Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Heboh KitKat non-Halal di Jepang

8 Januari 2014   21:56 Diperbarui: 4 April 2017   16:48 29538 6
Produk cokelat KitKat memang fenomenal. Mengapa saya katakan fenomenal, karena produk ini akhirnya dipilih oleh platform Android menjadi nama sistem terbarunya. Artinya produk ini dikenal oleh penduduk dunia. Semua orang mengenal produk cokelat produksi Nestle yang tengahnya bisa dipotong sehingga bisa terbagi dua dengan baik. Makanya iklan di TV Indonesia berbunyi, “Ada break ada KitKat”.

Khusus di Jepang, KitKat memiliki cita rasa yang mungkin paling unik di dunia. Mengapa? Berbeda dengan produk negara-negara lain KitKat di Jepang memiliki berbagai rasa khas Jepang. Salah satu produk yang paling terkenal adalah KitKat matcha atau teh hijau khas Jepang.

Keunikan ini digandrungi oleh siapa saja, baik wisatawan Jepang atau bahkan orang-orang yang telah melakukan selancar di dunia maya mengenai KitKat ini. Tidak hanya sekedar rasa matcha, Jepang juga memiliki berbagai cita rasa unik yang tidak dimiliki oleh negara lain. Cita rasa unik ini dinamakan seri omiyage (oleh-oleh). Rasa ini hanya bisa didapatkan di daerah-daerah tertentu di Jepang. Misalnya, Okinawa yang terkenal dengan ubi ungunya, maka ada kit-kat ubi ungu yang hanya bisa dibeli di daerah Okinawa. Kyoto yang terkenal dengan teh hijau dan the hoji juga ada KitKat rasa kedua the ini. Sementara itu di daerah Tohoku yang terkenal dengan edamame (kedelai hijau) juga ada kit kat zunda yang dibuat dengan bahan edamame yang ditumbuk. Selain kit-kat rasa lokal, ada juga kit kat edisi khusus. Misalnya KitKat seri shinkansen atau Rilakuma, satu tokoh karakter anime terkenal di Jepang.

Inilah keunikan Jepang. Membuat hal sederhana menjadi unik. Kit kat memang ada di mana-mana, tapi hanya Jepang yang memiliki keunikan berbagai rasa khas Jepang. Nah, hal inilah yang membuat penyuka Jepang atau wisatawan asing di Jepang memburu kit kat berbagai rasa ini di Jepang. Termasuk wisatawan Indonesia yang sangat gemar dengan kit kat matcha ini. Mereka memborong kit kat berbagai rasa ini dengan penuh semangat. Bahkan satu ketika saya pergi ke sebuah toko oleh-oleh di daerah Odaiba, Tokyo. Satu persediaan kit kat rasa matcha habis. Kata penjualnya, “Iya tadi ada wisatawan Indonesia sebanyak 3 bis datang ke mari. Mereka memborong semua kit kat rasa matcha di sini. Jadi habis.” Sssst….Tidak hanya itu saja. Seorang anak pejabat negara pun pernah saya carikan untuk kit kat berbagai rasa dan saya pontang panting mencari toko yang menjual berbagai rasa di Tokyo Station.

Nah, baru-baru ini dunia social media, termasuk di Facebook dan Path dihebohkan dengan berita bahwa Kit Kat di Jepang tidak halal alias terdapat bahan yang dibuat dari bahan non-halal, alias bahan yang terbuat dari bahan hewani, yaitu babi. Saya pun cukup penasaran ketika melihat foto yang diunggah salah seorang teman saya. Ia mengapload sebuah foto yang merupakan balasan dari costumer service Nestle Japan, yang menyatakan bahwa empat varian kit kat yang seri Otona no Amasa (diterjemahkan bebas=tingkat kemanisan untuk orang dewasa) dengan pack besar dinyatakan mengandung bahan non halal. Tapi informasi ini terbatas. Tidak dijelaskan apakah produk-produk yang lain mengandung bahan non halal ini juga atau tidak. Di email itu tertulis:

Please be informed that all of Kitkat Otonanoamasa series (4 sorts) contain ingredients from animal (pork), with the number after L3263.

Maksud nomer L3263 ini bagaikan misteri bagi saya.

Akhirnya, saya telpon langsung ke costumer service Nestle Japan yang berada di Kobe. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya saya diterima oleh seorang costumer service perempuan. Bertanyalah saya mengenai bahan non halal itu. Costumer Service itu menjawab dengan sigap, “Ya betul kit kat seri otona no amasa memang mengandung babi dalam bahannya,“ saya curiga, mbak costumer service ini pasti mendapat pertanyaan yang sama dalam seharian ini karena jawabnya cepat sekali. Kemudian saya lanjutkan pertanyaan saya, “Lha kalau rasa lainnya?” “Dia jawab, apakah ibu punya produknya di tangan ibu? Apakah ada nomor serinya yang bisa kami cek? Karena bahan itu bisa sewaktu-waktu berubah,” wah saya jadi gelagapan. Bukan apa-apa, karena saya tidak siap dengan pertanyaan ini. Selain itu saya juga kurang mengerti dengan kalimat terakhir, apa hubungannya dengan bahan yang berubah-ubah, ya? Saya juga jawab dengan asal-asalan juga, “Ok, saya cek sendiri nanti ya, nomernya berapa,” demikian balas saya. O, ya saya lupa, dia juga menegaskan Kit Kat biasa warna merah itu semuanya berbahan nabati, jadi jelas aman.

Di sosial media, pertanyaan dan berbagai komentar berkembang dengan sangat pesat (seperti yang sudah saya perkirakan). Meski tidak mencoba mengontak sumber langsung, informasi seperti ini di Indonesia selalu menjadi sensitif. Ingat kasus babi Aji no Moto dan lain-lainnya. Banyak yang komentar, “Yah, sudah terlanjur banyak makan, nih…gimana, “ ada lagi, “Maaf ya saya dulu ngasih oleh-oleh ini, “ dan lain sebagainya. Saya juga agak merasa bersalah, karena begitu banyak yang menyukai produk ini jadi saya sering membawakan produk ini untuk oleh-oleh kerabat dan keluarga. Di lain pihak, buat saya Kit Kat ini, meski bukan produk asli Jepang, produk yang murah dan mudah ditemukan keseharian tapi hanya Jepanglah yang mampu mengemasnya menjadi produk yang orisinil dan dicari oleh penduduk sedunia. Ini sangat Jepang alias Jepang banget.

Sekali lagi, saya terbawa rasa penasaran yang besar. Saya coba untuk masuk ke website Nestle Japan dan ternyata ada costumer service online. Saya coba untuk berkomunikasi dengan costumer service, yang entah laki-laki atau perempuan. Di seberang sana namanya Goto-san. Sekali lagi, pertanyaan saya mentah ketika dia tanya saya, “Ibu punya nomor seri produksinya?” Ya nggaklah. Kan saya tidak baru saja beli kit kat itu. Akhirnya, pembicaraan dihentikan karena tidak memiliki nomer seri di tangan. Meski masih ada rasa penasaran yang mengganjal.

Di media Facebook permasalahan ini rupanya terus bergulir. Akhirnya saya melirik fan page satu Niponasia Halal Association Japan. Di fan page ini juga diumumkan 4 varian produk otona no amasa rasa strawberry, cokelat, matcha dan white chocolate mengandung bahan tidak halal. Tapi, sesuai dengan keterangan costumer service di Nestle Japan, ada beberapa produk yang tidak menggunakan bahan yang mengandung bahan dari babi. Tapi sayangnya, jawabannya tidak cukup jelas. Pertanyaannya, yang manakah yang tidak mengandung bahan babi? Bagaimana kita bisa membedakan mana yang tidak mengandung babi atau tidak? Tidak ada jawaban yang jelas.

Akhirnya saya setelah mencoba berselancar, karena penasaran dengan permasalahan ini, akhirnya saya mendapatkan jawaban dari seorang Indonesia yang juga bertugas untuk auditor makanan halal di Jepang. Secara singkat, “Memang perusahaan di Jepang itu tidak begitu memperhatikan masalah halal. Jadi, perusahaan Jepang lebih memperhatikan faktor ekonomis dari pada masalah “halal”. Jadi bahan baku akan berubah-ubah sesuai dengan situasi pada saat produksi,” begitu penjelasannya.

Nah, setelah merangkai berbagai puzzle misteri Kitkat selama dua hari, akhirnya saya mengerti sekarang. Kuncinya adalah bahan baku. Bahan baku Kitkat ini akan tergantung pada faktor ekonomis. Dalam kasus ini adalah penggunaan bahan yang dinamakan letichin untuk elmusifier yang dalam bahasa Jepangnya disebut dengan nyuukazai (乳化剤). Elmusifier ini bisa terbuat dari bahan hewani dan nabati. Biasanya kalau bahannya terbuat dari nabati ada tulisannya daizu (大豆) atau kacang kedelai. Jadi biasanya tulisannya seperti ini 乳化剤(大豆を含む)ini menunjukkan bahan elmusifiernya terbuat dari kedelai. Kalau tertulis 乳化剤 saja, ini artinya mencurigakan atau ada bahan hewani, entah babi atau sapi. Tapi harus diingat, ada beberapa jenis KitKat yang juga mengandung alkohol juga, lho ya. Misalnya, rasa Rhum Raisin. Ini sudah jelas.

Sayangnya, saya tidak tahu siapa yang mendapatkan email pertama kali dan diupload di sosial media. Hanya tertera namanya Fauzi. Saya hanya, menerka-nerka, ada kemungkinan dia menanyakan ke Nestle Japan Costumer Service karena di bahannya tertulis 乳化剤. Entahlah.

Untuk sementara kehebohan Kitkat Halal atau haram ini bagi saya sedikitnya membuat saya belajar sesuatu. Pertama, kehati-hatian dalam memakan sesuatu agaknya perlu dijaga. Kedua, perlunya kita mendalami ilmu pengetahuan, untuk selalu mengejar informasi yang akurat sehingga terhindar dari asumsi-asumsi yang menyesatkan. Ini di antaranya.

Tapi saya pribadi juga berpikir, makanan halal haram itu juga bukan atas dasar dari bahan bakunya. Makanan dari sumber yang tidak halal, mungkin agaknya juga kita pertimbangkan. Bahan makanan yang mengandung zat berbahaya, pestisida atau pengawet misalnya juga perlu dipertimbangkan. Bagaimana dengan Anda semuanya?

Tokyo, 8 Januari 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun