Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Jokowi Vs Golput

27 Mei 2014   22:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:03 43 0
Sudah empat kali pemilu saya berhak memilih, tapi semua saya lewatkan sebagai golput tanpa ragu. Kali ini, saya berpikir agak lain tentang posisi itu. Gara-garanya adalah Jokowi. Saya mendengarnya pertama kali tahun 2011, saat itu bos saya di perusahaan yang asli Solo begitu membangga-banggakannya. "Jokowi itu lain", katanya.

Mau tak mau saya terusik juga. Lantas saya pun mengumpulkan informasi tentang Jokowi dari tulisan-tulisan yang tersebar di internet, termasuk beberapa videonya di youtube. Semakin dicari, semakin tampak menarik orang ini, terutama terkait dengan 'bersih'nya dia. Meskipun 'bersih' sebenarnya wajar saja dan seharusnya tidak istimewa, tapi di tengah penguasa negeri/daerah yang begitu korup, mau tidak mau kualitas itu membuatnya luar biasa (saya pernah menjadi saksi mata/dengar transaksi korup pejabat daerah, yang sedemikian kotornya sehingga membuat saya pernah bersumpah tidak akan memilih - tapi mungkin itu sumpah yang keliru!). Gara-gara promosi si bos, saya pun menyempatkan diri datang ke Solo tahun itu (2011). Terus terang, saya hanya sedikit setuju dengan bos soal perubahan fisiknya (sekitar tahun 2005 saya ke Solo setiap bulan, jadi bisa membandingkan). Solo memang terasa lebih tertib. Tapi buat saya, perubahan itu tidak terlihat istimewa. Biasa saja dan sudah seharusnya. Selama dua hari berkeliling Solo, saya hanya sampai di sebuah kesimpulan: Secara kasatmata Solo berubah, tapi biasa saja.

Mungkin karena saya berkecimpung di dunia psikologi, saya pun lebih memperhatikan orang-orangnya. Setiap kali makan di warung kakilima, minum es cendol penawar haus dan semacamnya itu, saya sempatkan untuk bicara dengan pemiliknya. Dan simpulan saya mengamini bos, "Jkw itu lain". Belum pernah saya temukan sebuah masyarakat yang seoptimis warga Solo (setidaknya orang-orang yang saya temui itu). Mereka tahu bahwa hidup itu susah, dan tidak berharap akan kaya gara-gara Jkw jadi walikotanya. Akan tetapi mereka punya harapan akan terjadinya perubahan. Saya ingat seorang tukang cendol berkata, yang artinya kira-kira begini: "Saya jadi percaya kalau saya mau berhasil saya harus bekerja lebih keras." Katanya, dulu dia percaya bahwa orang "selamat" hanya milik mereka yang dekat dengan penguasa, punya keluarga atau kenalan orang pemerintahan. Yang tidak punya apa-apa, baik duit atau koneksi, akan selalu dikorbankan. Tapi kini (tahun 2011 itu) dia percaya bahwa dirinya pun bisa 'selamat' dan bisa hidup lebih baik. Dia tak takut lagi menghadap birokrat.

Jadi, Jkw di tahun 2011 telah menebar harapan pada warganya. Mereka, para warga Solo itu, jadi percaya bahwa pemerintah akan melindungi dan membantu mereka. Sebelumnya pemerintah kan seperti polisi yang memperlakukan warganya dengan curiga, antara sebagai yang dilindungi sekaligus sebagai yang dimangsa. Buat saya, itu keberhasilan terbesar Jkw. Dan menurut saya, tidak ada keberhasilan lebih besar dari seorang pemimpin selain menciptakan 'rasa percaya' warganya dan 'harapan optimis' akan masa depan. Keduanya adalah modal sosial terpenting untuk perubahan.

Ketika kemudian Jkw dijadikan calon gubernur DKI, saya agak kaget juga. "Sedemikian hebatkah dia?" tanya saya dalam hati. Tapi tak urung saya tersenyum senang mengingat pengalaman waktu ke Solo yang dipenuhi orang-orang yang optimis. Jadi, saya berharap besar bahwa warga Jakarta kelak juga akan menjadi warga yang optimis. Saya pun tunjukkan kumpulan artikel dan video tentang Jkw pada teman-teman kerja. Lantas, ketika dia dicalonkan jadi presiden, saya takjub. Mungkin, Jkw memang benar-benar hebat. Saya senang membayangkan jika dia jadi presiden, maka masyarakat Indonesia akan jadi masyarakat yang 'saling percaya' baik pada yang lain maupun pada birokrasi, dan 'berpengharapan optimis' akan masa depan, seperti warga Solo yang saya temui tahun 2011 lalu. Jika itu terjadi, Indonesia yang hebat tidak terasa jauh.

Jadi, saya harus mengevaluasi diri, apakah akan tetap golput atau menyumbang satu suara agar Jkw bisa memberi "optimisme" bagi Indonesia? Mungkin, ada baiknya saya mencabut sumpah saya yang lalu untuk golput. Tapi, berarti saya tidak konsisten bersumpah, dong? Rumit memang buat saya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun