Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Badai Kapolri Pasti Berlalu di DPR

19 Februari 2015   18:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:53 64 0
-Ata Menaka-

KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo tidak melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, untuk sementara menenangkan gejolak di publik terutama di kalangan aktivis antikorupsi, tetapi bisa menuai badai di parlemen dan juga partai pendukung terutama PDIP.

Apa pun juga, Komjen Budi Gunawan (BG) telah melalui proses politik dan konstitusional di DPR. Perwira tinggi polisi bintang tiga itu telah melalui uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR dan dinyatakan lolos, kemudian dibawa ke rapat paripurna dan diterima oleh 9 fraksi selain Fraksi Partai Demokrat.

Sebelumnya menjadi kendala adalah BG berstatus tersangka oleh KPK. Namun status tersangka itu kemudian dibatalkan hakim tunggal praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi. Artinya, Komjen BG tidak punya beban lagi sebagai tersangka kasus rekening gendut seperti yang dituduhkan KPK. Bagi BG kehormatan tertinggi pribadi dan keluarga adalah terbebas dari status tersangka, bukan sebagai Kapolri. Karena itu BG menerima secara apapun keputusan Presiden termasuk tidak melantiknya menjadi Kapolri.

Setelah Presiden mengumumkan batal melantik BG dan malah mengajukan calon baru Kapolri Komjen Badrodin Haiti (BH)-kini Wakil Kapolri, sejumlah kader PDIP geruduk ke rumah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri, di Jalan Teuku Umar (Rabu (18/2).

Sejumlah kader PDIP terang-terangan mengatakan kecewa dengan keputusan Jokowi itu. Trimedya Panjaitan salah satunya.

‘’Sebagai pribadi saya kecewa Presiden tidak melantik BG, tetapi sebagai kader partai saya tunduk pada keputusan partai,’ katanya.

Anggota Komisi III dari PDIP lainnya Dwi Ria Latifa yang hadir di kediaman Megawati mengatakan PDIP tetap mendukung Jokowi, meski pelantikan BH yang didorong PDIP telah dibatalkan.

"Kita pada prinsipnya mendukung pemerintahan Jokowi," kata Dwi Ria.

Namun seorang kader PDIP yang menghadiri pertemuan di rumah Mega tersebut mengirim SMS kepada penulis. ‘’Intinya kami kecewa dengan keputusan Jokowi,’’ katanya meringkas pembicaraan dalam pertemuan di rumah Megawati tersebut.

Tidak hanya itu. Ada kalimat lanjutan yang membuat saya terkejut. ‘’Saya sendiri akan mengusulkan penggunaan Hak Angket selesai reses nanti,’’ tulis kader PDIP itu.

Saya tercenung. Jika kader PDIP mempelopori penggunaan Hak Angket terkait keputusan Presiden Jokowi karena tidak melantik Komjen BG, justru akan berkembang menjadi bola liar. Namun saya memahami karena ini merupakan puncak kekecewaan kader PDIP terhadap Jokowi yang terkesan ‘menyepelekan’ Ketua Umum PDIP Megawati karena BH adalah mantan ajudan Megawati dan BG didorong oleh Megawati dan PDIP.

Muncul kesan kuat bahwa BG hanyalah sasaran antara. Yang tidak disukai bukan BG, tetapi Megawati. Kenapa Megawati tidak disukai? Ini semata soal campur tangan atau intervensi. Sebagian masyarakat tidak suka bahwa seorang Presiden mudah diintervensi partai politik. Publik tentu masih ingat sudah jauh hari Megawati mengingatkan bahwa Jokowi adalah pekerja partai. Muncul kemudian istilah Presiden boneka. Kekecewaan terhadap Megawati kini disalurkan lewat BG. Kebetulan pula BG disebut-sebut sebagai salah satu jenderal polisi yang memiliki rekening gendut. Dikhawatirkan jika BG menjadi Kapolri maka BG juga seperti Jokowi sama-sama menjadi pekerja partai.

Pertanyaan lainnya, bagaimana dengan status keputusan rapat paripurna DPR yang menyetujui pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri? Apakah harus ada keputusan rapat paripurna DPR terlebih dahulu untuk membatalkan keputusan rapat paripurna DPR tentang persetujuan pengangkatan Komjen BH sebagai Kapolri? Logikanya, sebelum menerima calon baru Kapolri Komjen Badrodin Haiti yang diusulkan Presiden Jokowi dan melakukan uji kelayakan dan kepatutan, DPR mesti sudah membatalkan keputusan rapat paripurna DPR tentang pengangkatan Komjen BG. Dengan demikian tidak ada dua keputusan rapat paripurna DPR yang memutuskan pengangkatan dua Kapolri.

Pembatalan pelantikan Komjen BG bisa menjadi preseden. Apa jadinya jika seorang calon Kapolri atau pejabat negara yang sudah disetujui DPR tetapi ditentang publik, kemudian Presiden dengan mudah membatalkan pelantikannya dan mengangkat/mengusulkan pejabat baru? DPR bisa saja merasa dilecehkan dan menolak calon baru Kapolri usulan Presiden. Ini membuat semakin runyam.

Presiden Jokowi tentu mempunyai pertimbangan matang untuk menentramkan publik dengan tidak melantik Komjen BG. Jangan lupa Presiden mengulur mengambil keputusan atas badai konflik KPK-Polri tersebut setelah rapat paripurna DPR menyetujui APBN-P 2015.

Dalam APBN-P 2015 itu ada mata anggaran untuk ‘Rumah Aspirasi’ DPR sebanyak Rp1 triliun. Artinya masing-masing anggota DPR kebagian Rp1,78 miliar sebagai dana tenaga ahli, dua staf rumah aspirasi dan sewa rumah aspirasi. Selain itu ada pula dana penanggulangan lumpur Lapindo sebesar Rp781 miliar.

Bisa diduga kekhawatiran akan ada gejolak politik di DPR tidak meledak menjadi badai. Presiden Jokowi sudah menaburi gula-gula untuk meredam kemungkinan munculnya badai itu. Sebuah keputusan politik yang boleh dibilang cerdas.*

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun