Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Bukan Salahmu, Sayang (Bagian Pertama)

23 Oktober 2022   06:30 Diperbarui: 23 Oktober 2022   06:38 150 3
Bukan Salahmu, Sayang (Bagian Pertama)

Praaank!

Suara kaca pecah itu membuatku segera menoleh. Kaca di ruang kelas 8 A itu berlubang! Suara gaduh siswa pun terdengar hingga di tempatku berdiri, membuatku dan dua orang guru lainnya berjalan cepat menghampiri. Jam istirahat memang belum selesai, tapi itu bukan suatu alasan untuk bermain dengan seenaknya sampai memecahkan kaca kelas.

"Siapa yang melemparkan bola ini?" tanya Pak Agus sambil mengambil bola dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Suara ramai itu tiba-tiba berubah menjadi sepi. Semua siswa yang berada di dalam dan di sekitar kelas terdiam. Aku menatap dua orang anak perempuan yang sedang menyapu serpihan kaca, mereka menyapu sambil menundukkan wajah.

"Arin, kamu tahu siapa yang tadi melempar bola?" tanyaku sambil berjalan mendekatinya.

"Nggak tahu, Bu," jawabnya lirih.

"Ada yang kena pecahan kaca?"

Semua menggelengkan kepala. Aku mengangguk lalu beranjak meninggalkan kelas. Langkahku terhenti ketika mataku melihat anak laki-laki berambut ikal yang sedang berjalan gontai. Dia berhenti melangkah dan menatap Pak Agus sambil mengangkat tangan kanannya.

"Saya yang melempar bola, Pak Agus. Nggak sengaja."

Dia dan dia lagi. Sejak Danu masuk di sekolah ini setahun yang lalu, entah sudah berapa kali dia berurusan denganku. Baru tiga hari yang lalu, dia dibawa ke ruang BP karena adu jotos dengan teman sekelasnya. Ketika ditanya apa alasannya bertengkar, Danu tak mau menjawab.

Belum lagi keluhan dari wali kelasnya mengenai nilai akademis Danu yang berada di bawah rata-rata. Lengkaplah sudah predikatnya sebagai anak yang bermasalah di sekolah tempatku bekerja.

Sewaktu di kelas tujuh, aku pernah bertemu dengan salah seorang kakaknya ketika acara pengambilan rapor, tapi tak lama karena ibu mereka sedang dirawat di rumah sakit. Ketika tiga hari yang lalu orang tua Danu dipanggil ke sekolah, yang datang tetap bukan orang tuanya. Kakaknya yang kembali mewakili karena ibu mereka sedang ke luar kota.

Gadis manis berwajah mirip Danu itu berkali-kali meminta maaf ketika kujelaskan apa kesalahan yang dilakukan adiknya. Dia berjanji akan membantu mengarahkan Danu, tapi tak ada yang berubah dari kelakuan adiknya. Danu tetap dengan gayanya, selalu membuat masalah.

Siang ini, aku kembali memanggil Danu setelah jam belajar usai. Sambil menunggu kedatangannya, kubuka kembali catatan tentang perilaku Danu di sekolah. Catatan hitamnya cukup panjang. Beberapa kali tercatat mencontek saat ulangan, tidak mengerjakan tugas, bertengkar dengan teman sekelasnya, membawa buku komik, dan yang terakhir ini memecahkan kaca kelas.

Wali kelasnya selalu menampilkan wajah keruh bila kami sedang membahas permasalahan Danu. Aku paham, Bu Ratna pasti pusing. Menghadapi anak-anak yang sedang menginjak masa remaja memang tak mudah. Emosi mereka sedang labil.

Apalagi yang seperti Danu.

"Saya kadang-kadang ngerasa capek, Bu Reva. Anak-anak ini ada aja permasalahannya."

"Dimaklumi, Bu Ratna. Mereka sedang mencari jati diri. Hormon mereka pun sedang bergejolak. Menghadapi mereka tentu nggak bisa dengan cara searah."

"Iya, Bu. Secara teori, saya ngerti siapa yang sedang saya hadapi. Saya juga sering mengajak mereka ngobrol di saat waktu istirahat. Cuma ada beberapa anak yang terlihat suka membuat masalah. Terutama Danu."

"Iya, masalah Danu memang rumit."

"Ada anak yang kurang dalam hal nilai akademis, Bu, tapi perilakunya baik. Ada yang pinter, tapi kelakuannya agak minus. Nah, kalo ini paket lengkap. Gimana saya nggak pusing, Bu?"

"Semoga saya bisa menggali permasalahannya, Bu Ratna. Supaya Danu bisa berubah."

Aku menghela napas panjang. Obrolan dengan Bu Ratna tadi siang membuatku harus berpikir panjang. Tak mudah untuk menghadapi Danu. Dia sering berulah, tapi mulutnya sering terkunci rapat bila ditanya.

Suara ketukan di pintu membuatku secara spontan menatap ke arah jam dinding. Itu pasti Danu. Tak menunggu lama, wajah yang sudah tak asing itu menampakkan diri.

"Masuk, Nu. Duduk di sini!"

Danu mengangguk lalu menyeret langkahnya. Ditariknya kursi lalu dia duduk di hadapanku.

"Kamu tahu, kan, kenapa dipanggil kembali ke ruangan ini, Nu?"

"Tau, Bu. Saya tadi mecahin kaca," jawabnya lirih.

"Kamu tahu apa konsekuensinya?"

"Mengganti kaca, Bu."

"Iya, tapi sebelumnya ibu mau bicara dulu dengan orang tuamu, Nu. Ada banyak hal yang ingin ibu bicarakan."

Danu menunduk. Wajahnya terlihat kesal. Dia lalu mengembuskan napas dengan kasar.

"Kenapa, Nu?"

"Kenapa nggak langsung aja, sih, Bu. Kasih tau aja berapa uang yang harus saya bawa."

"Ibu mau ketemu orang tua kamu dulu. Tolong sampaikan ke mereka. Ibu tunggu besok pagi. Ini surat panggilan resminya," ucapku sambil menyerahkan selembar surat panggilan.

Danu menarik napas panjang sebelum menerima selembar surat itu. Wajahnya terlihat begitu keruh. Mungkin, dia takut dimarahi orang tuanya karena baru tiga hari yang lalu, aku meminta mereka untuk datang. Sayang, yang datang hanya kakaknya.

"Tolong sampaikan ke orang tuamu, ya, Nu. Jangan diwakilkan! Ibu mau bicara langsung dengan bapak atau ibu kamu."

Danu menatapku sekilas lalu dia menunduk lagi. Sepertinya ada sesuatu yang dia pikirkan yang membuatku tiba-tiba merasa kasihan.

"Ada yang mau kamu omongin, Nu?"

Dia menggeleng.

"Kamu takut dimarahi karena harus menyerahkan surat ini lagi?"

"Nggak, Bu. Saya udah biasa dimarahi."

"Terus, kenapa?"

"Nggak apa-apa."

"Ada yang mau diceritain ke Ibu? Ibu siap untuk ngedengerin cerita kamu."

"Nggak, Bu. Saya nggak punya cerita."

Danu menunduk lagi. Wajah manisnya terlihat begitu menggemaskan. Entah, ada apa di kehidupannya yang membuat dia selalu memiliki masalah di sekolah? Setelah menghela napas panjang, aku bangkit dari kursi, melangkah mendekati dan menepuk bahunya dengan lembut.

"Sekarang boleh pulang, Nu. Besok Ibu tunggu orang tuamu di sini, ya."

Dia mengangguk dan setelah memberi salam, sosoknya menghilang dari pandanganku.

Keesokkan harinya, tidak ada tamu untukku dan Danu tak masuk sekolah selama tiga hari tanpa keterangan.

~ Bersambung ~

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun