Â
Pada saat ini sedang berlangsung tahapan rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan berjenjang dari tingkat kecamatan (18 April -- 4 Mei), kemudian kabupaten/kota (22 April -- 7 Mei), provinsi (22 April -- 12 Mei), dan selanjutnya tingkat nasional (25 April -- 22 Mei). Setelah pemilih memberikan suaranya di TPS pada 17 April lalu, maka suara pemilih kemudian direkap manual secara berjenjang sesuai ketentuan UU Pemilu No. 7 Tahun 2017, yang hasilnya adalah keterpilihan kandidat untuk pemilihan presiden/wakil presiden, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota.
Keterpilihan perempuan sebagai anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD) merupakan salah satu isu strategis yang ramai dibincangkan menjelang Pemilu 2019. Hal ini mengingat representasi politik perempuan di lembaga legislatif sejak diberlakukannya kebijakan afirmatif pada Pemilu 2004 hingga saat ini, masih rendah. Padahal pencalonan perempuan sudah melebihi angka minimal 30% sebagaimana diamanatkan UU Pemilu, seperti pada Pemilu 2019 sudah mencapai 40,08% pencalonan perempuan untuk DPR RI. Â Namun realitanya keterpilihan caleg perempuan memiliki kesenjangan yang lebar dengan pencalonannya. Â Misalnya pada Pemilu 2014, pencalonan perempuan mencapai 37%, sedangkan keterpilihan perempuan di DPR hanya 17%.
Pada Pemilu 2019 ini, banyak harapan agar angka keterpilihan perempuan di legislatif dapat meningkat dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Â Segala upaya telah dilakukan -- baik oleh gerakan perempuan, partai politik, para caleg perempuan, masyarakat sipil -- untuk mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif. Â Lalu bagaimana hasilnya? Â
Proses rekapitulasi penghitungan suara masih berlangsung. Upaya-upaya untuk mengawal perolehan suara caleg perempuan menjadi sangat krusial dalam rangka menjaga peluang keterpilihannya. Â Beberapa hal bisa dilakukan untuk mengawal perolehan suara caleg perempuan, yaitu:
1. Memastikan caleg perempuan memiliki informasi perolehan suaranya di daerah pemilihan masing-masing, yang bisa diperoleh antara lain dari saksi partai politik atau tim kampanye/tim sukses. Â
2. Caleg perempuan harus ikut memantau proses rekap penghitungan suara di tiap tingkatan sehingga perolehan suaranya tidak dicurangi (hilang, dikurangi). Caleg perempuan DPRD kabupaten/kota memantau rekap mulai dari tingkat kecamatan hingga  kabupaten/kota; caleg perempuan DPRD provinsi memantau rekap dari kecamatan, kabupaten/kota hingga provinsi; caleg DPR RI dan DPD RI  memantau rekap dari kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional.
3. Caleg perempuan dapat memanfaatkan jejaring dengan lembaga pemantau pemilu di daerahnya untuk memperoleh informasi proses rekap suara di dapil bersangkutan.
4. KPU RI dan jajarannya hingga tingkat terendah memastikan transparansi proses rekapitulasi penghitungan suara di tiap tingkatan dengan membuka akses bagi peserta pemilu, caleg, pemantau, dan masyarakat dalam memperoleh dan mendokumentasikan informasi perolehan suara. Â
5. KPU RI mengoptimalkan pelayanan pengunggahan data hasil pemilu legislatif secara daring melalui Sistem Informasi Pemungutan dan Penghitungan Suara (SITUNG) sehingga dapat menjadi instrumen pembanding dalam mengawal transparansi dan akuntabilitas rekapitulasi suara yang berlangsung, khususnya bagi pengawalan suara caleg perempuan.
6. Bawaslu RI dan jajarannya harus bertindak tegas terhadap upaya pihak-pihak yang ingin melakukan kecurangan dan/atau manipulasi dalam proses rekapitulasi penghitungan suara. Termasuk bila terjadi praktik jual beli suara, misalnya antara oknum penyelenggara pemilu dengan caleg tertentu, caleg yang perolehan suaranya sedikit dengan caleg lain, dan sebagainya.
7. Mendorong organisasi perempuan di daerah-daerah untuk ikut aktif memantau perolehan suara caleg perempuan di daerahnya termasuk mencatat kecurangan-kecurangan yang merugikan perolehan suara caleg perempuan.
Sejatinya representasi politik perempuan bukan sekadar meningkatkan jumlah keterpilihan caleg perempuan dalam pemilu. Â Namun keterpilihan caleg perempuan sebagai anggota legislatif merupakan "pintu masuk" menuju representasi politik yang berkeadilan dan berkesetaraan. Selamat hari Kartini!
Jakarta, 24 April 2019
1. Wahidah Suaib (Kemitraan/Partnership for Governance Reform)
2. Sri Budi Eko Wardani (Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia)
3. Titi Anggraini (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi)
4. Melda Imanuela (Koalisi Perempuan Indonesia)
5. Veri Junaidi (Kode Inisiatif)