Bangsa Indonesia mulai mengenal film pada 1900, ketika masih dijajah oleh Belanda.
Kala itu, diadakan pemutaran film dokumenter perdana yang masih bisu tentang perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Kebon Jae, Tanah Abang.
Dalam kurun waktu dua setengah dekade berikutnya, film-film dari Amerika dan China mulai masuk ke Indonesia.
Pada 1926, Indonesia mulai memproduksi film sendiri yang berjudul Lotoeng Kasaroeng, karya G. Kruger dan L. Heuveldorp. Sekarang, perfilman Indonesia terlihat bangkit. Banyak film yang muncul. Misalnya, film Desa Penari sempat booming di beberapa waktu yang lalu. Dalam rentang waktu singkat film ini telah menyedot perhatian banyak pihak.
Secara pribadi saya kurang begitu tertarik dengan film ini seperti ketertarikan saya kepada Laskar Pelanginya Andrea Hirata, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Petualangan Sherina, dan Habibie dan Ainun. Film-film tersebut menempati ruang hati saya sampai sekarang.
Sebelum menonton film Laskar Pelangi, saya terlebih dahulu membaca novel Andrea Hirata. Rasa penasaran isi cerita dan alurnya mengantarkan saya untuk memastikan apakah filmnya sebagus novel yang saya baca itu. Ternyata, benar! Film Laskar Pelangi memang bagus. Kisah anak-anak di kepulauan Belitong menggugah banyak pihak.
Film Laskar Pelangi yang mengangkat alam dan budaya Indonesia, terutama pulau Belitong membuat masyarakat seperti saya memahami kehidupan di sana. Nuansa alami yang ditampilkan pemeran anaknya menjadi karakter kuat dalam film ini. Inilah yang membuat film ini bukan sekadar film komersil.
Film Laskar Pelangi memiliki Nilai-nilai pendidikan dan budaya yang kental. Meskipun tanpa adegan dewasa, Laskar Pelangi tetap banyak yang menonton. Artinya, film seperti ini bisa ditonton oleh semua umur meskipun kesannya ditujukan untuk para remaja.
Sama seperti Laskar Pelangi, film Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih pun saya tonton setelah membaca novelnya Habbiburahman El Shirazy. Penceritaan El Shirazy membuat saya masuk dalam ceritanya. Meskipun latar belakang cerita di luar negeri, film ini tidak melepaskan penonjolan nilai budaya Indonesia. Ajaibnya, semua budaya luar itu seakan menjadi hidup dalam narasi yang indah oleh Shirazy.
Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih adalah film dewasa, kisah percintaan yang melekat pada kedua film ini sangat kuat. Meskipun film ini diperuntukkan untuk kaum dewasa, saya merasa film ini tidak terkesan vulgar seperti kebanyakan film dewasa saat ini. Hal ini disebabkan penulis novel ikut andil dalam pembuatan film.
Film perjalanan kisah cinta Habibie dan Ainun membuat saya tersenyum kala menontonnya. Kisah nyata perjalanan cinta yang sederhana mengajak saya untuk menghargai pasangan. Bahwa kecintaan kepada pasangan membuat seaeorang bisa melakukan sesuatu yang melampaui keinginannya.
Semua film-film yang saya sebutkan di atas adalah film-film lawas, tetapi nilai atau pesan moral yang terkandung di dalamnya masih melekat lama sampai sekarang. Kekayaan alam dan budaya Indonesia yang ditampilkan menjadikan film-film ini menjadi film-film yang khas. Inilah nilai positif yang harusnya ada dalam perfilman di Indonesia.
Film-film tersebut jauh dari kesan vulgar yang banyak dijadikan patokan untuk pembuatan film. Padahal penonton Indonesia tidak semuanya menginginkan nilai vulgar tersebut.
Sebagai bagian dari Indonesia, saya ingin film Indonesia tetap ada. Saya yakin banyak yang membutuhkan pembelajaran baik dari sebuah film. Jangan hanya nilai komersil yang ditampil, tetapi utama nilai pendidikan dan budaya sehingga film yang ada betul-betul layak untuk ditonton banyak pihak dan menjadi tuntunan ke arah yang lebih baik
Referensi:
Widya Lestari Ningsih
Sejarah Perfilman di Indonesia
Kompas.com, 14 Juli 2021.