Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Realita Pahit di Balik Mitos "Banyak Anak, Banyak Rejeki" di Indonesia

11 April 2024   13:10 Diperbarui: 23 April 2024   21:03 1871 1


Dalam beberapa tahun terakhir, wacana "banyak anak, banyak rejeki" sering kali menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat Indonesia. Namun, di balik slogan yang terdengar menjanjikan tersebut, ada realitas pahit yang seringkali terabaikan. Sebagian masyarakat Indonesia masih memandang anak sebagai investasi, terutama di daerah pedesaan. Mereka percaya bahwa memiliki banyak anak akan membawa berkah dan keberuntungan bagi keluarga mereka. Namun, apa yang seringkali terjadi adalah nafkah yang diberikan kepada anak-anak tersebut jauh dari cukup, bahkan asal-asalan.Slogan "banyak anak, banyak rejeki" sebenarnya bukanlah gagasan asli dari budaya Indonesia. Slogan tersebut telah diwariskan dari era kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan slogan ini untuk menciptakan surplus tenaga kerja gratis dan membantu melunasi hutang-hutang mereka. Ironisnya, hingga saat ini, slogan tersebut masih saja mengakar kuat di kalangan masyarakat Indonesia.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyaknya anak dalam sebuah keluarga seringkali membawa dampak negatif, terutama dalam hal ekonomi. Salah satu dampak yang paling nyata adalah tingginya kasus stunting di Indonesia. Stunting, atau gagal tumbuh, adalah masalah kesehatan serius yang disebabkan oleh kekurangan gizi pada masa pertumbuhan anak. Indonesia menempati peringkat ketiga dengan jumlah kasus stunting tertinggi di dunia, dengan lebih dari 30% anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting.

Tidak hanya itu, banyaknya anak dalam sebuah keluarga juga seringkali menjadi hambatan bagi pendidikan anak-anak. Banyak anak yang terpaksa putus sekolah karena tidak mampu melanjutkan pendidikan mereka. Mereka terpaksa mencari pekerjaan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.

Selain itu, fenomena pekerja anak dan pekerja di bawah umur juga masih menjadi masalah serius di Indonesia. Banyak anak yang seharusnya bermain, belajar, dan berkembang, malah terpaksa bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Kondisi ekonomi yang tinggi dan masih rendahnya kesadaran akan pentingnya perencanaan keluarga menjadi faktor utama dalam mempertahankan mitos "banyak anak, banyak rejeki" ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun