Iya namanya Slamet Gundono, seorang seniman lulusan jurusan Theater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Solo, yang lahir di Slawi pada tanggal 19 Juni 1966. Yang kemudian menetap di wilayah perumahan Mojosongo - Jebres Solo. Slamet Gundono menggunakan "suket" (rumput/jerami) sebagai kekuatan simbol dalam mengkonstruksikan kenyataan sebagai urutan gnoseologi sehingga melahirkan makna dan pesan. Suket memang bisa dianggap sebagai simbol yang melambangkan kedekatan dengan kehidupan rakyat jelata yakni sebagai pakan ternak serta menandakan tanaman padi (masuk kategori tanaman rerumputan) yang dekat dengan petani dan menjadi makanan pokok masyarakat kebanyakan. Ditengah krisisnya lahan tempat tumbuh suket liar untuk pakan ternah dan padi yang beralih menjadi tanah properti perumahan dan gedung - gedung bertingkat. Lalu bagaimana dengan kelangsungan hidup rakyat jelata?
Slamet Gundono sangat peka terhadap kondisi ini, kedekatannya dengan rakyat jelata menandakan bahwa dirinya memang seorang seniman sejati yakni tidak hanya peduli pada popularitas yang materialistis tetapi peduli terhadap kondisi realitas keterpurukan rakyat jelata melalui pendekatan seni. Ini terbukti dalam hal kedekatan dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota yang berada di wilayah Jakarta Utara dan Barat yang sering "nanggap" Ki Slamet Gundono tanpa bayaran.
Di tengah krisis seniman dan budayawan yang peduli terhadap rakyat, kenapa kita harus kehilangan lagi seorang seniman dan sekaligus budayawan Slamet Gundono? Kesakitan yang dialaminya sudah tidak menjadi kepeduliannya disaat beliau tampil untuk "dalang". Namun kuasa Tuhan tidak bisa terbantahkan lagi, aliran seni yang dipopulerkan oleh Slamet Gundono jangan sampai pupus. Semoga Slamet Gundono bisa tertawa senang dan tenang bersama Gus Dur, Cak Nur dan Maria Fransisca yang secara tulus memikirkan bIndonesia dan rakyat jelata.