Selalu kembali pada pijakan yang sama
Tapi kaki kita yang rapuh
Memilih sebagai pengelana, menunggu wangsit tiba
Mei, malam masih muram
Namun tak mampu menakar sepi yang diperdebatkan
Kita sibuk menelannya dalam-dalam
Tak peduli siapa yang tersedak bahkan pura-pura nyaman
Kalau saja permintaan bukan keengganan
Aku ingin menampung curah hujan sebagai percakapan
Akan kau dengar suara-suara yang belum rampung kujelaskan
Lalu tidurmu akan terjaga karena ada aku di sana
Belum cukupkah kutahan irama gulana
Yang berkesiur di telinga
Setelah kisaran angka-angka kembali ke titik nol
Hanya kekosongan yang kudapati, Mei
Sebab kepergian kau pilih sebagai titah abadi
Di sini, aku hanya bisa menulis puisi
Seperti kesanggupan yang tak kau sadari
Tapi demi waktu, aku memuliakannya
Melebihi nyeri yang tak ingin kuobati
Madura, 04052020