Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Belajar Islami dari Jepang: Mungkinkah? (1)

31 Juli 2013   13:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:47 1085 14

Selama ini, cerita keteladanan Islami dan muslim cenderung dari cerita dan kisah-kisah dari tanah Timur Tengah. Memang betul kisah-kisah Islami datang dari Timur Tengah. Tapi ternyata, kisah-kisah menarik nan Islami bisa lho datangnya dari tanah sang samurai dan ninja. Saya ingin sedikit berbagi untuk Anda semuanya, mumpung masih di di penghujung suasana Ramadhan.

Belajar Puasa di Sekolah Jepang

Anak saya umurnya 9 tahun. Tahun ini merupakan tahun ketiga dia puasa secara utuh di negeri sakura ini. Tahun-tahun sebelumnya, ya, seperti biasa anak kecil, masih ada yang bolong atau buka siang harinya. Tapi semenjak tahun ini ia berusaha sekuat tenaga untuk menjaga ibadah puasanya, meski pernah sekali ia tidak bisa bangun untuk sahurnya. Padahal, tahun ini merupakan puasa yang cukup berat karena Jepang masuk dalam musim panas. Pada musim panas, cuaca di Jepang cukup panas dan yang lebih melelahkan karena terbit dan tenggelam mataharinya lebih panjang dibanding di Indonesia. Imsyak di Jepang pada tahun ini sekitar jam 3.00 pagi dan berbuka sekitar jam 7 malam kurang.

Awalnya saya agak khawatir kalau anak saya agak malas-malasan di puasa tahun ini. Mengapa? Karena puasa-puasa sebelumnya, merupakan masa liburan musim panas. Kalau kita tidak pulang ke Indonesia, kami bisa berdiam diri di rumah sehingga tidak perlu untuk diketahui kalau kami puasa. Nah, tahun ini karena jadwalnya 10 hari lebih cepat, selama 12 hari lamanya, anak saya harus menjalani puasa di sekolah. Di sekolahnya, setiap siang ada 給食(kyuushoku) artinya makan siang bersama. Hal ini yang membuat saya khawatir. Kalau anak saya, khawatirnya bukan kyuushokunya, tapi nanti dia dilihat jadi anak yang aneh sendiri karena tidak makan.

Akhirnya, solusinya saya telpon ke wali kelasnya. Saya ceritakan masalahnya. “Pak guru, anak saya dua hari lagi akan menjalani 断食(danjiki) alias puasa…,” “Apa danjiki?” saya potong saja, “Ya danjiki. Artinya, dia tidak makan dan minum seharian. Kemudian dia tidak ikut kyuushoku,” sang guru agak terdiam karena agaknya dia belum juga mengerti arti danjiki itu. Kemudian, dia bertanya, “Lha terus, kalau pas makan nanti gimana sebaiknya?” “Nah itu dia yang saya mau diskusikan, pak. Soalnya kami juga belum ada pengalaman selama 4 tahun ini,” jelas saya. Kemudian saya tambahkan, “Pak guru, mungkin bisa juga anaknya pas kyuushoku disuruh ke perpustakaan atau mana saja,” “Ok baik kalau begitu bu, akan saya bantu nanti,” kami sudahi diskusi kami.

Tidak saya sangka kemudian, pada hari pertama puasa, sang bapak guru menelpon saya, “Ibu saya menelepon hanya laporan saja. Pertama anak ibu hari ini puasa dan pas kyuushoku anak ibu menyendiri dan menggambar sesuatu. Sebelumnya, saya sudah memberitahu teman-temannya kalau anak ibu puasa hari ini dan saya menjelaskan di depan kelas, apa itu danjiki (sesuai dengan asumsi saya, dia pasti akan mencari informasi di Google!). Saya sebenarnya mencoba mengajaknya ke perpustakaan atau di ruang UKS, ternyata anaknya tidak mau dan memilih memojok di kelas, “ “Oh, bagus pak, itu terserah anaknya sendiri bagaimana,” “Jadi, hari ini teman-temannya mengerti situasinya dan berjalan dengan baik. Kemudian, untuk biaya uang makan sekolah sebagian kami ganti, karena anak ibu tidak ikut makan. Uangnya langsung masuk rekening secara otomatis,” demikian tambahannya.

Sejujurnya, saya cukup takjub dan gembira. Pertama, puasa anak saya bisa dijadikan bahan pembelajaran di sebuah kelas sekolah SD negeri Jepang mengenai budaya dan etnis yang berbeda (dan ini sangat jarang dilakukan di Jepang). Setidaknya, anak-anak sekelas itu bisa belajar apa dan siapa muslim dan mengapa mereka melakukan ibadah puasa atau danjiki. Kedua, non-muslim yang diwakili oleh anak-anak Jepang (plus gurunya) pun bersedia suka rela membantu kami, yang muslim, menjalankan ibadah puasanya secara suka rela dan ikhlas. Ketiga, betapa keadilan dan kejujuran dalam penyelenggaraan administrasi sekolah ternyata ditegakkan betu. Hasilnya, sebagian uang makan sekolah dikembalikan.

Nah, apa yang bisa kita pelajari dari kejadian ini? Memang pada kenyataannya tidak bisa dipungkiri Islam berasal dari Timur Tengah. Tapi keteladanan Asia Timur juga perlu dipelajari dan menjadikan bahan pelajaran dalam kehidupan Islami kita. Kita ingat bahwa Tuhan telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, bukan? Betapa indahnya jika perbedaan itu bisa mempersatukan dan membuat warna indah di dunia ini….

Tokyo, bulan Ramadan 2013

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun