"Soal anak tolong jangan dibahas lagi! Aku sudah muak mendengarnya. Sudah repot aku dengan kerjaan kantor. Punya anak akan sangat merepotkan!" cecar mas Dani setelah Wati menyindir tentang keinginannya memiliki seorang anak.
Sekarang Wati bukan lagi seorang wanita karier. Sejak setahun yang lalu, tepatnya setelah Dani memperistrikannya, Wati berhenti dari pekerjaannya. Padahal saat itu kariernya sangat cemerlang, seorang manajer. Namun, keinginannya menjadi istri dan ibu yang baik melatarbelakangi Wati untuk memutuskan resign dari pekerjaannya itu.
"Enggak sayang dengan kariermu, Ti?" tanya Vita, sahabat Wati yang sama-sama satu divisi dengannya.
"Hemm ...sebenarnya sih sayang, Ta, tapi kamu tahu sendiri, aku nikahnya udah 39 tahun. Aku ingin segera memiliki momongan. Aku hanya ingin menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluargaku. Rezeki sudah diatur Allah, Ta," ungkap Wati penuh antusias.
Bukan hanya Vita, ayah, dan ibu Wati pun menyesalkan keputusan putrinya itu. Meskipun Dani memiliki jabatan yang lumayan di kantornya, ayah dan ibu Wati tetap mengkhawatirkan perekonomian keluarga anaknya itu. Rumah KPR yang Wati tempati sekarang belum baru berjalan 5 tahun.
Rasanya pertanyaan Vita dan kekhawatiran ayah dan ibunya Wati baru saja terjadi di depan matanya padahal semua itu sudah berlalu hampir 2 tahun. Selama itu juga Wati merasakan kegelisahan, kesedihan, penyesalan, dan perasaan hampa.
Tak ada baginya tempat untuk mencurahkan perasaan. Dani bukan lagi suami yang peduli. Dia tidak pernah bertanya lagi tentang keadaan Wati. Dia hanya tahu bahwa rumah rapi dan makanan ada. Toh, di hadapan Dani, Wati tidak pernah menunjukkan semua kesedihannya.
"Kamu harus ngomong sama Dani, Ti. Masa' suami istri diam-diaman. Coba komunikasikan lagi keinginanmu untuk punya anak. Barangkali Dani tipe laki-laki yang ingin diceritakan betul keinginan istri."
"Dani itu orangnya tempramen, Ta. Aku takut. Dulu aja dia marah ketika aku nyindir pengen punya bayi," ucap Wati lirih.
Itu satu-satunya nasihat yang Vita berikan kepada Wati. Hanya sekali itu saja Wati bercerita kepada Vita. Dia tidak ingin masalah rumah tangganya diketahui banyak orang.
Setelah mendengarkan nasihat Vita, Wati mulai menimbang apakah harus dia teruskan atau dipendam saja anjuran sahabatnya itu. Setelah mempertimbangkan dengan saksama, akhirnya Wati memutuskan untuk membiarkannya saja. Dia tidak akan bertanya lagi kepada Dani soal keinginannya memiliki anak. Cukup sekali saja dia melakukan hal itu.
***
"Boleh aku refreshing ke tempat Ibu, Mas?" tanya Wati ketika menemani Dani sarapan di suatu pagi. Sesaat tangan Dani berhenti dari menyuap nasi goreng ke mulutnya. Beberapa detik matanya melirik ke arah Wati dengan tatapan bingung, lalu melanjutkan makannya.
"Kenapa? Kamu bosan?" tanyanya datar tanpa menatap Wati.
"Kita sudah lama enggak ke tempat Ibu, Mas. Aku kangen Ibu dan Ayah," jawab Wati lirih.
"Nantilah. Kalau soal kangen, kamu bisa video call, 'kan?" tolak Dani, lalu meneguk air minum dan bangkit dari kursi. Wati terdiam. Dia tidak bisa berkata apa-apa jika Dani sudah memutuskan.
"Kalau kamu mau ke tempat ibumu, tunggu aku libur," ucap Dani sambil menenteng tas kantornya menuju pintu depan. Wati masih belum beranjak dari meja makan. Pikirannya kosong, entahlah apa yang dipikirkannya.
Krek! Bunyi pintu yang ditutup dengan kasar tidak menghentikan lamunan kosong Wati. Wajahnya datar melihat meja makan kayu yang ada di depannya. Jemari tangannya ditangkup dan digerakkan dengan cepat tanpa arah.
Rumah yang ditempati Wati dan Dani telah menjadi saksi bisu perjalanan bahtera rumah tangga mereka. Meskipun rumah itu tampak megah setelah direnovasi oleh Wati saat bekerja dulu, kebahagiaan dan keceriaan tidak lagi dirasakan penghuninya. Jiwa Wati seakan mati.
Lamunan Wati buyar saat dering telepon menyapa telinganya. Wati segera mengambil ponsel itu dari atas rak buku. Tanpa melihat nomor yang masuk, Wati langsung mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum," ucap Wati dengan lirih.
"Wa alaikum salam, kenapa kamu, Nak? Kamu sakit, ya?" tanya suara yang membuat Wati tiba-tiba menitikan air mata. Rasa kangennya kepada sang ibu membuat air matanya seketika mengalir.
"Oh, enggak, Bu. Wati sehat kok," sangkal Wati.
"Tapi suaramu kok beda, Nak?" tanya ibunya penasaran. Suara Wati terdengar seperti orang yang sedang pilek.
"Wati hanya pilek, Bu," balas Wati untuk menutupi rasa sedihnya. Dia menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya dan mencoba untuk menahan tangisnya dari hadapan wanita yang paling dia sayangi.
"Syukurlah kalau begitu. Kamu harus banyak makan buah, ya, Nak," ucap ibunya, disusul balasan 'iya' dari mulut Wati.
"Kapan kamu main ke sini, Nak? Apa enggak kangen sama Ibu? Sudah lama loh kamu dan suamimu enggak ke sini. Ajaklah dia tidur di sini," cecar wanita itu.
Wati diam sesaat. Sepertinya, hati ibunya dan Wati sudah terkoneksi dengan baik dengan dirinya. Baru beberapa menit yang lalu Wati menyatakan keinginannya kepada Dani untuk pergi ke rumah ibunya, ibunya sudah menelepon.
"Kata mas Dani, kami ke sana waktu libur, Bu. Wati juga kangen Ibu," jawab Wati singkat.
"Udah ada tanda-tanda belum, Nak?" tanya ibunya.
Nyes! Hati Wati terasa teriris, sakit sekali. Wati tahu arah pertanyaan ibunya itu.
"Belum, Bu. Doakan, ya, Bu," jawab Wati. Dia memaksakan untuk bersikap tegar. Untung saja ibu meneleponnya tanpa melihat wajah. Jadi, beliau tidak akan tahu raut wajah Wati saat menjawab pertanyaan tadi.
"Banyak-banyak makan kecambah, istirahat yang cukup, dan banyak berdoa. Yang memberikan keturunan itu Allah, kita hanya diminta berusaha semaksimal mungkin. Meskipun Ibu pengen menimang cucu, Allah Maha Tahu dan Maha Mengatur perihal anak ini."
Wati tahu ibunya hanya ingin membuat dia tidak bersedih karena belum memiliki keturunan. Wati sangat tahu perasaan ibunya itu. Wanita yang baik itu tidak perlu tahu kesedihannya saat ini. Cukup dirinya yang merasakan ketidakbahagiaan rumah tangganya.
***
"Ada kemungkinan tidak ganas, nanti kita cek lagi. Namun, sepertinya Anda harus menceritakan masalah ini kepada istri Anda. Saya yakin istri Anda akan menerima semuanya."
Itulah vonis yang diberikan oleh dokter Bram kepadanya. Meskipun ada kemungkinan tidak ganas, Dani merasakan ketakutan itu. Dia sekarang tahu bahwa sakit kepala, nyeri di bawah perut dan sekitar selangkangan, dan benjolan di dekat area vitalnya adalah tanda dari penyakit yang menakutkan ini.
Awalnya Dani tidak peduli dengan gejala yang dideritanya. Namun, akhirnya dia merasa penasaran mengapa beberapa minggu terakhir ini gairah seksnya menurun padahal usia pernikahannya dengan Wati baru beberapa bulan.
Setelah menerima obat, Dani pulang ke rumah dengan wajah muram. Seluruh tubuhnya lemas setelah mendengar vonis dari dokter. Dia belum bisa menerima kenyataan. Sulit baginya untuk menceritakan semua itu kepada Wati.
"Assalamu'alaikum," ucap Dani sambil membuka teralis pintu rumah."
Wati yang mendengar suara salam Dani berhamburan dari kamar untuk menyambut suami tercinta. Segera dia bawa tas kerja Dani dan meletakkannya di atas kursi. Lalu, dia ke dapur menyiapkan makan siang. Sekilas Wati melirik wajah Dani. Tak biasanya Dani pulang cepat dan terlihat lemas. Aneh sekali, pikir Wati.
"Habis rapat, ya, Mas?" tanya Wati sekenanya.
Dani diam seribu bahasa. Hanya tangannya yang sibuk membuka kaos kaki dan kemeja biru mudanya. Tangan Wati ditepisnya. Setelahnya, Dani langsung masuk ke kamar.
"Makanlah dulu, Mas," tegur Wati. Namun, permintaan Wati tak digubris oleh Dani. Wati menatap pintu kamar dengan penuh tanda tanya. Ada apa gerangan sehingga Dani bersikap 'aneh' seperti itu?
"Apa aku melakukan kesalahan?" ucap Wati lirih. Wati termenung di meja makan. Makanan yang ada di hadapannya ini baru saja selesai dia masak, tetapi tak satu pun disentuh suaminya.
Di dalam kamar, Dani melamun panjang. Tumor testis. Sebuah vonis yang membuat nyalinya ciut. Apalagi dia tahu istrinya sangat menginginkan seorang anak dalam kehidupan mereka.
Dani menelungkupkan wajahnya pada sebuah bantal. Tangisnya mulai terdengar, tetapi teredam oleh bantal yang ada. Dia tidak ingin Wati mendengar suara tangisnya. Namun, tak disangka Wati masuk kamar.
"Apa Mas sudah makan? Kalau belum, Wati temanin, ya," ajak Wati. Namun, Dani tidak menggubris ajakan itu. Dia segera menghentikan tangisannya.
Sejak kejadian itu, sikap Dani kepada Wati berubah. Wati bingung dengan perubahan itu, tetapi takut untuk menanyakan tentang hal itu kepada Dani. Wati pikir perubahan sikap Dani adalah imbas kenaikan jabatan suaminya.
***
"Siap-siap, ya. Besok Mas sudah libur, selama 3 hari. Kita bisa ke tempat Ibu," ucap Dani setelah pulang dari kantor.
Mendengar ucapan itu, Wati merasa senang sekali. Ternyata Dani tidak melupakan janjinya. Wati sudah tak sabar bertemu dengan ayah dan ibunya.
Setelah melakukan perjalanan selama sejam lebih, sampailah kedua pasangan ini di sebuah lingkungan yang asri dengan berbagai pohon buah di sana. Wati langsung keluar dari mobil. Ibu dan ayahnya telah menunggu di teras. Wati dan Dani mencium punggung ayah dan ibu.
"Alhamdulillah, bagaimana perjalanannya, Nak?" tanya ibunya. Wati menjawab panjang lebar. Dia menjadi ceria kembali sesampai di sini.
Dani keluar dari mobil sambil membawa tas besar dan ikut masuk. Lalu, berhenti di ruang tamu. Dia meletakkan tas itu di sisi kursi panjang yang didudukinya itu, sedangkan Wati langsung mengikuti ibunya ke dapur. Ayah masuk ke ruang tamu dan mengajak Dani mengobrol tentang perjalanan tadi.
Beberapa menit kemudian, Wati sudah membawa kudapan dan teh hangat untuk ayah dan suaminya. Setelahnya, Wati kembali ke dapur. Di sana, Wati bercerita banyak dengan ibunya. Tak henti-henti dia mencium pipi ibunya yang makin banyak keriputnya itu.
"Sudah, sekarang ajak suamimu ke kamar. Dia mungkin ingin merebahkan tubuhnya. Nanti kalian tidur di kamarmu aja, ya. Tadi Ibu sudah membersihkannya," ucap ibu sambil keluar dari dapur menuju ruang tamu. Wati mengikuti dari belakang.
"Dan, istirahat dulu sana. Pasti kamu capek sejam perjalanan ke sini. Ayo, Wati ajak suamimu ke kamar," perintah ibunya. Wati tersenyum dan menarik tangan Dani. Dani terlihat tergopoh-gopoh membawa tas besar yang dia letakkan di dekat kursinya tadi.
Setelah masuk kamar, Dani langsung menjatuhkan tubuhnya. Ah, rasanya nyaman sekali bisa berbaring dan meluruskan tulang belakang. Kedua mata dipejamkannya. Lelah terlihat dari wajah lelaki itu. Wati memperhatikan lelaki itu dan duduk di sampingnya.
"Kamu masih mau punya anak?" tanya Dani sambil memegang tangan Wati. Wati terkejut, lalu tersenyum lebar mendengarnya. Memang itu yang dia harapkan. Ah, mungkin mas Dani sudah mau memiliki anak, pikir Wati.
"Bagaimana kalau Mas tidak bisa memberikan keturunan kepadamu?" Mendadak saja wajah Wati berubah. Dia tidak mengerti arah pembicaraan Dani.
"Maksud Mas apa?" tanya Wati dengan seribu pertanyaan di kepalanya.
"Mas terkena tumor testis dan sepertinya itu penyebab kita belum diberikan momongan," jelas Dani.
Wati terdiam. Harapannya pupus. Pantas saja suaminya itu tidak pernah mau memiliki anak ketika dia bertanya tentang hal itu. Seketika Wati merasa sangat bersalah kepada suaminya itu. Selama ini Dani menyembunyikan penyakitnya dengan rapat.
Kamar yang mereka tempati mendadak senyap. Hanya sesekali terdengar embusan napas Dani dan Wati. Sebuah embusan panjang keluar dari mulut Wati.
"Sekarang kita fokus pada pengobatan Mas. Soal momongan, Allah yang Maha Tahu dan kuasa. Jika Dia berkehendak, maka tak ada yang bisa menghalangi," ucap Wati memberanikan diri untuk tersenyum.
Mendengar penuturan sang istri, Dani mendekati Wati, lalu memeluknya. Tak disangka Wati adalah istri yang sangat pengertian. Tangis keduanya pecah. Sepertinya kehampaan yang merasuki hati mereka pun hilang.