa. Belum jauh berjalan, aku melihat Danu kembali menoleh ke arahku. Tatapan matanya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi urung dilakukan.
Ah, Danu. Melihat tatapan matanya mengingatkanku pada Nana, sahabatku sewaktu remaja.
Nana yang pendiam, yang menyimpan banyak kesedihan. Awalnya, Nana tak mau berbagi. Dia lebih sering mendengarkan teman-temannya yang bercerita. Nana baru mau menceritakan kesedihannya ketika aku memeluknya erat setelah melihat lebam di tangan dan kakinya.
Ayahnya yang melakukan. Satu-satunya orang tua yang dia miliki karena ibunya meninggal setelah melahirkan adiknya yang sudah meninggal di dalam perut. Nana bilang dia memaafkan ayahnya. Nana hanya merasa sedih dan terkadang takut karena ayahnya semakin sering pulang malam dalam keadaan mabuk. Ketakutan yang akhirnya terbukti, Nana meninggal di tangan ayahnya.
Aku menangis begitu lama waktu itu. Andai aku dulu punya keberanian untuk membantu Nana, mungkin sahabatku tak perlu semenderita itu. Namun, saat itu aku hanya diam mendengarkan ceritanya tanpa terpikir untuk bercerita pada mama.
Aku baru bercerita pada mama justru setelah Nana meninggal. Hal yang sangat aku sesali walaupun kejadian itu sudah lama berlalu.
Tatapan Danu tadi seperti menyimpan banyak cerita. Rasanya, keinginanku membantu Danu semakin terasa membuncah. Danu pasti punya masalah yang membuatnya menjadi bermasalah di sekolah.
Pendapat ini semakin menguat ketika seminggu kemudian, Danu kembali bertengkar di saat jam istirahat.
Danu sempat memukul temannya sebelum dipisahkan oleh guru yang sedang piket dan kembali dibawa ke ruanganku. Temannya menatap Danu dengan kesal dan Danu menatapnya dengan tatapan yang begitu garang.
"Ada masalah apa lagi ini, Danu? Erwin?"
"Dia duluan mukul saya, Bu," ucap Erwin cepat.
"Danu, kenapa mukul Erwin?"
Danu mengepalkan tangannya. Dia tak menjawab pertanyaanku. Matanya tetap menatap garang ke arah Erwin.
~ Bersambung ~