Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Artikel Utama

Apalah Arti Sebuah Papers: Sepakbola, Desa dan Pajak

11 April 2016   11:50 Diperbarui: 12 April 2016   00:13 27 5

Apalah arti sebuah nama? Andaipun kita memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi. Demikian tulis William Shakespeare, seorang penulis Inggris yang kerap dianggap sebagai salah satu sastrawan terbesar Inggris. Selama lebih 28 tahun ia habiskan waktunya untuk menulis. Tercatat sekitar 38 naskah sandiwara tragedi, komedi, sejarah, 154 sonata, 2 puisi naratif, dan puisi-puisi yang lain telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dipentaskan di panggung lebih daripada semua penulis sandiwara yang lain.

Tapi tulisan ini bukan untuk membahas tokoh yang dikenal dengan cerita Romeo and Juliet-nya ini. Melainkan untuk merespon isu yang kini tengah hangat jadi perbincangan publik dunia termasuk di negeri yang kita cintai ini, Republik Indonesia terkait Panama Papers. Sebagian orang sudah mafhum ketika disebut Panama Papers, berarti merujuk pada sebuah dokumen yang memuat data klien Mossack Fonseca, firma Hukum asal Panama, yang menghebohkan dunia karena data tersebut mengindikasikan bahwa klien dari firma itu telah mendirikan perusahaan di yuridiksi bebas pajak di luar negeri (offshore) untuk melakukan penipuan, perdagangan narkoba, penggelapan pajak dan pencucian uang.

Lalu apa hubungannya dengan sub judul yang saya sematkan kemudian? Sebagaimana jelas tertulis bahwa sub judul yang penulis buat terdiri atas tiga perkara: Sepakbola, Desa dan Pajak. Memang hanya perkara pajak yang berkaitan langsung dengan Panama Papers. Tapi apa hubungannya dengan sepakbola dan desa? Nah, tulisan ini mencoba menyambungkan ketiganya. Dan saya ingin memulainya dengan mengajak pembaca mengingat kejadian setahun yang lalu manakala pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) secara resmi membekukan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

Sontak saja, ketika Imam Nahrawi selaku Menpora mengeluarkan surat terkait pembekuan PSSI, menjadi bulan-bulanan tidak hanya di media sosial, melainkan juga di dunia nyata. Bahkan bisa dikatakan hampir setiap hari ada sekelompok orang berdemo di kantor Kemenpora yang memprotes kebijakan tersebut dan menuntut sang menteri untuk mundur dari jabatannya. Namun, menteri yang juga santri ini tak bergeming dibuatnya. Satu hal yang luput dari perhatian publik adalah dalih yang melatari mengapa Imam Nahrawi sampai berani mengeluarkan keputusan yang pada saat itu dianggap kontroversial.

Dan tahukah bahwa salah satu dalih mengapa PSSI dibekukan adalah karena persoalan pajak? Mari saya ajak kembali untuk menelusurinya mulai dari keterangan yang dirilis oleh Asisten Deputi Pendidikan Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) H Sukarno yang mengatakan bahwa PSSI dibekukan pemerintah melalui Menpora karena organisasi persepakbolaan nasional tersebut tidak mematuhi peraturan olahraga nasional.

"Menpora membekukan kegiataan PSSI, setelah tiga kali memberikan surat teguran kepada pengelola PSSI yang dinilai telah melanggar peraturan olah raga," ungkap Sukarno di Kendari, Senin (29/6/2015).

Menurut Sukarno, dalam surat teguran yang disampaikan kepada pengelola PSSI, Menpora meminta agar PSSI segera melengkapi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Di samping itu, Menpora juga memerintahkan pengelola PSSI untuk melengkapi organisasi tersebut dengan legalitas berupa akta notaris pendirian organisasi. Bahkan, menurutnya pelanggaran PSSI berupa ketiadaan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi serta kepemilikkan akta notaris, hanya sebagian pelanggaran dari pengelola PSSI yang tidak diketahui oleh publik.

Sementara dalih selain pelanggaran sebagaimana disebutkan di atas, adalah karena PSSI yang mengelola ISL juga tidak pernah membayar pajak pendapatan kepada negara. Padahal, nyata-nyata dalam mengelola Indonesia Super League (ISL), PSSI memperoleh pendapatan karena pengelolaannya menerapkan manajemen bisnis. "Sebagai pengelola manajemen bisnis yang menerima dukungan dana dari sponsor, PSSI seharusnya membayar pajak pendapatan kepada negara," papar Sukarno. Dan seperti yang dijelaskan bahwa pelanggaran ini seolah luput dari perhatian publik.

Masih terngiang dalam ingatan kita sebulan paska PSSI dibekukan, praha yang lebih besar melanda jagat sepakbola menyusul penangkapan disertai penahanan sejumlah pejabat terkemuka Badan Sepak Bola Dunia (FIFA) di Hotel Baur au Lac, Zurich, Swiss, Rabu (27/5/2015). Merujuk Reuters, setidaknya tujuh pejabat tinggi FIFA ditangkap kepolisian Swiss terkait skandal suap, korupsi, pemerasan, pencucian uang, dan penyalahgunaan wewenang, termasuk pengaturan bidding tuan rumah Piala Dunia, sampai pelanggaran pemasaran dan hak siar pertandingan selama kurun waktu 20 tahun terakhir.

Selama ini FIFA dikenal sebagai the untouchbale organization, pihak mana pun tak bisa bahkan untuk sekadar menyentuhnya. Para anggotanya pun begitu patuh sekaligus takut pada mereka. Tentu saja penangkapan sejumlah pejabat tinggi FIFA memicu reaksi dari Tanah Air. Menpora Imam Nahrawi, meminta publik tak lagi mengkhawatirkan sanksi FIFA terkait kisruh persepakbolaan di Indonesia. Imam menegaskan apa yang melanda FIFA membuktikan ada masalah besar pada induk sepak bola dunia itu.

”Publik dikejutkan dengan adanya penangkapan elite FIFA oleh pihak keamanan di Zurich. Itu artinya ada masalah yang amat besar dan sangat serius. Oleh karenanya masyakarat Indonesia tidak boleh takut, tidak boleh gentar,” ungkap Imam. Ia juga menyinggung soal sanksi FIFA yang selama ini selalu ditakuti oleh banyak pihak. 

Secara gentle, Imam menyebut siap bertanggung jawab jika sanksi itu benar-benar dijatuhi kepada Indonesia. “Kalau ada yang menakut-nakuti sanksi FIFA, Indonesia disanksi, Imam Nahrawi bertanggung jawab apa pun keputusan FIFA. Kita ingin sepak bola Indonesia berprestasi, membanggakan. Jangan sampai pemain dan pelatih berlatih sedemikian rupa, tapi ada kondisi di mana ada orang lain terlibat, mafia-mafia sepak bola,” paparnya tegas.

Paska terkuaknya skandal yang melibatkan ring satu FIFA di atas, sebagian publik yang sebelumnya mengecam Imam Nahrawi perlahan surut. Skenario untuk mengerahkan massa dalam demo besar-besaran urung terjadi. Pun demikian dengan sejumlah klub bola yang awalnya lantang  dan kompak menolak intervensi pemerintah sudah tak lagi terdengar. Hanya PSSI dan para pendukungnya yang masih ngeyel melakukan perlawanan terhadap negara. Namun seiring dengan penetapan La Nyala yang juga Ketum PSSI sebagai tersangka oleh Kejati Jawa Timur membungkam suara-suara protes. Terlebih nama yang disebut terakhir dikabarkan pergi ke Malaysia lalu pindah ke Singapura dan hingga kini dinyatakan sebagai buronan.

AADD (Ada Apa Dengan Desa)

Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah, apa hubungannya Panama Papers dengan Desa? Meski tak secara langsung ada kaitannya dengan pajak-memajak, tema Desa juga marak jadi perbincangan jagat maya. Bahkan belakangan antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PDI-Perjuangan, dua partai koalisi yang sejak awal berdarah-darah memenangkan Jokowi-JK, sempat berselisih paham terkait Desa terutama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa dan PDDT) yang menterinya dijabat oleh kader berlambang bola dunia dan bintang sembilan, Marwan Jafar.

Syukurnya, ketika tulisan ini dibuat muncul pernyataan yang menyejukan situasi ketika Cak Imin, panggilan akrab Ketua Umum DPP PKB, ditanya pewarta mengenai perselisihan partai yang dipimpinnya dengan PDI-Perjuangan. "Sudah damai sama PDIP," kata Cak Imin singkat usai menghadiri Deklarasi 'Nusantara Mengaji' di Masjid Darul Quran Asrama PTIQ, Jalan Batan No 63, Jakarta Selatan, Minggu (10/4/2016).

Meski sudah tak ada lagi perselisihan di antara kedua partai tersebut, tampaknya belum membuat para Eks. PNPM berhenti melakukan tuntutan untuk diperlakukan istimewa dalam proses rekrutmen Pendamping Desa. Bisa jadi karena para Eks. PNPM ini mengira bahwa situasinya akan lebih menguntungkan mereka terlebih upaya politik adu domba antara PKB dan PDI-P pada awalnya dianggap berhasil. Sehingga sebelumnya mereka sudah membuat skenario akan mengadakan demo-demoan besar pada Senin tanggal 11/6/2016.

Belakangan muncul pemberitaan yang menginformasikan bahwa rencana demo yang akan dilakukan pendamping Eks PNPM di Jakarta pada Senin (11/4), menuai kecaman dari berbagai kalangan. Dikatakan demikian, karena Eks PNPM melakukan mobilisasi massa dengan cara melakukan intimidasi bahkan juga melakukan pemalakan (baca: pajak tidak resmi) untuk pembiayaan transportasi dari daerah ke Jakarta.

Informasi ini bersumber dari Samsul Hadi, Tenaga Ahli Pendamping Desa di Kabupaten Banyumas yang menuturkan kesaksiannya terhadap kesewenang-wenangan anggota Eks PNPM dengan melakukan intimidasi terhadap para pendamping desa yang baru. “Awalnya dari Rakor antar Pendamping Desa (PD) se Kabupaten Banyumas, dalam rakor tersebut Eks PNPM diminta untuk ikut aksi di Jakarta dan melakukan iuran,” ujar Samsul saat dihubungi wartawan Jumat, (8/4). 

Menurut Samsul, anggota PD yang tidak berasal dari Eks PNPM merasa tertekan dengan intimidasi yang dilakukan pendamping eks PNPM. “Karena yang bukan dari eks PNPM semuanya adalah anak baru, mereka merasa terintimidasi, karena Eks PNPM juga mengancam kalau tidak ikut demo akan dicopot dari posisinya sebagai PD,” ujarnya.

Namun demikian, imbuh Samsul, PD yang bukan berasal dari eks PNPM sudah bersepakat untuk tidak ikut demo dan memilih bekerja sesuai aturan yang telah ditetapkan. “Walaupun sudah ada yang terlanjur ikut iuran sebesar 160.000, pendamping desa yang baru tidak akan ada yang ikut demo di Jakarta,” ujarnya. Samsul menjelaskan, demo yang akan dilakukan Eks PNPM di Jakarta tidak murni kegelisahan yang terjadi di tingkat bawah. Samsul menilai demo yang akan diselenggarakan di Jakarta sudah ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu. (Lihat: Rencana Demo, Eks PNPM Dituding Palak dan Intimidasi PD)

Nah,saya menduga skenario Eks. PNPM yang di belakangnya disponsori dan diotaki beberapa politisi yang mengincar kursi Kemendesa dan PDTT ini, kalau jadi dilakukan akan melakukan demo-demoan besar. Ibarat pepatah mengatakan nasi sudah menjadi bubur. Karena sudah kadung digembar gemborkan ke media, dan terlebih sudah melakukan pungutan untuk pajak transportasi secara ilegal kepada para Pendamping Desa. 

Akan menjadi repot bila rencana demo-demoan besar urung terlaksana, karena selain malu, biasanya sebagai panitia penyelenggara demo akan dibebankan untuk membayar cashback kepada mereka yang sudah membayar pajak demo. Mengutip pernyataan Sekjend PDI-P, Hasto Kristiyanto, bahwa yang mengadu domba PDI-P dan PKB akan gigit jari.

Panama Papers

Nah,untuk sub judul yang terakhir ini daya hebohnya lebih dahysat karena kejadiannya tidak hanya di Indonesia melainkan juga banyak negara.Panama Papers sendiri berisi data pengusaha yang ingkar pajak kepada negara. Beberapa pekan sebelum isu Panama Papers muncul ke publik Indonesia, Bambang Brojonegoro, Menteri Keuangan mengeluarkan statement bahwa ada dana lebih Rp. 14.400 triliun milik WNI di luar negeri dan ada lebih 2.000 perusahaan tak bayar pajak selama 10 tahun terakhir.

Sebagaimana diketahui juga bahwa pada tahun 2015, pemerintah mengajukan RUU Tax Amnesty alias RUU Pengampunan Pajak. Namun gayung tak bersambut, DPR RI mengulur waktu hingga akhirnya RUU tersebut baru akan disidangkan apada tahun 2016 ini. Momentum bocornya Panama Papers sejatinya menjadi jalan untuk memuluskan agar RUU Tax Amnesty segera dibahas untuk  kemudian disahkan menjadi Undang-undang. Jika sebelumnya DPR RI terkesan menolak terkait RUU tersebut dengan beragam alasan dan motif, maka tampaknya sekarang tak lagi bisa melawan arus dan ngeyel terlebih Panama Papers merupakan kasus berskala global.

Menarik untuk dicermati manakala Menkeu maupun Presiden Jokowi mengatakan bahwa data yang dimiliki pemerintah berbeda dan lebih lengkap ketimbang data yang termaktub dalam Panama Papers. Hal ini tampak jelas dari pernyataan keduanya.

“Data yang kami terima ini berbeda dari Panama Papers. Kami terima resmi dari otoritas negara lain. Nanti akan kami bandingkan dengan Panama Papers. Kalau konsisten berarti cocok, dan itu akan menambah potensi penggalian kita,” kata Menkeu Bambang Brojonegoro.

Bahkan secara tegas dan berani Presiden Jokowi menyatakan bahwa, “Kondisi keterbukaan yang kita tidak bisa tolak. Sebentar lagi ada keterbukaan di bidang perbankan internasional 2017-2018. Simpanan siapapun sudah dibuka total, meski keduluan oleh Panama Papers. Tapi sebelum Panama Papers pun saya sudah punya satu bundle nama-nama,” ujarnya. Lebih jauh Jokowi mengatakana bahwa, “Bapak simpandi Swis saya tahu, Bapak simpan di Singapura saya tahu, Bapak simpan di TPPI saya tahu. Begitu sangat terbukanya dunia ini. Tapi nanti 2017-2018 dibuka total. Inilah keterbukaan mau tidak mau, siap tidak siap harusa kita hadapi”.

Tentu saja apa yang dinyatakan Jokowi di atas buat kita-kita yang namanya tidak tercantum dalam Panama Papers ga ada yang perlu dirisaukan. Lain halnya dengan mereka yang namanya tercantum sangat jelas, tentu akan membuat andilau, alias antara dilema dan galau. Dilema dan galau antara tetap tidak membayar pajak atau namanya akan dikenang sebagai pengemplang pajak. 

Tapi seandainya kalaupun dan seumpama yang tercantum dalam Panama Papers itu adalah nama saya, maka saya akan mendorong agar RUU Tax Amnesty ini segera dijadikan Undang-undang. Karena selain dapat membantu target pemerintah dalam penerimaan pajak, juga biar tidak memberatkan masyarakat yang baru merintis usaha kecil-kecilan tapi diharuskan membayar pajak. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun