Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Pendudukan Tiga Setengah Tahun Jepang Lebih Kejam dari Belanda? (1)

27 Agustus 2012   16:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:15 6346 1

Sedikit berbeda dengan Yamaguchi-san yang tubuhnya lebih kuat, karena tentu saja beliau lebih muda. Beliau selalu bangga dengan kehadirannya di setiap upacara-upacara yang diselenggarakan oleh KBRI Tokyo. Beliau sering mengenakan batu batik dan peci hitam dalam kesehariannya. Di depan rumahnya, ia pasang tulisan, rumah ini adalah rumah Yamaguchi yang pernah tinggal di Semarang Jawa. “Meski pun saya Jepang totok, saya merasa memiliki darah Indonesia. Saya lahir di Semarang dan minum susu di tanah Jawa,” demikian alasannya.

Tetapi sejarah ini sering terlupakan. Kebanyakan bangsa Indonesia fokus pada sejarah pendudukan militer Jepang di Indonesia. Banyak rakyat Indonesia, bahkan generasi muda mengutuk memberikan sumpah serapah pada penjajahan ini. Jangan salahkan mereka, generasi muda, jika mereka tidak berpikir kritis terbuka terhadap penjajahan ini. Buku pelajaran kita dipenuhi oleh hal tersebut, namun para pendidik jarang memberikan ruang bagi rakyat Indonesia, khususnya generasi muda, untuk berpikir kritis.

Jepang kejam. Jepang biadab. Nenek kami hanya memakan makanan basi, sisa dan berbaju seadanya. Nenek dan kakek kami begitu menderita pada penjajahan Jepang. Banyak yang bilang, “Penjajahan tiga setengah tahun Jepang lebih kejam dibandingkan penjajahan tiga setengah abad bangsa Belanda.”

Sekitar 5000 imigran Jepang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia, di masa Hindia Belanda. Mereka mencari nafkah menjadi pelacur, pedagang keliling hingga kemudian hari mereka menjadi juragan yang sukses di tanah perantauan. Banyak orang kurang tahu kisah Nomura Zaibatsu, yang didirikan Tokusichi Nomura, yang di kemudian hari memiliki salah satu perusahaan gurita raksasa Jepang, Nomura Trading Company yang memiliki Nomura securities, Bank Resonia, memulai bisnisnya dari sebuah kawasan kebun karet di Kalimantan. Mereka Sebagian dari mereka memiliki rasa dan kecintaan yang mendalam tentang Indonesia. Sebagian besar dari mereka, terutama dari generasi awal tidak begitu terlibat dengan pemerintah Jepang untuk menjadi "tangan kanan" informan atau mata-mata. Tapi kenyataannya, mereka dicap mata-mata. Mereka dianggap bagian dari kutukan penjajahan Jepang di Indonesia. Ya, Watanabe-san, yang sudah rapuh itu dicap sebagai bagian konspirasi Jepang untuk merebut negara kita.

Haruskah kita harus teguh untuk "percaya" bahwa sejarah itu tidak dinamis dan kritis?

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengubah "kesan" kekejaman pendudukan militer pemerintah Jepang. Tapi saya mengajak kita untuk mengkritisi sejarah kita dengan pandangan lebih terbuka. Tapi saya hanya ingin mengajak rakyat Indonesia lebih melihat masyarakat Jepang lebih jernih dan manusiawi. Bukan sekedar aktor sejarah yang bejat.

Sejarah adalah bagian dari kehidupan. Siapkah kita mengambil hikmah terbaik dari sejarah kelam kita?

Sebagai catatan terakhir, tulisan ini akan saya buat bersambung. Beberapa tulisan saya coba untuk menampilkan beberapa otentik yang mungkin telah dan akan saya dapatkan. Harapan saya satu, agar bangsa kita tidak perlu mengumbar sumpah serapah dengan sejarah yang pilu. Semoga, bangsa Indonesia.

Tokyo, 28 Agustus 2012

Tulisan berikutnya ada di link ini

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun