Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Surfing, Gairahkan Pariwisata Bali

10 Oktober 2010   20:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:32 244 0
Bila melintasi wisata Kuta, serta pantainya pada siang atau sore hari, akan dijumpai para bule (wisatawan asing) berseliweran menenteng papan surfing. Dari sepanjang pantai Kuta yang menjadi tempat bule-bule berjemur, banyak bisa ditemui orang-orang yang menyewakan papan surfing begitu menjamur sampai ke gang-gang jalan Popiws I, II yang merupakan akses jalan menuju pantai Kuta. Dengan merogoh kocek Rp. 30 ribu sampai Rp. 40 ribu, seorang wisatawan bisa menyewa papan surfing. Selanjutnya bisa sepuasnya berseluncur dengan ombak Pantai Kuta.

Salah seorang surfer senior Bali, Piping, ketika ditemui ditempat mangkalnya di Pantai Kuta belum lama ini, mengungkapkan paska bom Bali I yang terjadi 2002 silam, para surfer mempunyai andil besar dalam mempromosikan pariwisata Bali untuk mengembalikan citra Bali yang terpuruk dari segi keamananan kala itu.

"Surfer terkenal sebagai orang yang mempunyai solidaritas yang tinggi, sekaligus menyukai tantangan. ketika orang asing tidak berani datang ke Bali, surfer-surfer inilah yang justru datang ke Bali," ujar pemilik tabloid surfing Magic Wave, satu-satunya tabloid surfing di Indonesia. Para surfer yang telah mengunjungi Bali paska Bom Bali I, imbuhnya, ikut mempromosikan kepada sesama komunitas surfer juga tempat surfing yang didatanginya.

November 2002, tepatnya dua bulan paska bom Bali I, beberapa surfer mengadakan event kejuaraan surfing bertaraf Internasional yang bertajuk Nembralla Open 2002 dengan diikuti para surfer dari 6 negara-- Brasil, Italia, Australia, Prancis, Amerika dan tuan rumah Indonesia. "Inilah event internasinal pertama paska Bom Bali I, dan surfer dunia yang diundang semuanya datang ke Bali. Dari segi promosi pariwisata, jelas memberikan citra yang positif bagi pariwisata Bali di dunia internasional," jelasnya.

Bahkan bukan hanya Bali saja, para surfer mempromosikan daerah tujuan wisata di Indonesia. "Pantai Pacitan yang berdekatan dengan rumah Presiden SBY, bisa tampil dalam from cover majalah surfing Life dan Freak My yang mempunyai market di seluruh dunia. Pantai ini menjadi terkenal dan kemudian banyak didatangi surfer asing," ujarnya.

Tambang Emas Pariwisata

Menurut pria yang sudah menjadi surfer sejak tahun 1986 ini, para surfer adalah wisatawan yang sangat potensial untuk digarap, Pasalnya, seorang surfer rata-rata memilih tinggal di Bali antara sebulan sampai empat bulan. "Bali adalah sorganya para surfer dunia, karena semua pantai di Bali memiliki ombak yang bagus untuk surfing. Selain itu Bali mempunyai jenis ombak yang dicari para surfer, mulai dari ombak yang ekstrim sampai chiken (untuk yang baru belajar surfing). Dan semua surfer profesional pastinya sudah pernah ke Bali," jelasnya.

Bulan-bulan April sampai November, dari pantai Pecatu sampai Medewi di Jemberana (Ujung Barat Bali), memiliki ombak yang bagus untuk surfing. Sedangkan pada bulan November sampai Maret, disepanjang pantai Jasri (Kabupaten Karangasem) sampai Nusa Dua (Kabupaten Badung) merupakan jenis ombak ekstrim yang disukai surfer hardcore atau profesional. "Jadi sepanjang tahun pantai di Bali sangat cocok sebagai tempat surfing, dan para surfer tinggal memilih jenis ombak yang diingkannya. Inilah yang menjadikan Bali lebih unggul dari Hawai, Di sana (Hawai) tidak semua pantainya mempunyai ombak yang bagus untuk surfing. Selain itu tidak sepanjang tahun, paling cuma empat bulan saja," beber pria yang beristrikan wanita Swiss itu.

Dunia surfing hawai bisa lebih unggul dari Bali, menurutnya, karena di sana telah menjadikan surfing sebagai budaya. "Karena mereka lebih dulu dari kita, saya optimis surfing di Bali bisa membudaya. Sekarang saja di sini sudah ada sekitar 6 ribu sampai 10 ribu surfer lokarl," ujar pemilik majalah Tatto itu dengan nada optimis.

Di samping itu, para surfer bisa  digolongkan sebagai turis yang royal dan berkantong tebal. "Bayangkan sajar, rata-rata gaji seorang surfer prefisional bisa mencapai 20 ribu dolar per-bulan. Itu belum termasuk pemasukan dari sposnsor. Di Bali saja tidak ada seorang surfer lokal yang hidupnya pas-pasan. Secara ekonomi mereka telah sejehtera," pungkasnya.

Surfer lokal menurut Piping, mencari nafkah dari surfing juga, seperti sebagai guide surfing, usaha penyewaan papan surfing dan yang lebih beruntung bisa mendapatkan sponsor.

Gubernur "Cup" untuk "Surfing" ?

Piping menceritakan, Kuta sebelum gemerlap seperti sekarang ini, dulunya adalah daerah perkampungan lnelayan yang minus dari segiekonomi. Sejak kedatangan seorang surfer bernama Mr. Kook dari Amerika Serikat  sekitar tahun 40-an yang kemudian memilih menetap di Kuta, Kuta menjadi gemerlap. "Dulu Mr. Kook itu tempat tinggalnya di lahan Bali Ina Hotel, Kuta, sebelum hotel itu dibangun," jelasnya.

Mr. Kook kemudian mengundang beberapa surfer luar negeri untuk menaklukan ombak pantai Kuta. Sejak itu pantai Kuta dikenas sebagai daerah surfing oleh wisatawan asing.

"Jadi Mr. Kook-lah yang pertama kali memperkenalkan Kuta sebagai pantai surfing termasuk mengajarkan teknik surfing kepada orang lokal," ujarnya.

Pada era 80-an didaerah Kuta (Jaman La Barong), beberapa surfer lokal menjadikan Popies sebagai tempat ngumpul mereka. Kini beberapa diantara surfer lokal era 80-an telah mendirikan usaha sendiri di daerah Kuta, dianataranya pemilik Warung Made, Fat Yogi, TJS dan Mexican.
Piping mengharapkan kepada pemerintah daerah agar memberikan kepada surfing di Bali yang selama ini dirasakanya tida ada sama sekali. "Bagaimana mau memberi perhatian, karena tahu saja tidak. Kalau ada Gubernur Cup untuk kejuaraan surfing, khan sangat bagus untuk menggairahkan dunia surfing di Bali yang tidak bisa dilepaskan dari pariwisata Bali sendiri," harapnya. (***)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun