Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kepedulian teman

13 Desember 2024   10:12 Diperbarui: 13 Desember 2024   10:12 33 0
Ini adalah cerita tentang Dimas, seorang anak yang selalu berusaha menggapai cita-citanya menjadi tentara. Usaha yang dilakukan Dimas sangatlah aku hargai. Dalam pertemanan pun, Dimas adalah salah satu anak yang sopan dan baik.

"Hai, Mas! Kamu mau pulang lebih awal lagi? Ayo nongkrong dulu!" tanyaku dengan ramah. Melihat ekspresinya saja, aku sudah tahu Dimas akan menolak ajakan itu.
"Waduh, bro, aku sedang ada kerjaan di rumah. Enggak bisa, maaf ya," jawab Dimas dengan nada yang tak enak hati.

Melihat semangat juang yang Dimas tunjukkan lewat belajar sungguh-sungguh, aku sangat terkesan dan bangga padanya.
"Ya sudah, jangan lupa istirahat yang cukup, ya. Sana pulang," balasku dengan sedikit penyesalan.

Hari demi hari, aku perhatikan Dimas di sekolah. Dulu ia adalah orang yang ceria, tapi sekarang ia terlihat pendiam.
"Hei, Mas, kenapa sekarang kamu kelihatan lesu? Akhir-akhir ini juga aku lihat kamu seperti menjauh dari orang-orang," tanyaku sambil menepuk pundaknya.
"Enggak apa-apa kok, cuma kurang tidur saja," jawab Dimas dengan nada pelan.

Dalam pikiranku, aku sudah menduga bahwa Dimas tidak akan memberitahuku alasan sebenarnya. Karena khawatir, aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya, meski jaraknya sekitar 15 km dari sekolah. Satu jam setelah pulang sekolah, aku berangkat.

Sesampainya di sana, aku mendengar suara Dimas dari dalam rumah.
"Dimas... Dimas..." panggilku sambil mengetuk pintu.
"Haaaaa, payah banget, kenapa bisa kayak gini!" teriak Dimas dari dalam.

Pintu pun terbuka, dan aku disambut oleh ibu Dimas yang terlihat kelelahan.
"Eh, Nak, kamu datang ke sini? Maaf ya kalau Dimas seperti itu," ucap ibu Dimas dengan nada gelisah.
"Enggak apa-apa, Bu. Memangnya Dimas sedang kenapa ya?" tanyaku dengan ramah.
"Dimas sedang stres karena tidak diterima saat mendaftar jadi tentara," jawab ibu Dimas dengan sedih.

Aku meminta izin kepada ibu Dimas untuk bertemu dengannya.
"Oiii, Dimas! Sudah saatnya kamu bersikap dewasa lagi!" seruku sambil membuka pintu kamar Dimas.

Melihat keadaan Dimas yang putus asa, aku mencoba menguatkannya.
"Oi, Dimas, tidak ada gunanya kamu meratapi tujuan yang belum tercapai. Lihat ke depan! Jangan putus asa hanya karena satu kegagalan!" kataku sambil mengulurkan tangan.

Namun, di saat menegangkan itu, Dimas menatapku dengan tatapan tajam.
"Haaaaa, kamu enak saja bilang begini-begitu. Memangnya kamu siapa? Kamu bukan siapa-siapaku!" jawab Dimas dengan nada keras.

Dimas meluapkan semua emosinya kepadaku. Meski berat, aku tahu bahwa inilah caraku membantu teman.
"Dimas, kalau kamu ingin meluapkan emosimu, lakukan sekarang. Aku akan mendengarkan," kataku sambil duduk di kursi di kamarnya.

Perlahan, aku mendengarkan luapan emosi Dimas. Dikit demi dikit, aku berhasil menenangkannya.
"Bagaimana, Mas? Sudah selesai? Semua yang kau pendam sudah terluapkan?" tanyaku dengan ramah.

Dimas mengangguk pelan, tanda ia mulai merasa lega. Untuk menenangkan suasana, ibu Dimas datang membawa minuman dan makanan. Aku pun berbincang dengannya, membantunya kembali menjadi Dimas yang ceria seperti dulu.

Keesokan harinya, aku melihat Dimas di sekolah. Ia sudah kembali menjadi dirinya yang ceria, seperti dulu. Hari-hariku kembali berjalan seperti biasa, dengan rasa bangga karena bisa membantu seorang teman.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun