Hari semakin gelap. Sejak dua jam yang lalu hingga pukul enam sore ini buku paket matematika kelas dua belas dari sekolah dan catatan dari kelas masih tergeletak di sekitar saya. Membacanya kembali lalu menjawab soal latihan di selembar kertas yang lain untuk persiapan ujian nasional minggu depan. Ini sudah rutinitas sejak empat bulan yang lalu. Ini menjadi penting karena ini akan menentukan masa depan saya. Hasil tiga tahun di es-em-a akan ditentukan dari hasil ujian nasional tiga hari di hari ujian. Berat memang. Tapi ini sudah menjadi aturan yang mengikat setiap murid seperti saya.
Suara lantunan alquran dari corong masjid sudah terdengar. Masih dengan ayat-ayat seperti kemarin; surat Attaubah. Mendengar lantunan ngaji, Bapak pun terlihat sibuk memasukkan ayam Bangkoknya ke karung. Itu rutinitas Bapak sebagai pemelihara ayam aduan di PeresakBarat, Kelayu Selatan. Tak lupa kandang si ayam berbentuk kubus terbuat dari potongan ampel dimasukkan. Kandang dan karung-karung berisi ayam pun berjajar sudah di dekat meja ruang makan. Semua sudah rapi. Dan ayat-ayat alquran dari masjid Al Umary dekat rumah semakin terdengar merdu. Sebentar lagi azan magrib diteriakkan dari corong yang sama di masjid itu.
“Adit. Ayo makan! Lepas dulu bukunya.” Makan malam sudah siap. Makan malam memang selalu sabelum magrib di sini; biar urusan belajar dan mengaji tidak terganggu oleh perut. Bapak pun segera melahap hidangan sekedarnya sore itu. Urap-urap dan ikan goreng sisa tadi siang hampir saja habis olehnya.
Cleg…. Lampu tiba-tiba tak lagi mengeluarkan cahayanya.
“Loq supi!” teriak Inaq Eli, tetangga sebelah. Saya tak tahu, kenapa setiap mati lampu-- sebenarnya bukan lampunya yang mati. Tapi arus listriknya putus dari pe-el-en -- bupati jadi incaran kemarahan masyarakat sekitar. Selalu begini di Lombok Timur. Siapapun bupatinya, Lombok Timur selalu krisis listrik, bahkan sebelum negara ini terkena krisisis listrik.
Sudah tak terhitung berapa kali begini pekan ini. Malam selalu gelap tanpa lampu. Tadi siang pun tak mudah mendapat air karena pompa air tidak dapat menyala tanpa listrik. Bisa dipastikan, sore ini hingga larut malam ipar saya tak bisa menulis di netbuknya. Padahal sebagai bloger dan guru esde jauh di perbatasan Sembalun, menulis sudah menjadi detak nadi harian yang tak bisa dihentikannya. Kakak perempuan, istri dari ipar, saya pun tak bisa membuat perangkat belajar hanya bermodal temaram pelita. Tapi saya punya templok. Cukup untuk belajar hingga jam sembilan.
“Mbe dile templokku, Inaq?” teriak saya pada ibu.
Di sini orang menyebutnya dile ceroncong atau lampu badai kata tetangga saya. Empat puluh lima ribu harganya, warnanya perak. Cahaya templok tak mudah tertiup angin malam karena sumbunya dikelilingi kaca bening yang tipis dan melingkar pula sepasang kawat di bagian luarnya. Jadi templok terlihat kokoh.
“Mbe ia ji’i,” ibu malah bertanya dari pertanyaan saya tadi. Ibu mengerut kening tak tahu di mana templok saya berada. “Kemarin setelah dipakai ibu letakkan di plangkan.”
Plangkan memang tempat Bapak menaruh semua dila ceroncong buatannya. Setiap hari bapak membuat tiga seperti templok. Dan hari ini, sejak pulang sekolah tadi siang, tak satupun terlihat dila ceroncong buatannya. Mungkin laku terjual. Tapi ini pasti ada hubungannya dengan sesuatu yang baru di rumah ini : kandang ayam berukuran sangat besar. Kira-kira dua meter kali sepuluh meter. Dua ribu anak ayam pasti bisa masuk kandang baru beratap daun kelapa kering itu.
Allahu akbar…. Allahu akbar….
Azan berkumandang gagah, menyeru untuk segera sholat. Tapi kami baru saja akan mulai makan bersama di dapur. Duduk bersila, saing berhadapan, melingkari seperiuk nasi, urap-urap, dan ikan goreng dan hanya diterangi dila ketombok. Karena templok tak kunjung ditemukan atau tak mau ditemukan. Entah.
“Kapan Bapak buat kandang ayam itu, Pak?” tanya saya sambil mengambil sepotong ikan goreng yang sudah dingin.
“Tadi jam delapan.”
“Semua dila cerongcong laku ya Pak di pasar?”
“Laku dan Bapak tak akan membuat dila cerongcong lagi.”
“Kenapa ,Pak? Kok aneh. Kan usaha membuat dila ceroncong menguntung. Ini daerah sering mati lampu.”
Jawaban Bapak memang sangat mengejutkan. Dan sekaligus aneh. Semua berubah drastis sejak tadi siang. Tiga dari dila ceroncong yang Bapak buat biasanya cuma laku dua di setiap harinya dan sisanya disimpan untuk Ahad besok, karena akan dijual di Pasar Tanjung. Tapi tak sebuah pun dila ceroncong tak terlihat hingga menjelang malam ini, templokku juga raib entah ke mana. Ibu hanya diam, menikmati urap-urap buatnya sendiri.
“Ada apa, Pak?” tanya saya penasaran sambil mencuci tangan di pancuran gentong penampung air dekat sumur selepas makan malam.
“Sudahlah.Itu tak penting. Yang penting besok kita bisa makan lebih enak. Tapi lagi pakai urap-urap dan ikan saja. Besok akan datang dua ribu bibit ayam pejantan. Itu kita pelihara setiap hari. Dan dari hasil pejualan ayam itu kita bisa dapat uang. Bapak berhenti membuat dila ceroncong dan sudah tidak jaman pakai dila seperti itu.”
“Bagaimana Bapak bisa bilang begitu. Masih banyak orang pakai dila buatan bapak. Setiap pertemuan malam hari di balai desa, semua orang lebih senang dengan dila ceroncong ketimbang lampu casan di toko-toko seperti sekarang.”
“Sudahlah. Kamu belum mengerti urusan seperti itu. Kamu cukup belajar apa adanya saja.”
“Bagaimana saya bisa belajar kalau cuma pakai dila ketombok sepertiini, Pak! Masih terlalu gelap. Bapak sendiri juga dulu bilang, kalau Bapak ingin menjadi bagian dari perubahan Lombok Timur. Makanya Bapak mau meneruskan usaha almarhum Kakek membuat dila ceroncong. Biar Lombok Timur lebih terang di malam hari walau tanpa listrik, kata bapak. Semangat itu menguap ke mana, Pak? Kandang ayam yang besar itu dari siapa?” ceracau saya semakin tak terkendali melihat gelagat Bapak yang tidak konsisten dan sepertinya ada yang ia sembunyikan.
Saya memang sedikit kesal atas sikap Bapak. Sepertinya lari dari semua cita-cita dan semangatnya yang dulu. Semangat yang ditularkan kakek almarhum, Bapak dari Bapak saya sebelas tahun yang lalu. Saya ingat bagaimana Kakek mengajarkan Bapak membuat dila ceroncong itu. Bermodal besi bekas yang dibeli kiloan dan kaca penutup dibeli di toko bangunan langganannya di Pancor. Jadilah templok-templok dila ceroncong penerang kabupaten paling timur di Pulau Lombok, kabupaten yang selalu gelap tanpa listrik hampir tiap malam.
“Tadi pagi ada datang seseorang seperti pegawai, berseragam dengan membawa surat tawaran.” Bapak mulai bercerita, kalau ada orang yang tak dikenal membawa tiga dila ceroncong buatannya dan templok tak luput diangkutnya, dimasukkan ke dalam mobil bak terbuka. Saat Bapak mulai bercerita Ibu malah pergi meninggalkan kami. Membersihkan semua piring bekas makan malam. Ibu terlihat masuk kamar dan tak keluar setelah itu. Hanya terdengar sesenggukan dari kamar gelapnya tanpa dila ketombok.
“Surat itu berisi tawaran untuk mengganti pekerjaan yang selama ini bapak kerjakan ; berhenti membuat dila ceroncong dan mulai beternak ayam pejantan. Kalau Bapak tidak menerima tawaran itu, Bapak akan dianggap sebagai penentang pemerintah daerah ini. Dianggap berusaha meneror, mengudeta pemerintah yang sah. Begitu mereka menjelaskan ke Bapak.”
“Itu sebabnya ada kandang besar itu?”
“Ya.”
“Apa yang salah dari pekerjaan Bapak?”
“Dila ceroncong yang bapak buat ternyata banyak dibeli oleh orang-orang yang tak suka dengan Bupati. Dila itu digunakan untuk pertemuan untuk selalu meneror pemerintah yang sah. Di dila yang bapak buat ditulis oleh mereka ‘ganti atau mati lampu selamanya’.”
“Berarti akan terus begini listrik di sini?”
“Ya, setidaknya sampai Bupati baru yang lebih visioner memimpin Lombok Timur.”
Malam mulai member dingin. Dila ketombok tak memberi kehangatan dan hanya sedikit cahaya buat rumah kami ini. Biarlah semua berlalu. Saya pun tak mampu berbuat apa-apa ketika penguasa punya mau, mau yang tak seperti mau saya. Tak ada lagi templok yang selalu terlihat denok di kampung ini.