Sebagai seorang idealis, Jokowi mencita-citakan suatu Indonesia yang bersih dan dijalankan dengan cara sederhana (sebab bersih hanya bisa dijalankan apabila segala sesuatunya sederhana). Oleh karena itu, Jokowi pun sangat menarik hati orang-orang idealis. Dalam beberapa lingkar pergaulan saya yang terus terang saja sempit, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, semua orang idealis yang saya kenal memilih Jokowi. Baru saja beberapa hari lalu saya bertemu dengan sebuah keluarga idealis (bayangkan di hari-hari ini, mereka menolak bantuan sosial dari pemerintah sejumlah milyaran rupiah untuk lembaga pendidikannya, karena orang politik yang membantunya meminta bagian 'hanya' beberapa ratus juta saja), yang menjadi golput sejak era orde baru, untuk pertama kalinya memutuskan akan memilih tahun ini. Dengan dananya sendiri mereka berkampanye untuk Jokowi, meskipun tentu
saja keluarga tersebut tidak mau ikut dalam tim sukses.
Persoalannya, sebagaimana kebanyakan orang idealis lainnya, Jokowi cenderung menarik diri dari realitas politis. Cita-cita mulianya tentang koalisi ramping dan menafikan tawaran-tawaran dari para pemilik mesin politik tangguh dengan jaringan media yang luas (menolak Golkar dengan Aburizal Bakrie misalnya), membuatnya hanya memiliki sumberdaya terbatas untuk mengerek elektabilitasnya lebih tinggi. Apalagi secara tegas, Jokowi selalu mengisyaratkan akan menghilangkan tradisi bagi-bagi kekuasaan, yang pada gilirannya akan menghilangkan pula bagi-bagi proyek (bagi-bagi proyek bisa dilakukan karena memiliki kekuasaan). Padahal, politik sejatinya memang untuk mencari kekuasaan dan pengamanan sumber daya ekonomi. Di sinilah Jokowi tidak taktis. Entah terlalu percaya diri atau terlalu idealis, alih-alih mencoba agar pihak lawan tidak mengembangkan kekuatan, Jokowi justru menyolidkan kubu lawan. Mereka yang tertolak dalam gerbong Jokowi, sekaligus merasa terancam dengan kehadirannya, lantas bersatu erat, menyolidkan diri dan melawan balik dengan sangat keras (dan tampaknya dengan segala cara). Sebab, kemenangan Jokowi bukan lagi sekedar kekalahan biasa. Kemenangan Jokowi bisa juga berarti hilangnya kesempatan kekuasaan dan ujung-ujungnya meredupnya peluang ekonomi. Ibarat kata, mereka bertaruh segalanya pada Prabowo. Semua sumber daya pun dikerahkan untuk memenangkan Prabowo.
Hasil ketidaktaktisan Jokowi adalah kesulitannya dalam mengerek elektabilitas. Seperti diketahui bersama, elektabilitas terkerek melalui dua hal, yakni (1) kemunculan positif di media massa, dan (2) gerak aktif menuai suara dari pintu ke pintu. Untuk keduanya, Jokowi kalah jauh belakangan ini. Di media massa, Jokowi hanya unggul di Sosial Media. Jika merunut pendapat banyak orang bahwa sosial media sangat penting dalam pemenangan pemilu, maka seharusnya keunggulan itu berarti besar. Akan tetapi, saya meragukan pendapat itu. Media Sosial hanya diakses oleh kaum muda terdidik dan di perkotaan. Sebagian besar orang. Indonesia tidak mengaksesnya. Oleh karena itu, meskipun Jokowi memang menang telak di media sosial, elektabilitasnya tidak lantas akan semakin meningkat.
Media sesungguhnya yang membentuk opini masyarakat adalah televisi nasional dan media cetak. Di sini, Prabowo-Hatta unggul sangat jauh. Selama dua hari, saya benar-benar hanya menonton TV untuk memperhatikan bagaimana TV nasional memberitakan berbagai berita. Saya harus bilang, Jokowi praktis hanya diberitakan secara positif oleh Metro TV. Televisi lainnya terus menerus mendiskreditkannya. Padahal, Metro TV telah sejak lama diketahui memiliki segmen penonton yang terbatas, yakni kaum terdidik dan menengah atas. Sedangkan TV-TV lainnya yang memiliki segmen penonton jauh lebih besar dan luas, mutlak pro-prabowo. Hal tersebut tidak mengherankan karena pemilik dua grup media terbesar di Indonesia ada di belakang mereka. Lalu semalam, dalam sebuah acara bincang-bincang di TV-Asian News Channel, moderator mengutip sebuah riset yang menyebutkan bahwa 47% pemberitaan di media televisi di Indonesia pro-prabowo, dan hanya 3% yang pro-Jokowi (saya tidak tahu sumbernya darimana). Itu artinya, Prabowo unggul nyaris 16:1. Tak heran jika elektabilitas Prabowo terus menguat dari waktu ke waktu, sementara di sisi lain elektabilitas Jokowi mandeg.
Para panelis bincang-bincang di televisi (yang saya ragukan netralitasnya), menyatakan berulang-ulang bahwa mandegnya elektabilitas Jokowi disebabkan Jokowi sudah terlalu sering masuk media dan tidak menawarkan hal baru. Jadi, masyarakat jenuh dengan Jokowi. Di sisi lain, Prabowo belum terekspos sepenuhnya oleh media, sehingga masih segar. Tapi tentu saja itu analisa omong kosong (hanya bahasa politik). Persoalannya bukan jenuh dengan Jokowi, tapi media televisi yang telah "dengan sengaja" memblok pemberitaan positif tentang Jokowi. Para panelis bincang-bincang di TV-One misalnya, tampaknya telah dipilih hati-hati agar selalu menghadirkan orang-orang yang pro Prabowo. Setelah acara debat Capres Pertama, TV-One menghadirkan tiga orang untuk mengulas acara debat, yang semuanya menyanjung Prabowo dan mendiskreditkan Jokowi. Jadi, segera setelah debat, masyarakat telah diarahkan untuk memilih Prabowo. Meskipun Jokowi dinilai unggul secara objektif dalam debat tersebut, tapi sesungguhnya, pemenang dalam kenaikan elektabilitas adalah Prabowo. Debat kedua pun serupa, dan debat-debat selanjutnya saya yakin akan sama. Dengan kata lain, isi debat itu bukan hal yang penting. Yang utama adalah bincang-bincang sebelum dan setelah debat yang didesain rapi untuk mengunggulkan capres tertentu.
Pemain kunci sesungguhnya dalam pertarungan politik kali ini adalah Aburizal Bakrie dan Hary Tanoe, lewat Viva Group (TV-One, ANTV, Okezone, dan lainnya) dan MNC Group (RCTI, Global TV, MNC TV, dan lainnya). Apalagi, ajang Piala Dunia dimiliki pula oleh mereka. Jadi, sangat wajar jika Prabowo menang kelak maka Aburizal menjadi "menteri utama". Hary Tanoe-pun seharusnya menjadi "menteri utama" juga. Kontribusi mereka bukan main-main. Di sisi lain, karena hanya memiliki Metro-TV yang segmen pemirsanya terbatas untuk memberitakan dirinya, Jokowi praktis tidak memiliki peluang untuk meningkatkan elektabilitasnya melalui televisi.
Pelajaran terpenting dari beberapa hari hari penuh memelototi televisi adalah "Pers Indonesia -khususnya televisi- sungguh telah menistakan dirinya sendiri." Pada Pemilu kali ini, media hanya menjadi corong politik pemiliknya. Asas pemberitaan berimbang tak ada lagi. Metro TV hanya tentang Jokowi, sedangkan TV-One serta sebagian besar yang lainnya hanya tentang Prabowo. Sebagai catatan khusus, TV-One terlihat sangat ekstrem memberitakan hal positif tentang Prabowo dan menegatifkan Jokowi. Jika saya bayangkan TV-One itu sesosok orang, maka satu-satunya yang saya pikirkan tentang TV-One adalah orang yang sangat membenci Jokowi. Di sisi lain, Metro-TV tak kalah masif memberitakan Jokowi, namun masih sedikit terlihat adanya upaya menampilkan asas berimbang. Saya jadi tak paham apa yang sebenarnya dilakukan oleh Dewan Pers. Jadi, gerakan matikan TV-mu sangat relevan.
Jokowi pun kalah telak di darat. Selama beberapa hari, saya rutin dan membeli beberapa media cetak koran yang beredar di Samarinda (saya tinggal di Kaltim). Di sana di setiap media, di halaman muka, selalu terpampang iklan besar Prabowo-Hatta. Iklan Jokowi-JK praktis tidak ada. Hal yang sama dengan iklan luar ruang. Di mana-mana di setiap jalan utama, terpampang baliho raksasa Prabowo, yang sebagian telah terpasang jauh sebelum pemilu. Ketika ada acara Tanwir Muhamadiyah di kota tepian sungai Mahakam ini, baliho besar Prabowo juga ada, terpajang di baliho raksasa dengan ketua PP Muhamadiyah Din Syamsudin, yang menjadi isyarat jelas bahwa Muhamadiyah mendukung Prabowo. Di sisi lain, Jokowi hanya terpampang di spanduk-spanduk kecil yang terpasang sporadis di beberapa tempat.
Bagaimana dengan kunjungan dari rumah ke rumah? Dengan dukungan besar dari mesin politiknya yang terdiri dari Gerindra, PKS, PBB, Gerindra, Golkar, PPP, dan belakangan Demokrat, dan dengan 'terancamnya' kepentingan mereka, maka sangat wajar jika mereka jadi lebih militan bekerja. Dalam suatu wawancara Metro-TV terhadap dua kelompok relawan, relawan Prabowo jelas-jelas menyatakan akan kampanye dari pintu ke pintu, sedangkan relawan Jokowi mengatakan tidak akan melakukannya. Hal itu mengindikasikan bahwa relawan Jokowi tidak terlalu hirau pendekatan personal, yang entah karena kepercayaan diri yang terlalu tinggi atau kurangnya kesolidan relawan, atau mesin politik yang tidak berjalan. Kenyataannya, banyak relawan Jokowi yang mendanai dirinya sendiri dan bekerja sendiri untuk mengampanyekan Jokowi. Beberapa orang yang saya tahu, bersedia berkorban banyak demi Jokowi jadi presiden tanpa mau ikut terlibat dalam tim sukses Jokowi. Mungkin saja (hanya dugaan), belakangan orang-orang partai pendukung Jokowi mungkin menyadari kalau Jokowi jadi presiden maka periuk mereka di masa depan bisa menyusut juga, dan dengan demikian setengah hati mendukungnya. Jadi, lagi-lagi, Jokowi kalah dalam kunjungan ke rumah-rumah. Para pendukung Prabowo bekerja lebih keras untuk memenangkannya dengan berkunjung dari rumah ke rumah menjemput suara (pertanyaannya: apakah karena mereka didanai lebih baik?).
Jadi, apakah Jokowi akan kalah dalam Pemilu?
Dengan kondisi saat ini, Jokowi bisa saja kalah. Bermain bersih dalam politik masih belum menghasilkan suara. Simpati iya, tapi suara boleh jadi lain cerita.
Jika Prabowo menang, mungkin itu sudah selayaknya untuk dia. Satu-satunya tujuan Gerindra berdiri adalah menjadikan dirinya menjadi presiden. Selama bertahun-tahun, dengan tekun, Prabowo berjuang untuk ambisi itu. Dana yang (pastinya) sangat luar biasa besar dikeluarkan untuk membangun Gerindra dan untuk membangun citra diri (Para motivator akan menemukan contoh baru tentang bagaimana fokus mengejar cita-cita, bagaimana ambisi akhirnya akan berhasil juga). Sangat jelas terlihat bahwa menjadi presiden adalah tujuannya semata-mata. Dan biasanya, orang yang sangat berambisi menduduki suatu posisi pada akhirnya bekerja tidak efektif dan atau bahkan gagal dalam pekerjaannya. Itu kenapa dalam dunia Human Resources terdapat kredo "jangan pernah promosikan orang yang paling berambisi." Buat saya, koar-koar Prabowo bahwa cita-citanya semata-mata adalah membangun Indonesia yang maju adalah omong kosong. Itu seperti ketika seseorang dalam wawancara kerja ditanya, "apa motivasimu melamar kerja di sini?" Orang yang ambisius akan piawai menjawab, "untuk mengabdikan diri demi kemajuan perusahaan." Bagi orang yang tidak familiar dengan dunia HR mungkin akan terkesima dengan jawaban itu. Tapi sebagai orang yang pernah berkecimpung dalam dunia HR, mendengar jawaban seperti itu saya hanya bisa tertawa. Biasanya, orang yang begitu saya coret, sebab merupakan pertanda sifat manipulatif. Jawaban jujur, seperti butuh kerja, cari duit, atau cari kerjaan lebih baik, jauh lebih diterima.
Jika Jokowi menang, maka itu kesuksesan sangat besar bagi Jokowi dan bagi para relawannya yang idealis. Dalam perang pemilu kali ini, Jokowi seperti hanya bersenjatakan satu buah tank untuk menghadapi 16 tank prabowo. Jika pasukan Jokowi tidak cukup cerdik bersiasat dan tidak cukup militan bekerja, Jokowi akan kalah juga pada akhirnya.
Pemilu kali ini adalah perang antara orang-orang idealis yang diwakili Jokowi versus orang-orang pragmatis yang diwakili Prabowo, bak Partai Demokrat melawan Partai Republik di USA. Saya akan menunggu 9 Juli dengan berdebar, siapa yang akan memenangkannya. Tren saat ini menunjukkan, Prabowo bisa saja memenangkan pemilu jika kubu Jokowi tidak bekerja sangat keras.
Ingat, peralatan perang Jokowi sangat timpang dibandingkan yang dimiliki Prabowo, baik dari sisi dana maupun media. Jika Anda pro-Jokowi dan tidak secara aktif mendukungnya, maka jangan sesalkan jika Jokowi tidak akan menjadi presiden Anda.