Karena terbangun sekitar pukul 4 subuh tadi, saya memutuskan memutar TV untuk mencari hiburan. Tanpa sengaja saya pun menontonsiaran ulang program “Mata Najwa” yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi. Dalam episode berjudul “Pidana Sandiwara” ini membahas kasus-kasus pidana yang penyelesaiannya bagaikan sandiwara yang sudah tersetting. Ada aktor utama, aktor pendukung, dan tentunya sutradara. Banyak kasus-kasus yang disulap dengan menghadirkan terdakwa palsu untuk melindungi pelaku sebenarnya yang memiliki kuasa pada saat itu. Cukup mengerikan karena ternyata kinerja aparat penegak hukum sejak zaman orde baru hingga sekarang tetap sama saja kualitasnya. Hukum dimainkan dan keadilan disembunyikan. Orang-orang yang ingin menyuarakan kebenaran dan keadilan pun dihadapkan pada dilema : kebenaran bersuara tetapi maut bisa saja mengintai. Bukankah beberapa kasus pidana yang terkenal seperti kasus Munir, Marsinah, sampai kasus Gayus hingga detik ini belum terselesaikan ? Dalam program “Mata Najwa” yang saya tonton tadi malam lebih intens membahas 2 kasus yang melibatkan orang-orang yang berkuasa di zaman itu. Dua kasus itu adalah kasus pembunuhan mantan peragawati Ditje Budiasih dan kasus pemerkosaan terhadap Sum Kuning, seorang gadis penjual telur yang membuat gempar pada saat itu.
Kasus Ditje Budiasih
Kasus pembunuhan terhadap Ditje dikenal sebagai kasus pembunuhan yang melibatkan konspirasitingkat tinggi. Ditje adalah seorang mantan peragawati yang tewas tertembak pada tanggal 8 September 1986. Pembunuhan terhadap Ditje dituduhkan kepada seorang paranormal bernama Muhammad Sirajudin atau dikenal dengan sebutan Pak De. Pak De memang memiki hubungan yang dekat dengan Ditje karena Pak De sendiri adalah guru spiritualnya. Motif pembunuhan yang dituliskan dalam berita acara pemeriksaan menyebutkan bahwa pembunuhan itu terkait masalah utang piutang. Yang anehnya, Pak De yang dituduh menembak ternyata berada di rumahnya pada saat kejadian tersebut. Akhirnya baru diketahui kemudian bahwa Pak Dedipaksa mengakui membunuh Ditje atas paksaan oleh orang-orang tertentu. Dalam kasus ini sebenarnya banyak ditemui keganjilan namun tidak ada yang berani membeberkan faktanya. Pembunuhan Ditje ini konon karena motif asmara antara Ditje dengan dua pria dari trah Cendana dan seorang pria pejabat angkatan udara.
Kasus Sum Kuning
Kasus pemerkosaan kepada Sumariyem atau biasa disebut kasus Sum Kuning ini mengingatkan kita pada sebuah sinetron yang dibintangi Bunga Zaenal dan Evan Sanders yang bercerita tentang seorang gadis desa yang diperkosa beramai-ramai dan dibuang dipinggir jalan. Ternyata cerita sinetron ini terjadi di dunia nyata. Tanggal 21 September 1970, seorang gadis penjual telur bernama Sum Kuning diculik dan diperkosa oleh tujuh orang pemuda. Setelah diperkosa gadis itu kemudian diturunkan begitu saja di jalan. Sum Kuning kemudian melaporkan hal ini pada kepolisian tapi malah dituduh berbohong dan diduga sebagai anggota Gerwani. Proses penyidikan tersebut pun berlangsung tidak dengan cara manusiawi. Seperti halnya sandiwara, polisi kemudian menangkap terdakwa-terdakwa yang diduga melakukan kejahatan tersebut. Ironisnya, terdakwa-terdakwa palsu ini sengaja dihadirkan untuk melindungi pelaku-pelaku sebenarnya yang konon adalah anak-anak pejabat di era itu.
***
Dua kasus di atas adalah sebagian contoh dari keadilan yang disembunyikan di negeri kita. Aparat kepolisian yang diharapkan sebagai tempat menegakkan hukum dan keadilan justru tidak mampu melakukannya. Malahan ikut-ikutan bermain dalam peran sandiwara kasus-kasus pidana ini. Ketakutan pada orang-orang yang memiliki kuasa begitu mengintimidasi mereka. Orang-orang yang memiliki kuasalah yang selalu menjadi sutradara dalam sandiwara yang jauh dari batas keadilan.
Saya lalu berpikir dengan melalui jalur jurnalistik yang saya pelajari. Kasus-kasus di atas dapat muncul di permukaan karena peran-peran pers pada saat itu yang terbilang berani memberitakan kasus-kasus pidana yang melibatkan orang-orang yang berkuasa. Para jurnalis atau wartawan harus berhati-hati agar jangan sampai yang ditulisnya menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Tak jarang bahwa mereka yang melakukan investigasi berita sudah tahu yang sebenarnya terjadi tetapi urung dituliskan karena takut dipecat atau yang lebih parah kehilangan nyawa.Dengan tugas yang berat itu, saya yakin pemberian upah yang layak patut diberikan kepada para kuli tinta yang memberitakan kebenaran.
Bagaimanapun bobroknya sistem peradilan di Indonesia, kita semua pasti selalu berharap bahwa kinerja aparat penegak hukum di negeri kita dapat menjadi lebih baik lagi dalam menjalankan tugasnya. Ungkapan “ Hukum manusia bisa diputar-balikkan, tapi hukum Tuhan siapa yang sanggup menghindar ” memang ada benarnya. Orang-orang yang sepatutnya dihukum memang bisa lari, tapi siapa yang tahu jika akhirat sudah di ambang pintu. Kita semua pasti tak pernah berhenti berharap bahwa suatu saat keadilan akan muncul kembali di negari tercinta ini. Seperti pula kata Tolstoy, “ Tuhan mengetahui semuanya, tetapi menunggu…”