Jujur, ketika membaca habis buku puisi esai “Kuburlah kami hidup-hidup” karya Anick Hamim Tohari (Anick HT). Ada tiga dari lima bab puisi esai yang menggugah perasaan dan pikiran saya. Yaitu “Olenka, generasi yang hilang” “Tuhanmu bukan Tuhanmu” dan “Kuburlah kami hidup-gidup”, yang dijagokan Anick sebagai judul besar buku ini.
“Olenka,
Kau datang padaku dengan sejumput ragu.
Ini Iqro
Kami wajib menguasainya jika mau melanjut sekolah
Kami harus melahap dan mengunyahnya
Jika hendak ketemu surga
Sebenar surga
Ini Iqro
Kami dapat dari sekolah inpres sebelum kami lulus
Kata mereka, kami ini Islam
Orang Islam membaca dan menulis Arab
………..
……..
Olenka,
Sila kau pergi dari hadapku
Dari pelataran leluhurmu ini
Aggap saja kau tlah tuntaskan
Tugas kenabianmu
Olenka,
Aku memaafkanmu
Sebagai keniscayaan zaman
Olenka,
Aku harus mengangguk
Hilang satu generasi
Tapi Olenka,
Sebut saja Tuhanmu
Kami akan sebut Tuhan kami
To Rie akra”na
Kami akan sambah Ia
Dengan cara kami sendiri
Di sini.”
Cerdas penempatan cerita tentang pemaksaan pemerintah Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, terhadap masyarakat Suku Kajang, untuk masuk Islam dan wajib bisa membaca Al-Qur’an bagi anak-anaknya agar bisa lulus sekolah, sebagai bab pertama.
Gaya bertutur dalam bab ini, membawa pembaca dalam dialog antara seorang bapak dan anak Suku Kajang. Kebijakan yang mengharuskan warga Suku Kajang masuk Islam dan ber-KTP Islam, tidak sepenuh hati diikuti oleh mereka. Ketakutan terhadap kebijakan pemerintah, dan harapan anak-anak bisa hidup lebih baik, menyebabkan para orang tua putus asa. Karena apa yang mereka yakini, tidak akan lagi ada penerusnya.
“Olenka,
Maafkan kami
Pelan meluntur penghargaan kami
Terhadap Ammatoa
Tak lagi teguh memegang pesan To Rie Akra’na
Kami tak kuasa menolak sesuatu bernama negara
Kami tak sadar akan sampai sejauh ini
………
……….
Kami hanya tahu bercocok tanam
Sejak leluhur, setengah leluhur,
Hingga kakek-kakek kami
Kami hanya tahu
Ada satu kuasa di atas kuasa manusia
Tak tertandingi
Penjaga alam raya ini
Penjaga hutan penghidupan kami
To Rie Akra’na yang menitip Pasanga ri Kajang
Tuntutan hidup kita.”