"Mbok yo makan dulu. Nanti sedang ciat-ciat-ciat, eh perutmu keroncongan," sahut emak yang berusaha menyalakan radio Polytrone yang sedikit berdebu.
Tari menyomot satu gorengan dan melipat kakinya dengan cara bersila pada kursi rotan di ruang tamu. Sepertinya, dia sudah tidak sabar menunggu kelanjutan cerita sandiwara radio kesayangannya itu. Lamat-lamat telinganya mencoba mendengarkan suara radio.
"Yah! Apa hari ini enggak ada, ya, Mak?" tanya Tari kecewa saat melihat detak jam berubah dengan cepat dari jadwal sandiwara.
"Tunggu saja. Mungkin ada kendala sinyal. Jadi, mesti sabar, ya. Dah, Emak ke dapur dulu!" ujar wanita berusia 30 tahunan itu.
Tari mendekati radio butut itu, lalu mencoba memutar tombol channel. Namun, yang terdengar suara kresek dan nyaris tak ada sinyal! Tari kecewa, yang ditunggu tidak kunjung tiba.
"Meisin ... ayolah, jangan lakukan hal seperti itu!" suara sang idola membuat Tari terlonjak dari tempat duduknya. Kakinya yang terlipat segera terurai dan mendekati radio.
"Emak, udah ada!" teriak boah itu. Sontak saja si Emak kembali ke ruang tamu dan melihat wajah Tari yang berbinar.
"Duh, senangnya! Kayak dapat kue ulang tahun aja," ucap Emak dengan wajah semringah melihat aksi putrinya. Tari hanya menoleh sebentar ke arah Emak, lalu lanjut mendengarkan sandiwara radio kesayangannya.
Entahlah, suara pemain dalam sandiwara radio itu sungguh membuat Tari terpicut. Dia sepertinya tidak bosan mendengarkan para pemain berceloteh. Kadang bocah itu menirukan tendangan yang dia dengar dari radio. Dia mencoba beraksi seperti para pemain. Bahkan dialog yang diucapkan para pemain hapal di luar kepalanya. Fantastik!
Setelah sandiwara radio itu berakhir, Tari mematikan radio. Dia segera beranjak dari tempat duduknya. Tak ada lagi yang harus didengar.
"Loh, kok dimatikan sih? Emak 'kan mau dengar radio juga," sambar Emak sambil mencari channel dangdut kesukaannya. Emak hapal betul channel kesukaannya itu. Lalu, Emak segera membesarkan volume radio. Ada lagu Hamdan ATT di sana. Emak ikut melantunkan lagu itu sambil sedikit mengoyangkan kepala.
Tari tak peduli dengan aksi Emak. Dia segera mengambil piring dan makan dengan lahap. Sedari tadi dia tidak mau beranjak dari kursi rotan, takut ketinggalan cerita.
"Emak, ayo makan sini sama Tari!" teriak Tari. Ternyata, bocah itu tidak mau makan sendiri.
"Emak, udah nyanyinya! Berisik!" Tari berkomentar, tetapi Emak tidak bergeming dari depan radio.
"Emak, pelankan sedikit volumenya!" Tari berteriak kembali. Namun, Emak tetap tidak mendengar. Akhirnya, Tari menutup salah satu telinganya sambil membawa piring ke dapur. Di sana suara radio tidak terlalu keras.
Sambil mengunyah orek tempe dan cah kangkung buatan Emak, bocah itu terus tersenyum. 'Ah, andai saja dia bisa seperti Meisin. Aduh, betapa cantiknya dirinya'. Namun, bayangan itu buyar saat dia terdengar suara Emak memanggilnya.
"Iya, sebentar, Mak," jawab bocah itu buru-buru. Tari segera berlari mendekati si Emak.
"Ada apa, Mak?" tanya Tari setelah berada di dekat Emak. Dia berusaha mengecilkan volume radio.
"Tolong ambilkan teh Emak di meja makan, ya," pinta Emak. Tari menggeleng dengan bibir mengerucut. Ah, Emak! Kira bocah itu ada sesuatu yang sangat penting. Ternyata, Emak hanya kehausan saja. Apa enggak bisa ambil sebentar, toh lagunya bisa terdengar sampai meja makan toh? Pikir Tari kesal.
Ups! Tari jadi ingat, barusan saja dia rela keroncongan hanya karena ingin mendengarkan sandiwara radio. Kini giliran Emak kok dia harus marah. Tari menelan ludah dan mengambilkan teh yang dipinta Emak.
***
"Diam dulu dong. Bapak belum mendengar azan nih. Di masjid juga belum azan. Apa sudah buka, ya?" tanya Bapak tiba-tiba keluar dari kamar. Beliau beranjak menuju radio. Sambil memutar tombol channel, Bapak mendekatkan telinganya ke radio.
"Berarti belum buka, Mak. Ini baru ngaji di masjid raya. Sebentar lagi kita buka. Ayo, siap-siap!" ucap Bapak.
Emak meletakkan hidangan di atas meja dan dibantu Tari. Mulutnya ikut melantunkan 5 ayat pertama pada surat Al Baqarah yang terdengar dari radio. Bapak memang rajin menyetel radio setiap ramadan. Kata Bapak, ceramah Zainuddin MZ yang ada di radio itu selalu membuat Bapak tertawa sekaligus berpikir.
Bapak juga suka menyetel radio bila ada berita. Tari, Emak, dan Bapak selalu beributan untuk memilih channel pilihan. Namun, pemenangnya adalah Tari. Hanya saja, ketiadaan TV di rumah itu membuat radio begitu diidolakan oleh penghuni rumah. Maklum, Bapak belum bisa membeli TV. Lagi pula, menurut Bapak radio lebih enak daripada TV.
"Udah bedug tuh, Pak. Udah matikan radionya!" ucap bocah itu sambil sedikit teriak karena kaget mendengar suara bedug dari radio.
Semua segera menuju meja makan dan mengambil satu kurma untuk disantap. Kemudian, segelas teh hangat pelepas dahaga. Ah, berhasil juga puasa hari ini, pikir bocah itu.
"Nanti setiap mau buka, sejam atau 2 jam sebelum buka, radionya dinyalakan, ya. Biar suasana ramadan kita itu asyik," celoteh Bapak sambil mengunyah kurma.
"Iya, Pak, tapi Emak mau dengerin lagu loh, Pak," Emak langsung menimpali.
"Emak, masak dangdutan terus sih!" Tari tidak mau mengalah.
"Pokoknya, khusus ramadan saja, dari pukul 4 sampai magrib, kita dengarin ceramah. Oke!" Itu keputusan Bapak. Meskipun Emak dan Tari tidak menyukainya, mereka harus rela karena Bapak tidak selalu menyetel radio seperti mereka.
"Baiklah, Pak," jawab Tari lesu. Bapak yang mengunyah makanan harus menahan diri melihat wajah putrinya yang lucu. Memang seharusnya Tari dan Emak mengikuti saran Bapak kalau tidak bagaimana mengisi ramadan tanpa amal ibadah.
Begitulah radio di keluarga Tari. Pada saat itu radio menjadi alat komunikasi yang sangat efektif. Semua pemberitaan, apa pun itu akan disiarkan melalui radio. Dengan mendengarkan pembawa berita di sana, Bapak bisa mengikuti perkembangan zaman.
Namun, radio sekarang sudah nyaris hilang. Dulu tahun 2019 di desa tempat saya merantau masih saya dengar warga menyetel radio. Bahkan warga di sana ada yang membuat radio daerah. Bagi penduduk desa, radio sangat berperan sekali meskipun sudah sedikit yang menggunakannya.
Saya sendiri pernah mencoba untuk mencari sinyal, yang saya dapat hanya sinyal radio RRI. Itu pun hanya sekali, lalu hilang. Sampai saya pindah pun, saya tidak lagi mendengarkan radio RRI di sana. Sayang sekali.
Radio mau tidak mau harus tergerus oleh zaman. Dulu dia begitu diidolakan, kini seakan tersingkir. Bahkan suara penyiar radio pun dielu-elukan, seperti mengidolakan seseorang di zaman sekarang.
Dengan hanya mendengarkan kisah dari sandiwara radio, kita diajak masuk ke dalam cerita. Hebatnya, suara-suara pemain yang menggetarkan menjadikan kita bak pendekar atau wanita cantik yang mandraguna.
Sebenarnya, bila dibandingkan antara televisi dan streaming video, radio memiliki kelemahan. Namun, dibandingkan kedua media tersebut, radio tidak begitu membawa dampak negatif bagi pendengarnya. Yah, paling goyang-goyang saja. Beda halnya, dengan akibat yang ditimbulkan oleh televisi dan streaming video, jika tidak betul-betul dibatasi dan dikelola dengan baik, dampak buruknya sangat banyak.
Entah, seberapa besar lagi kita bisa membangkitkan kembali fungsi radio pada masa kini? Namun, jika memungkinkan, kita akan diajak bernostalgila lagi dengannya. Untuk membangkitkan radio di masa kini, sepertinya harus dilakukan usaha keras dan maksimal.
Para pemilik radio mesti jeli untuk melihat kesempatan yang ada di depan mata, misalnya. Seperti podcast yang sedang marak, para pemilik radio harus bisa menciptakan tren baru. Inilah yang harus dipelajari. Mungkin berkolaborasi dengan publik figur akan bisa menciptakan siaran yang menarik.
Bisa juga dengan membuat acara yang tidak ada habis manfaatnya, seperti berbagi informasi tentang kesehatan dan pendidikan. Dibumbui dengan taburan hadiah bagi pendengar. Namun, semua itu butuh waktu dan perencanaan yang matang.
Kerja sama dan kolaborasi antar berbagai pihak akan membuat radio bisa berperan kembali di kehidupan masyarakat meskipun saya tahu kenyataan buruk mungkin saja akan terjadi. Namun, kenapa tidak kita coba dulu. Toh, tak ada salahnya mencoba, bukan? Kalau gagal dengan strategi yang satu, pasti sudah ada ancangan pada strategi yang kedua. Semangat radio Indonesia, bergerak bersama menguara tanpa batas!