Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Sepiring Humor

24 Oktober 2013   21:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:05 137 1
Sepiring Humor - Kutu Kata

Sarapan pagiku adalah kesepian yang kau hidangkan dalam piring kesedihan.
Kureguk segelas kepahitan yang malah akan membakar‘amarah. Pagi-pagi aku berangkat dalam kebosanan menuju kejemuan - Bekerja yang seharusnya mewarnai jiwa malah menambah suram jiwaku.

“Dimana bisa ku beli sepiring humor?”

“Semur ?, semur daging atau ayam, Tuan?

Aku menggeleng, “bukan semur! Humor ada?

Ibu penjaga warung nasi itu bengong menatapku. “Gak ada, Tuan!” Baru beberapa langkah meninggalkan ibu itu, ia sudah menggerutu, “aneh?”

“Jual obat humor?”

“Ada juga Viagra, Ciallis, Kuku si Bima, Tongkat si Ali dan Ramuan Mak Erot.” Jelas si pedagang obat kuat.

Huh, dasar! Pedagang obat itu tidak mengerti obat yang aku cari! Bukan obat kuat itu yang akan membuatku tetap “kuat”.

“Otak Tuan masih Pentium 2 kali?” Kata tukang service komputer.

“Bisa di up grade?”

“Perbanyak saja nonton tayangan humor!” “Dimana? Di TV?. Stand Up Comedy, tempat para pelawak belajar melawak?. OVJ?, bosan, sudah gak lucu lagi!”

“Wah berarti selera humor Tuan yang ketinggian! Lalu apa yang bisa membuat Tuan terhibur?”

“Jakarta Lawyers Club, sidang-sidang anggota DPR yang ditayangkan di TV, Perdebatan-perdebatan”pepesan kosong” antara pejabat dan pengamat. Kira-kira itu yang masih bisa membuatku tersenyum. Sebuah tayangan lawak yang lumayan lucu walaupun sebenarnya sudah basi.”

Akupun terus mencari dimana bisa kubeli sepiring humor untuk mengenyangkan rasa warasku. Dimana lagi bisa kubeli sepiring humor?. Di tukang loak?. Di lokalisasi?. Atau di panti pijat-panti pijat plus?.

“Tok,tok, tok!” Suara pintu kamarku diketuk. Managerku masuk tanpa permisi, “Kita sudah terima kontrak untuk 100 episode lagi.” Katanya sambil berbunga-bunga.

“Apa?. Kamu sudah gila ya?”

“Kenapa? Ini adalah puncak karir Tuan. Orang-orang masih banyak yang suka dengan humor Tuan.”

“Aku sudah tidak punya selera humor lagi. Titik!, Aku berhenti!”

“Tidak bisa, Tuan harus lanjutkan acara itu!.”

“Mengapa tidak kamu saja yang jadi bintangnya?. Melawak di depan orang banyak, hmm … lumayan besar juga bayarannya.” Kataku mengejek.

“Ingat, Tuan tidak bisa berhenti begitu saja, Tuan masih terikat kontrak dengan kami. Pembatalan kontrak secara sepihak akan dituntut sesuai hukum yang berlaku!.” Managerku marah.

Setiap hari, aku dituntut untuk bisa menghibur orang lain. Sehingga tidak ada waktu lagi untuk menghibur diriku sendiri. Ironis pekerjaan ini. Orang-orang menganggap aku lucu sementara aku menganggap mereka yang menertawakanku adalah menyebalkan.
Mereka berani membayarku mahal hanya untuk mengenyangkan rasa warasnya. Sementara aku, untuk membeli sepiring humor saja, tidak ada yang menjual. Padahal berapapun akan aku bayar kalau memang itu memenuhi selera humorku.

Akibat stroke, kondisi kesehatanku sangat payah. Mulut, tulang pipi dan leherku sudah tidak simetris lagi. Aku tak bisa berkata-kata, cuma bisa senyum dan senyum. Tidak ada orang yang tahu arti dan maksud dari senyumnya.

Hanya aku dan Tuhan saja yang tahu. He he he, Tuhan, kemana-mana ku cari yang menjual sepiring humor ternyata Kau punya selera humor juga. Dengan stroke yang menimpaku aku jadi ingat Kamu. He he he.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun