Hukum Laut Internasional: Batasan Zona Ekonomi Eksklusif terhadap Peluang Ekonomi dan Hukum yang Berlaku dalam Masyarakat
Laut selalu menjadi sumber kehidupan sekaligus arena perebutan kekuasaan. Dengan diperkenalkannya konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, negara-negara pesisir diberikan hak istimewa untuk mengeksploitasi sumber daya laut sejauh 200 mil laut dari garis pantai. Namun, batasan ini tidak hanya memberikan peluang ekonomi, tetapi juga membawa tantangan hukum yang memengaruhi masyarakat pesisir.
Konsep ZEE dalam Hukum Laut Internasional
ZEE adalah area di mana negara memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UNCLOS 1982. Negara pesisir juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan mengelola sumber daya di wilayah tersebut berdasarkan prinsip keberlanjutan (Pasal 61 dan 62 UNCLOS).
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar, telah mengadopsi konsep ini ke dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE. Undang-undang ini memberikan dasar hukum untuk mengelola wilayah ZEE seluas 6,4 juta km, mencakup sumber daya ikan, minyak, gas, dan mineral bawah laut.
Peluang Ekonomi di ZEE
ZEE memberikan peluang besar bagi perekonomian Indonesia, terutama di sektor perikanan dan energi. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi perikanan di wilayah ZEE mencapai 12,5 juta ton per tahun. Selain itu, eksplorasi minyak dan gas di wilayah ini, seperti di Natuna dan Blok Masela, menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan.
Namun, peluang ini sering kali terhambat oleh eksploitasi ilegal (illegal, unreported, and unregulated fishing), terutama oleh kapal-kapal asing. Hal ini tidak hanya merugikan ekonomi negara tetapi juga memengaruhi keberlanjutan ekosistem laut.
Tantangan Hukum dalam Masyarakat
Meskipun ZEE memberikan hak eksklusif kepada negara, masyarakat pesisir sering kali tidak merasakan manfaat langsung dari pengelolaan sumber daya laut. Dalam wawancara dengan Riko (40), seorang nelayan di Batam, ia mengeluhkan bahwa kapal asing sering memasuki perairan Indonesia tanpa pengawasan ketat. "Kami merasa kalah bersaing dengan teknologi mereka, padahal ini wilayah kami," ujarnya.
Di sisi lain, Fatimah (28), seorang akademisi di Tanjung Pinang, menekankan pentingnya edukasi hukum kepada masyarakat pesisir. "Banyak nelayan kita tidak memahami batasan ZEE atau hak-hak mereka, sehingga mereka rentan terhadap kriminalisasi ketika melintasi perbatasan internasional," jelasnya.
Upaya Penegakan Hukum
Indonesia telah mengambil langkah tegas dalam menegakkan hukum di ZEE, termasuk penenggelaman kapal-kapal asing ilegal berdasarkan Pasal 73 UNCLOS dan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Namun, implementasi hukum ini masih menghadapi tantangan besar, terutama kurangnya infrastruktur dan sumber daya manusia untuk patroli laut.
Selain itu, kerja sama regional melalui ASEAN Fisheries Management Mechanism dan Coral Triangle Initiative menjadi kunci dalam mengatasi isu lintas batas, termasuk pengelolaan sumber daya bersama dan pencegahan konflik.
Kesimpulan
ZEE adalah peluang besar sekaligus tanggung jawab yang kompleks. Di satu sisi, potensi ekonomi di wilayah ini dapat memberikan manfaat signifikan bagi negara dan masyarakat. Di sisi lain, tantangan hukum dan ancaman eksploitasi ilegal menuntut pendekatan yang lebih komprehensif.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia harus terus memperkuat regulasi dan penegakan hukum, sambil meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak dan tanggung jawab mereka di wilayah laut. Dengan demikian, ZEE dapat menjadi pilar bagi pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada kedaulatan dan kesejahteraan bersama.