Marzuki menyampaikan "keluhannya" sebagai seorang Ketua DPR yang tidak dapat berfungsi sebagaimana CEO perusahaan. Marzuki mengatakan, sebagai Ketua DPR ia tidak dapat memberi sanksi kepada anggotanya karena ketua DPR bukanlah atasan mereka.
Ia memberi contoh ketika ia punya ide menjalankan training ESQ untuk anggota DPR bersama tokoh ESQ Ary Ginanjar. Ary Ginanjar menyanggupi untuk mentraining ESQ selama 3 hari untuk anggota DPR secara gratis. Karena masalah teknis, Marzuki minta 2 hari saja.
Ketika ide ini dilontarkan, banyak yang tidak setuju. Akhirnya bersama Ketua DPR lain ia memutuskan agar training ini sifatnya sukarela. Anggota DPR yang berminat silakan ikut. Singkat cerita, acara dapat berlangsung dengan peserta 100an orang yang ikut, namun yang benar-benar ikut full 2 hari hanya 30an orang.
"Inilah bedanya sebagai Ketua DPR dengan CEO perusahaan. Saya tidak dapat memberi sanksi, karena fungsi ketua DPR hanya sebagai kordinator saja," kata Marzuki.
Begitulah Marzuki Ali. Saya tertarik untuk mengomentari keluhan Ketua DPR yang sangat terhormat ini karena sebelumnya saya juga mendengar keluhan serupa ketika ia diwawancarai sebuah stasiun TV. Intinya Marzuki mengatakan, "saya kan sebagai Ketua DPR tidak dapat berbuat banyak, karena saya bukan atasan mereka".
Saya perlu mencatat beberapa hal terhadap pernyataan Marzuki Ali sesuai pemahaman saya mengenai leadership dan manajemen. Saya kurang begitu kenal siapa Marzuki Ali sebelum jadi ketua DPR. Kabarnya ia eksekutif perusahaan. Yang saya tahu, ia bukan berlatar belakang seorang pemimpin organisasi sekelas Akbar Tanjung yang matang di Golkar, atau Gus Dur di NU dan PKB ataupun Amien Rais di Muhammadiyah dan PAN.
Dengan begitu saya jadi maklum terhadap pernyataan Marzuki Ali. Siapapun tahu bahwa Ketua DPR memimpin ratusan orang dari berbagai latar belakang. Ia lebih banyak berperan sebagai ketua Sidang sebagaimana Ketua Sidang PBB. Juga tak jauh berbeda dengan pimpinan sidang di kongress ormas dan organisasi politik. Leadership sebuah lembaga terhormat sekelas DPR adalah kepemimpinan rapat tingkat nasional yang hasilnya akan berdampak ke seluruh rakyat Indonesia. Namun hakekat leadership tetaplah pada visi misi untuk membangun arah tujuan yang sama dan memotivasi anggota untuk bersama-sama menuju visi yang disepakati. So, dengan demikian yang dibutuhkan Marzuki adalah kemampuan mengelola sidang serta kemampuan meyakinkan dan mempengaruhi orang-orang penting di Indonesia baik di internal DPR maupun lembaga eksukutif dan yudikatif. Terus terang saya belum melihat kehebatan Marzuki dalam memimpin sidang. Marzuki "mungkin" masih perlu meningkatkan kapabilitas lobby dan negosiasi dengan lintas partai dan lintas fraksi. Dan sebagai pemimpin, sebaiknya pantang mengeluh di muka publik termasuk wawancara di radio. Dalam konteks leadership di lembaga manapun, anak buah dilakan mengeluh, tapi pemimpin tidak boleh. Kalau pemimpin ikut mengeluh pertanda lembaga yang dipimpin sulit mengalami kemajuan.
Pernyataan di radio tadi pagi adalah keluhan yang menurut hemat saya sangat tidak layak bagi seorang Ketua DPR. Seandainya saya penyiar radio, saya akan langsung bertanya," bukankah kita semua sudah tahu dan anda pasti tahu sebelumnya bahwa menjadi Ketua DPR memang berbeda dengan manager atau direksi perusahaan?" Bukankah tugas anda yang utama adalah sebagai pemimpin bukan manager?
Ketua DPR sepemahaman saya memang bukan manager atau CEO yang tugasnya menegur, memberi sanksi, memecat dan merekrut anggota tim. Apakah Marzuki ingin seperti itu? Bukankah itu akan merendahkan derajatnya sebagai Ketua Umum Dewan yang sangat terhormat di negeri ini?
Maafkan saya Pak Marzuki, saya harus katakan bahwa anda perlu mendalami soal leadership dan manajerial. Dua hal yang sangat berbeda tapi sering campur aduk. Dua hal yang harus ada dan bersinergi untuk mengembangkan institusi manapun, baik lembaga politik, DPR maupun korporasi.
Bagaimana pendapat anda?
Jakarta, Kamis, 3 Januari 2013
Pukul 09.00
Bambang Suharno