Situasi pandemi mendorong Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada Hari Pangan Sedunia tahun ini mengambil tema "Tindakan Kita, Masa Depan Kita, untuk Produksi, Gizi, Lingkungan dan Kehidupan yang Lebih Baik". Tema ini menyoroti pentingnya sistem pertanian-pangan berkelanjutan untuk membangun dunia yang lebih tangguh dalam menghadapi masa depan.
Dunia mengalami kemunduran besar dalam perang melawan kelaparan alias dengan krisi kelaparan global. Saat ini, lebih dari tiga miliar orang (hampir 40% populasi dunia) tidak mempunayi akses terhadap makanan sehat. Sebanyak 811 juta orang kekuranfan gizi di dunia. Sebaliknya, 2 miliar orang dewasa kelebihan berat badan atau obesitas akibat pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. (Tempo, 18/10/2021)
Pada tahun2015, PBB telah menargetkan keplaparan di dunia akan berakhir pada tahun 2030. Awalnya target tersebut akan mungkin untuk dicapai. Namun, menurut laporan terbaru terkait Indeks Kelaparan Global (Global Hunger Indeks, GHI), yang diterbitkan ole Welthungerlife and Concern Worldwide mengindikasikan bahwa perang melawan kelaparan sudah sangat keluar jalur. Ini berdasarkan adanya data jumlah ornag yang tidak mendapatkan nutrisi yang layakn di dunia. Pada tahun 2020, angkanya meningkat menjadi 2,4 miliar orang, hampir sepertiga populasi dunia. (dwcom, 18/10/2021)
Indeks Kelaparan Global (GHI) membuktikan kelaparan global sejak 2000, tetapi kemajuannya melambat. Skor GHI tahun 2006 dan 2012 turun dari 25,1 menjadi 20,4. Namun, di samping itu, prevalensi global kekurangan gizi justru mengalami peningkatan.
Tak pelak, setidaknya ada 47 negara yang diprediksi gagal mencapai tingkat kelaparan yang rendah pada tahun 2030. Konflik, perubahan iklim, dan pandemi Covid-19 adalah tiga faktor yang dianggap paling berpengaruh mendorong kelaparan, sehingga mengancam perlawanan terhadap kelaparan beberapa tahun terakhir.
Selama ini banyak orang mengira orang kelaparan paling banyak di benua Afrika. Namun mirisnya, hasil studi memperlihatkan separuh atau 418 juta orang kelaparan di dunia justru ada di benua Asia. Laporan State of Food Security and Nutrition in the World 2021 oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyatakan mayoritas berada di Asia Selatan (305,7 juta orang), Asia Tenggara (48,8 juta orang), dan Asia Barat (42,3 juta orang).
Sementara itu, untuk Indonesia, dalam GHI 2021, Indonesia menempati urutan ke-73 dari 116 negara. Indonesia memiliki skor 18,0. Skor ini menunjukkan Indonesia memiliki tingkat kelaparan yang sedang. Namun berdasarkan urutan tersebut, Indonesia berada di bawah Gambia dan di atas Kamerun. Sementara Myanmar yang baru dilanda konflik akibat kudeta militer berada di urutan 71. India yang juga sebagai negara besar berada di peringkat 101, Papua Nugini 102, Afghanistan dan Nigeria 103, sedangkan Timor Leste 108. Di posisi terakhir (116), terdapat Somalia.
Perlu diketahui, tingkat kelaparan Indonesia sebelum 2021 terus mengalami tren penurunan. Pada 2020, GHI Indonesia sebesar 19,1 atau turun 1 poin dari skor 20,1 pada 2019 lalu. Skor GHI tersebut menunjukkan tingkat kelaparan di Indonesia masuk kategori moderat untuk pertama kalinya. Pada tahun-tahun sebelumnya, tingkat kelaparan di Indonesia selalu berada dalam kategori serius, yakni di rentang 20 -- 34,9.
Pada 2019, sebelum pandemi Covid-19 muncul, Asia juga dinilai memiliki 361,3 juta orang yang kekurangan gizi. Tak ayal, dunia pun dilanda kerawanan pangan. Juru Bicara Program Pangan Dunia (World Food Program, WFP) PBB James Belgrave menyatakan sebagian besar negara di Asia mengalami peningkatan kerawanan pangan karena dampak sosial-ekonomi dari pandemi Covid-19 dan cuaca ekstrem seperti kekeringan, banjir, dan badai. Kondisi ini mempengaruhi segmen populasi tertentu, khususnya pusat kota dan daerah kumuh di kota-kota besar Asia.
Tak pelak, banyak keluarga yang dihadapkan pada keputusan sulit di tengah kondisi rawan pangan ini. Banyak dari mereka yang terpaksa melewatkan makan, makan makanan yang kurang bergizi, memprioritaskan anak-anak daripada orang dewasa untuk makan, berutang untuk membeli makanan, atau sampai menjual aset rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan. Ada hari-hari ketika mereka hanya makan satu kali sehari mereka, bahkan ada yang tidak punya apa-apa untuk dimakan.
Untuk Indonesia sendiri, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi terkait pangan. Berdasarkan Food Sustainability Index 2020, Indonesia menempati peringkat ke-60 dan 67 negara dalam hal keberlanjutan pangan menurut tiga indikator, yakni pemenuhan gizi, penerapan pertanian berkelanjutan, dan limbah makanan. Terkait limbah makanan, jumlah limbah makanan di Indonesia yang mencapai 23-48 juta ton per tahun. Jumlah itu mendudukkan Indonesia di peringkat ke-2 negara pembuang makanan di dunia.
Namun mirisnya, untuk Indonesia sendiri, jumlah orang dewasa yang obesitas meningkat dua kali lipat selama dua dekade terakhir. Satu dari tiga orang dewasa di Indonesia mengalami obesitas. Sementara, 40% orang Indonesia mengalami kekurangan gizi mikro yang berarti kekurangan asupan vitamin dan mineral dari makanan yang diasupnya.
Seiring dengan itu, obesitas pada anak juga meningkat. Padahal di sisi lain, 27,67% anak di Indonesia di bawah usia 5 tahun mengalami stunting, atau terlalu pendek untuk usia mereka. Satu dari tiga anak di Indonesia menderita stunting. Angka stunting ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan angka rata-rata di kawasan Asia.
Secara umum dapat dianalisis bahwa Indonesia memiliki sistem pertanian pangan dari hulu hingga hilir yang belum terpecahkan. Hal ini diantaranya karena Indonesia menghadapi situasi menurunnya luasan lahan berkualitas dan mandegnya regenerasi petani. Kombinasi situasi ini membuat posisi Indonesia sulit. Bayangkan saja, negara agraris tetapi mengimpor banyak produk pangan dari luar negeri. Tidak masuk akal, bukan?
Mencermati hal ini, tampaknya tak sepenuhnya benar jika menjadikan momentum pandemi Covid-19 sebagai kambing hitam peningkatan skor kelaparan global. Meski mungkin ada benarnya jika kondisi pandemi menyebabkan sejumlah roda ekonomi manusia, bahkan global, melambat. Namun secara realitas, pandemi lebih tepat disebut hanya sebatas memperburuk skor kelaparan global itu.
Juli 2021 lalu, WFP menyatakan angka kelaparan global melonjak 40% akibat kenaikan harga pangan. Jelas sekali, harga pangan yang tinggi adalah sahabat baru kelaparan. WFP menyatakan rata-rata harga tepung terigu di Lebanon telah meningkat 219% tahun-ke-tahun di tengah percepatan gejolak ekonomi. Sementara harga minyak goreng telah melonjak 440% dibandingkan tahun lalu di Suriah yang dilanda perang. Sementara menurut indeks harga FAO, di pasar perdagangan internasional, harga pangan dunia memang naik 33,9% dari tahun ke tahun.
Di Indonesia sendiri, fluktuasi harga bahan pangan juga tak terhindarkan. Dari yang sebelumnya inflasi sebagaimana kasus harga cabai dan minyak goreng, hingga harus anjlok menjadi deflasi sebagaimana yang menimpa harga telur dan daging ayam. Mencermati hal ini, mungkin benar bahwa negeri kita memerlukan perbaikan sistem pertanian pangan. Namun, haruskah disolusi dengan penambahan lembaga baru seperti Badan Pangan Nasional (BPN)?
Mengutip pernyataan pemerhati kebijakan pertanian dan pangan, Emilda Tanjung, M.Si di muslimahnews.com, kelahiran BPN akhir Juli lalu seakan menjadi angin segar. Harapannya, badan ini mampu mengurai benang kusut masalah pangan dengan mengintegrasikan pengaturan sektor pangan yang selama ini tersebar di berbagai lembaga pemerintahan yang membuahkan kebijakan tumpang tindih. BPN juga ditargetkan bisa mengatasi karut-marut tata kelola pangan, khususnya impor pangan yang selama ini merajalela dan menjadi celah bagi pemburu rente.
Namun apalah daya, disinkronisasi kebijakan dalam negara demokrasi neoliberal sudah bukan rahasia. Demokrasi menganut konsep desentralisasi kekuasaan dan pembatasan peran negara sebatas regulator, dan hal ini juga terjadi di negeri kita.
Apalagi, ternyata pembentukan BPN ternyata tak dapat dilepaskan dari Omnibus Law UU Cipta Kerja No. 11/2020. Padahal, UU Omnibus Law ini nyata-nyata berpihak pada oligarki daripada rakyat, serta mengakomodasi investasi dan kepentingan pasar. UU ini juga jauh dari cita-cita kedaulatan pangan dengan makin memperlonggar kebijakan impor pangan. Implementasi UU ini justru menguatkan arus liberalisasi sektor pangan. Alih-alih fokus pada kesejahteraan rakyat, BPN dipastikan berjalan mengikuti mandat UU tersebut.
Sungguh, target nol persen angka kelaparan dunia 2030 akan meleset jauh jika segala sesuatunya masih dalam kendali gurita kapitalisme global. Ideologi rakus itu takkan pernah berhenti melontarkan lipstik-lipstik manis untuk mengelabui dunia, demi menjaga eksistensinya.
Lagi-lagi, hanya kepentingan segelintir orang yang akan diperhitungkan. Tentu kita tidak lupa bukan, bahwa 1% dari populasi dunia merupakan orang terkaya yang mengalami kenaikan pangsa pasar kekayaan terhadap total kekayaan global pada 2020? Padahal pada saat yang sama, di belahan dunia lain banyak orang yang sedang berjuang antara hidup dan mati melawan kelaparan. Terlebih di tengah pandemi.
Jika demikian, maka sungguh ada hal lain yang melatari terjadinya bencana global kelaparan yang sangat mengiris batin itu. Hal itu lebih disebabkan distribusi kekayaan di dunia ini sangatlah buruk. Sistem pengaturan urusan kehidupan kapitalisme yang dianut di setiap negara sangat jauh dari kata adil. Korporatisasi pertanian dan industri pangan dunia telah sukses menjadikan pangan hanya bisa diakses oleh mereka dengan kapital (uang) melimpah. Bagi yang tak ada akses dengan uang bersiaplah tersingkir bahkan punah terlindas zaman. Persis arahan teori evolusi Charles Darwin terkait kekuatan adalah salah satu penentu spesies mana yang akan bertahan di belantara kehidupan ini.
Prinsip kapitalisme mengamanahkan pada negara bahwa peran mereka cukuplah untuk melakukan upaya pembuatan regulasi dan mengawasi berjalannya regulasi tersebut. Sementara hajat hidup semisal pangan, sandang, papan bahkan kebutuhan kolektif kesehatan, pendidikan dan keamanan diserahkan pada mekanisme jual beli. Dimana tentu hal itu dikendalikan oleh korporat. Maka penguasaan hajat hidup orang banyak pun berada di tangan segelintir para kapital pemilik korporat raksasa dunia. Â
Sistem kapitalisme pun bersifat eksploitatif, merusak alam/iklim ketika liberalisasi di bidang ekonomi dan penguasaan aset kekayaan sempurna diterapkan.
Kapitalisme pula yang sukses menjadikan dunia selalu berada dalam kondisi keterjajahan. Negara adidaya menjajah negara-negara pengekor. Baik melalui agresi militer atau dengan penjajahan ekonomi berkedok kerjasama multilateral. Negara adidaya kapitalis pun tak segan menanamkan pemimpin-pemimpin bonekanya di negara-negara lain. Lantas memerankan diri sebagai sutradara yang memiliki kuasa menimbulkan, mempertahankan atau menghentikan konflik di sebuah negara.
Konsep nation state kian memperburuk kondisi. Masing-masing negara merasa tak tergerak untuk saling mengambil peran dalam upaya penyelesaian permasalahan negara miskin di sekitarnya. Bahkan dalam satu kawasan nation state pun wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya alam diarahkan untuk menutup mata atas penderitaan sesama. Aksi filantropi yang ditampakkan dengan upaya-upaya saling membantu dari setiap individu pun tak sanggup untuk menyelesaikan gurita kelaparan global karena cakupannya bersifat sistemik.
Maka sungguh dunia secara keseluruhan membutuhkan sistem kehidupan yang adil dan menyejahterakan. Tanpa memandang bangsa dan kedudukan manusia. Satu kekuatan yang sanggup mengelola alam dan harta kekayaan di muka bumi dengan keadilan hakiki. Dan ini hanya sanggup diberikan oleh sistem kehidupan yang datang dari Sang Maha Pencipta. Ia yang menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan. Ia pula yang memberikan seperangkat aturan yang tentu tepat untuk diberlakukan di hamparan bumi ciptaan-Nya. Diberikan sebagai bentuk kasih sayang Al-Khaliq pada setiap mahkluk. Â Itulah sistem kehidupan Islam.
Sistem kehidupan Islam telah terbukti berabad lamanya mampu mempersembahkan peradaban gemilang diliputi kesejahteraan dan keadilan hakiki. Aturannya yang dinamakan syariat berhasil menjaga lima hal: agama, darah/jiwa, kehormatan, harta dan akal. Dengan prinsip rahmatan lil 'alamin, Islam akan menaungi bumi tanpa memandang agama, ras dan bangsa. Menjauhkan umat manusia dari kezaliman.
Cukuplah perkataan seorang orientalis asal Barat, Will Durrant bersama istrinya menjadi satu bukti. Â "Para Khalifah (pemimpin sistem pemerintahan Islam) telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa. (The Story of Civilization)
Wallahu a'lam bishshawab
Oleh : Meliana Chasanah